
Ilustrasi: omstars.com
Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil
Pertengkaran jalan menuju Dia, tak pernah usai. Tak mengenal kiamat. Malah diproduksi dalam lipat-lipatan “politik agama” berzaman-zaman. Bukan “politik spiritualitas”. Gandengan jalan ini seakan anak kembar yang saling tak mengakui kehadiran satu sama lain. Satu menyergah, yang satu lagi, diam. Yang satu heboh bergaya bazar sembari menjinjit pedang dan palu godam tentang salah-benar, dosa dan pahala. Yang satu tak mempedulikan ihwal di luar diri.
Dia senantiasa menganyam dan menjahit ruh dari lipatan-lipatan terkecil dan terdalam, serba jeluk, hingga mengistana samudera ruh. Yang satu menyorak ke luar. Sementara yang satu lagi asyik dan sibuk menikam ke dalam diri. Yang satu, memposisikan Tuhan berada di luar dan serba sayup [tanzih]. Dan yang satu lagi, memposisikan Tuhan ada di dalam diri [tashbih].
Jadi imam spiritual kah Chomsky kala dia berkata: “Tiada yang akan mencurahkan kebenaran ke dalam otak anda. Dia, sesuatu yang mesti anda cari tahu sendiri”. Asyik me-Rumi kah Chomsky? Atau menyempil Abu Nuwas kah Oscar Wilde kala mengaut idiom conet “Aku mungkin tak seberapa setuju dengan anda.
Namun aku akan membela anda sampai mati, ihwal hak anda untuk mempermalu diri sendiri”. Kala agama menjadi wadah bagi tampungan air spiritual, air itu akan mengikuti bentuk sang wadah. Air itu pula yang akan mempermalukan diri mu.
Amsalnya? Air yang jatuh dari langit disebut hujan. Lalu menggenangi sungai, dia disebut air sungai. Genangan ini melimpah menusuk jemari anak-anak sungai dan menikam perut danau. Lalu, kita pun menyebutnya sebagai air danau, bergerak jadi air tasik, liar menjadi air kolam.
Kala dia melimpah dan menerjang muara, dia bergumul dengan laut, kita menyapanya sebagai air laut, manusuk samudera, air itu pun kita sebut sebagai air samudera. Menciut di dalam ember, kita sebut air ember. Menyusut lagi dalam ukuran lebih kecil, botol, kita sebut air botol, lalu masuk ke dalam gelas, kita sebut air gelas.
Sungai, danau, tasik, kolam, laut, samudera, ember, botol dan gelas adalah sejumlah wadah yang menampung air. Air yang sebenar air adalah H2O [air murni]. Wadah-wadah bagi air itu sendiri diamsalkan laksana agama [sungai, danau sampai gelas]. H2O itu sendiri mewakili spiritualitas.
Manusia menunai diri selaku makhluk malang. Malang dalam menelusuri jalan, capaian dan klaim sepihak mengenai tempuhan rute. Jalan kemalangan ini pula dijadikan sebagai alat bela atas sejumlah kekalahan hidup di depan kemalangan demi kemalangan.
Thomas Mann berujar: “Orang belum sama sekali malang, belum sama sekali malang, selagi masih bisa memberi nama yang gagah atas kemalangan itu”. Dua rute menuju Tuhan itu bukan jalan kemalangan. Tapi cara manusia mendatangi dan mempertengkarkan jalan itu lah sebagai jalan kemalangan. Pun, di mana letak ‘nama yang gagah’ atas kemalangan itu? Di sini malah menyembul kedunguan demi kedunguan. Tapi, kedunguan yang tulus, ini adalah alat terbaik untuk mengenal Tuhan. Tidak cukup dengan kesombongan pongah-logis untuk bercumbu dengan Tuhan…
Patahan dan retak atas tabrakan dua saudara kembar “pencarian” ini menyisa sisi intip mengintip di antara keduanya. Bukan retak yang membawa belah. Tapi retak membawa ukir [nan indah]. Jalan tawasuf disebut pula selaku “seni mengetuk pintu Tuhan” dalam candaan yang lembut bak candaan terhadap seorang rekan karib.
