February 10, 2025
Torn dirty cardboard paper as a background for your design.

Torn dirty cardboard paper as a background for your design.

Oleh Bambang Putra Ermansyah

 

Apa yang membedakan antara agama dan sains? Jawaban paling mudahnya adalah berkaitan dengan posisi doktrinal dari agama. Agama apapun itu, sekeras apapun pemeluknya dan otoritas keagamaannya memberikan argumentasi mengenai rasionalitas agama tersebut, tetap tidak bisa berlepas diri dari doktrin. Dan ini adalah sebuah hal yang alamiah, bukan sebuah cela.

Agama memang selalu menyediakan ruang khusus bagi adanya doktrin, ruang di mana kepercayaan diutamakan. Eskatologi masuk ke ranah ini. Secanggih apapun argumentasi Imam Ghazali untuk membuktikan secara argumentatif melalui argumentasi-argumentasi logis mengenai kebangkitan fisik di hari kiamat, berlawanan dengan pandangan beberapa filsuf di masanya yang mengatakan bahwa kebangkitan yang dimaksud adalah kebangkitan ruh, tetap saja ranah tersebut adalah ranah doktrinal.

Catatan Santo Aquinas terhadap De Trinitate-nya Boethius secara cerdas menjelaskan bagaimana rasionalitas berhubungan dengan iman, di mana iman saya katakan (dan Anda saya persilakan untuk menantang perkataan saya ini) sebagai instrumen pengafirmasian terhadap doktrin. Santo Aquinas memandang bahwa keimanan pada akhirnya memiliki kemiripan dengan “opini”, di mana di sisi lain sesuatu bisa diimani dengan pemahaman dan pengetahuan tentangnya. Di mana posisi rasionalitas? Posisinya ada di tengah antara “opini” tadi (baca: keimanan) dengan pemahaman atau pengetahuan. Mudahnya, rasionalitas adalah jembatan di antara keduanya.

Keberadaan surga, neraka, purgatorio (dalam tradisi Katolik), dan yang semacamnya adalah ranah doktrinal. Argumentasi logis bisa dibangun untuk mendukungnya, namun pada akhirnya semua kembali kepada percaya tidaknya seseorang kepada hal tersebut. Karenanya, saya katakan bahwa ia adalah doktrinal. Saya bisa saja menuliskan 100 lebih argumentasi mengenai eksistensi Tuhan dan bahwa Tuhan itu Esa, dan saya memiliki cukup perbendaharaan keilmuan dan argumentasi untuk itu.

Namun demikian, untuk memberikan pembuktian bahwa Tuhan yang saya buktikan eksistensiNya itu adalah Allah, Ilah yang saya sembah, maka itu sudah di luar argumentasi logis. Di situ adalah ruang iman, ruang doktrinal. Inilah yang dimaksud Gus Baha, ulama tradisional karismatik dengan perbendaharaan ilmu dan argumentasi yang sangat kaya, ketika mengatakan bahwa “Ilmu Manthiq (logika) tidak mengenal Allah.”

Sains tentu saja tidak begitu. Sains mengedepankan argumentasi rasional dan empirik. Bahkan dalam beberapa cabang ilmu, diharuskan untuk dicukupi dengan universalitas. Dan tentu saja, sains itu objektif. Sains juga dinamis. Berbeda dengan agama yang punya dimensi statis. Misalnya, Islam yang sudah mengimani Muhammad sebagai Nabi penutup (Khataman Nabiyyin). Atau finalitas otoritas keagamaan Katolik berupa Tahta Paus, di mana penolakan terhadap hal ini membuat satu skisma terbesar dalam sejarah Kekristenan: Protestanisme.

Finalitas ini tak mendapat tempat dalam sains. Karl Popper bahkan menyorot bahwa falsifikasi merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi sains, di mana suatu klaim kebenaran dalam teoritisasi sains harus bisa difalsifikasi, disalahkan atau dibuktikan kesalahannya, tidak sebatas bisa diverifikasi. Argumentasi yang tajam dan komprehensif atas hal ini diinisiasi oleh Sirkel Vienna yang dipimpin oleh Popper dalam bukunya  The Logic of Scientific Discovery.

Mitosnya begitu.

Paul Feyerabend, adalah orang gila yang pertama kali melampaui garis radikal dalam menarik relasi antara agama dan sains. Dia berargumen bahwa perdebatan antara agama vs sains sudah tidak lagi relevan. Bukan karena disebabkan oleh keberjayaan sains dalam epos peradaban manusia modern pasca Abad Pencerahan, namun karena sains itu sendiri, menurut Feyerabend, adalah agama.

Kenapa begitu? Berdasarkan pandangannya, sains adalah ideologi. Dan sebagaimana ideologi-ideologi lainnya, yang major dan minor, maka jangan disikapi dengan terlalu serius. Pendekatan paling bijak adalah dengan melihat sains selayaknya seperti kita melihat dongeng (bukan berarti menurunkan derajat sains serta merta adalah dongeng), yakni dengan menyadari bahwa bisa jadi ada nilai kebenaran di sana, namun baiknya jangan diambil dan dipercaya begitu saja huruf per hurufnya. Never take it for granted.

Sungguh, ini adalah posisi yang melampaui radikal dalam memandang sains vis a vis agama. Feyerabend sendiri menyadari keanehan posisi yang dia ambil. Karena biar bagaimanapun, dia mengakui bahwa dahulu sains selalu menjadi ujung tombak dalam menghadapi otoritarianisme dan takhayul. Tanpa sains, aku Feyerabend, kita mungkin belum bisa merasakan kemerdekaan intelektual dari hegemoni otoritas keagamaan yang dogmatik.

Namun, lanjut Feyerabend, masa lalu seperti itu sudah menjadi semacam impian di siang bolong dalam tradisi saintifik modern. Dalam pandangannya, sains itu sendiri sudah menjelma menjadi agama. Kaku, doktrinal, tak boleh ditentang. Dia menyebutkan beberapa nama, para radikal lainnya, yang dia sebut sudah berkontribusi dalam mendongkrak sains dengan semangat kebebasan intektualnya ke posisi agama yang penuh dogma.

Dia menyebut nama Kropotkin, seorang radikal anarkis, yang mendedikasikan hidupnya untuk menjungkalkan seluruh bentuk institusi dan sistem kepercayaan. Cuma satu yang tidak dia lawan: sains. Ibsen pun begitu. “Bapak Realisme” dalam seni teater dan drama ini menyerang segala bentuk manifestasi ideologi borjuis di abad 19, kecuali satu hal: sains. Karl Marx dan Friedrich Engels pun, Duo Santo para radikal modern, juga tidak kalah berdosanya. Mereka berdua dipandang oleh Feyerabend telah menyebarkan keyakinan bahwa sains akan menjadi instrumen bagi buruh dalam perjuangan kelasnya menuju liberasi mental dan sosial.

Menurut Feyerabend, “fakta” saintifik kini diajarkan di bangku-bangku institusi pendidikan sebagaimana pengajaran “fakta” religius berabad-abad silam. Bahkan, dalam institusi perguruan tinggi, hal ini diajarkan dengan cara yang lebih fatalistik, karena dilakukan secara lebih sistematis. Budaya kritis memang hidup, namun sains seringkali dikecualikan dari kritisme.

Sekarang, pandangan umum mengenai sains tidaklah berbeda dengan pandangan umum mengenai otoritas keagamaan: sebagai kebenaran tunggal. Feyerabend bahkan mengkritisi usaha demitologisasi dalam gereja-gereja Kekristenan. Baginya, usaha ini tidak lebih dari usaha untuk menghindari benturan antara Kekristenan dan pikiran-pikiran saintifik. Dan ketika benturan tersebut terjadi, dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang akan dimenangkan adalah kesimpulan saintifik. Sains benar, dan Kekristenan salah. Itu pasti. Karenanya, Kekristenan harus disesuaikan dengan perkembangan sains. Dan ini, bagi Feyerabend, adalah dogmatik.

Namun serangan argumentatif Feyerabend yang menyerang sains karena sudah menjelma menjadi agama yang dogmatik belum seberapa jika dibandingkan dengan serangan berikutnya ke sesuatu yang lebih fundamental: Kebenaran. Bagi Feyerabend, “Kebenaran yang berjaya tanpa adanya check and balance adalah sebuah tirani yang harus ditumbangkan.” Dan sebaliknya, “Kedustaan yang dapat membantu kita untuk menggulingkan tirani ini maka harus disambut”.