Lalu, agama mencurigainya sebagai “jalan kurang ajar”, yang melepehkan “tuan” menjadi “teman”. Ini sebuah gaya pelecehan! Yang satu agresif menjingkang, dan yang satu berlagak pilon. Bermodal pilon itu pula, dia mengagungkan Tuhan di dalam diri.
Di sini, turun semacam matriks tipis di antara dua pematang jalan itu. Agama mensegregasi manusia dalam patahan keyakinan yang berbeda. Sebaliknya, spiritualitas mempersatukan manusia dalam keyakinan yang berbeda.
Agama memposisikan “takut” sebagai lorong kepatuhan. Tuhan laksana paduka yang dikawal oleh sejumlah “tentara yang menodong-nodongkan senjata”. Untuk menyelesaikan “rasa takut” itu, maka dipupuk lagi “takut” tingkat berikutnya; takut akan neraka. Spiritualitas datang dengan cara menciptakan surga di dalam diri.
Agama hadir dengan palu godam ketakutan dan sejumlah larangan. Sebaliknya spiritualitas berpaksi pada cinta dan kebebasan. Agama mempedomani sirah dan kisah hidup orang lain di luar diri.
Spiritualitas menenggelamkan pengalaman pribadi ke atas sejumlah tangga-tangga spiritualitas dalam model pengalaman beragama [the religion experiences]. Agama, bak setitik air di samudera. Spiritualitas hadir bak samudera dalam setitik air. Puncaknya? Agama, bergayut pada pemujaan Tuhan. Spiritualitas, menyatu akan Tuhan.
Ada segerombolan manusia yang tak mempedulikan pertelingkahan dua saudara kembar itu. Penukil jalan ketiga: tambak sains dan lebuh seni. Rute ini malah menghimpun semacam anteseden psikologis bagi para penekunnya bak seorang spiritualis.
Seorang pengamat bintang di Observatorium Bosscha di dataran tinggi Lembang, saban malam mengeja bintang gemintang dalam legam malam. Kala orang-orang pulas tertidur, kaum agamawan dan spiritualis tersungkur dalam kesyahduan qiamul lail [tahajjud], para penukil langit berbondong menyerbu Tuhan dalam demonstrasi doa dan deraian air mata di pupil mata.
Saban malam dan saban malam, sang ilmuan ini menekuni perjalanan 14 milyar makhluk langit bernama bintang; gerak, tabrak, luncur, geser, percik dalam relasi partisipatoris. Lantunan semesta tak terpermanai. Ya, saban malam.
Esok pagi dia berdepan dengan sejumlah rekan kerja di kampus, mahasiswa, dalam sikap yang runduk, tunduk dan merendah hati. Dia sosok yang paling terpuji dari sikap, tutur, perbuatan dan akhlak terpuncak. Dia belajar dari buku alam [raya dan semesta]. Di situ ada percik api [cahaya] keagungan. “Ada dua kekuatan yang berjaya mempengaruhi pendidikan manusia terpelajar: seni dan sains. Keduanya menyatu dalam sebuah buku,” celetuk Maxim Gorky. Izinkan saya menambah satu buku lagi, buku alam raya.
Cukuplah sekali kita mencela dan mencelakakan diri dalam erangan derita yang tak dimengerti.
“…À l’heure si sombre encore, de la civilization, où nous sommes, le miserable s’appelle l’homme; il gémit sous tous les climats et il agonise dans toutes les langues” [kala peradaban masih gulita, di mana kita hidup, orang celaka itu disebut manusia, dia mengerang dalam segala iklim dan menderita dalam semua Bahasa,” ujar Victor Hugo.
Penyakit kosmis bawaan itu bernama “rendah diri” bagi manusia. Setelah kekalahan Qabil secara moral. Untuk mendepak “rasa rendah diri” itu, manusia memilih rute “bertengkar” demi memperelok tampilan rute malang itu. Agar terkesan macho? …