Pernyataan ini adalah pernyataan yang sudah melampaui pikiran paling liar dari radikal manapun yang pernah hidup di masa ini. Semua orang pasti akan memperjuangkan kebenaran, sekalipun itu adalah versi kebenaran paling picik sekalipun yang hanya berasal dari anggapan seorang megalomaniak.

Lihatlah Pol Pot. Kebrutalan rezimnya dan permusuhannya terhadap para intelektual bukanlah sesuatu yang perlu kita perdebatkan lagi. Namun biar bagaimana pun, kita harus mengakui bahwa Pol Pot bertindak karena dia meyakini bahwa apa yang ia lakukan adalah kebenaran. Adalah sebuah langkah menuju cita-cita besar pembebasan. Jadi sebrutal apapun aksi seseorang, sebesar apapun kehancuran yang disebabkannya, mereka memperjuangkan kebenaran yang diyakininya.

Namun tidak dengan Feyerabend. Bagi dia, bahwa jika ada satu “fakta” yang sudah diyakini sebagai kebenaran pun, jika kejayaannya termanifestasi dalam bentuk ketiadaan check and balance padanya, maka itu adalah sebuah bentuk tirani yang perlu dan harus ditumbangkan. Bahkan dengan kepalsuan sekalipun, jika memang kepalsuan tersebut bisa menjadi instrumen penumbangan tirani tersebut.

Pernyataan ini merupakan terobosan besar dalam cara pandang kita mengenai ilmu maupun kebenaran. Baik ilmu maupun kebenaran, di mana selalu ada kelindan antara keduanya, selalu dipandang dengan rasa kagum dan pengharapan. Pandangannya ini tentu didukung oleh argumentasi yang mendalam. Bagi Feyerabend, kehidupan manusia dipandu oleh banyak gagasan dan panduan. Salah satunya memang “Kebenaran”.

Namun baginya, Kebenaran bukanlah satu-satunya gagasan dan panduan yang ada. Ada aspek-aspek lain. Sebut saja kemerdekaan serta independensi mental. Dan ketika ada saatnya hal-hal ini bertabrakan, dimana kebenaran harus dihadapkan pada kemerdekaan atau independensi mental, dan seseorang harus memilih salah satunya dan mengabaikan satu yang lainnya, maka merupakan sebuah opsi bagi mereka untuk mengabaikan “Kebenaran”.

Dan kebebasan berpikir adalah ruh dari sains modern, maka “Kebenaran”, dalam artian Kebenaran Saintifik, harus dikorbankan demi kebebasan saintifik. Karena jika sains sudah menuntut ketundukan total pada kebenarannya sehingga menolak kebebasan akademik, maka ia sudah menjadi tiran yang patut dilawan.

Saya akan berikan satu contoh. Ilmuwan sosial yang satu masa dengan Feyerabend, Robert Cox, pernah menuliskan satu adagium penting yang menjadi pemandu dalam Teori Kritis: “theory is always for someone and for and some purpose“. Maka, pandangan bahwa pengetahuan tidak bebas nilai dan tujuan bukanlah ekslusif terobosan Feyerabend, sekalipun kita harus akui Feyerabend adalah orang yang cukup gila untuk memimpin perlawanan terhadap (Tirani) Kebenaran sekalipun.

Pikirkanlah satu teori atau kebenaran saintifik yang Anda ketahui. Apapun itu, namun untuk tulisan ini saya akan mempersembahkan satu untuk anda: Teori Gravitasi. Teori Gravitasi adalah sebuah kebenaran saintifik yang menjelaskan mengenai fenomena tarik-menarik antara objek-objek yang memiliki massa. Teori ini merupakan terobosan terbesar dalam dunia fisika yang sudah menggantikan hegemoni Fisika Aristotelian. Dari teori Newton ini, terjadi paradigma besar-besaran dalam pemahaman kita mengenai gerak. Dalam fisika Aristotelian, seluruh objek asalnya adalah diam. Benda akan bergerak ketika digerakkan oleh sesuatu yang lain. Hal ini tidak disepakati oleh Newton, di mana kritiknya ini disederhanakan dalam tiga Hukum Gerak yang sudah kita hafal rumus-rumusnya di bangku sekolah.

Sekarang, hukum gerak Newton adalah Kebenaran Saintifik. Ia sudah dibuktikan dalam banyak eksperimen dan diterapkan prinsip-prinsipnya sehingga membuat banyak terobosan dalam teknologi manusia. Itu benar. Namun jika Kebenaran ini membuat kebebasan akademik terabaikan, misalnya dengan menolak teoritisasi alternatif mengenai gerak, se-absurd apapun itu, maka bagi Feyereband  pandangan tersebut harus dilawan, tidak peduli seberapa banyak eksperimen yang sudah mendukungnya. Karena sekali lagi, Kebenaran sekalipun harus disikapi sebagai sesuatu yang bisa dilawan jika sudah menjadi tiran, sudah menjadi pengekang kebebasan manusia.

Atau saya akan berikan satu lagi contoh. Dengan semangat Feyerabendian yang menyala di hati saya, maka saya akan memberikan satu contoh yang kontroversial dan mungkin akan membuat banyak orang marah: mengenai Papua. Kita semua tahu bahwa ada usaha kemerdekaan dari fraksi-fraksi di Papua. Usaha ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul. Buku “Seakan Kitorang Setengah Binatang” yang ditulis oleh mendiang Filep Karma setidaknya bisa menjelaskan pada kita latar belakang dorongan kemerdekaan tersebut. Saya akan membuat jarak terlebih dahulu dari posisi yang sebenarnya saya “yakini” dalam kasus ini. Mengesampingkannya terlebih dahulu for the sake of argument untuk menunjukkan betapa sudah melampaunya pendekatan Feyerabendian dalam “melawan” kebenaran.

Sekarang, saya akan mengeluarkan pernyataan yang mungkin akan membuat marah pendukung kemerdekaan: bahwa argumentasi Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan Papua sebagai bagian dari Indonesia adalah benar. Adalah sebuah Kebenaran Politik. Saya akan mengambil posisi ekstrem dengan mengatakan bahwa rakyat Papua tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengelola secara mandiri sumber daya alam di sana. Di mana dengan lepasnya Papua dari Indonesia, hanya akan menjadi pintu masuk bagi kekuatan asing yang ingin merampok sumber daya mereka. Saya akan berdiri dalam posisi tersebut.

Namun begitu, saya juga akan menyampaikan pernyataan yang masih dalam kerangka Feyerabendian yang akan membuat para nasionalis marah: bahwa Kebenaran Politik tersebut tidak semestinya menutup kesempatan dan pembicaraan mengenai kemerdekaan. Kebenaran Politik tidak semestinya menutup akses kemerdekaan. Karena jika begitu, maka Kebenaran Politik ini sudah menjadi tirani yang menindas.

Dan segala bentuk penindasan, sekalipun didukung oleh Kebenaran, maka harus dilawan. Mengenai apakah nanti Papua akan dimasuki kekuatan asing yang merampok sumber daya mereka, maka itu tidaklah relevan. Kebebasan harus berjaya bahkan jika harus mengorbankan Kebenaran. Kebebasan untuk memilih merdeka harus diutamakan sekalipun dampaknya mungkin tidak sebagaimana yang diharapkan.

***

Sekelompok umat Islam di Tangerang Selatan menyerang mahasiswa yang sedang beribadah. Di ruang privat mereka, dalam bentuk ibadah privat yang dilakukan bersama: do’a bersama. Saya tidak akan menjelaskan betapa salahnya sikap para penyerang tersebut. Akal budi manusia seharusnya sudah bisa menyalahkan para agresor, begitupun ajaran Rasulullah jika saja memang mereka pelajari. Namun saya akan mengandaikan bahwa serangan tersebut adalah rightful act. Adalah sebuah tindakan yang benar.

Andaikan jika memang tindakan tersebut adalah tindakan yang benar, merupakan sebuah Kebenaran, maka seorang Feyerebandian akan mengatakan bahwa kita harus menyerbu langit, dan menumbangkan tiang-tiang penyangga ‘Arsy. Karena kemerdekaan menyembah dan beribadah adalah lebih utama dari Kebenaran Religius. ~

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas.