
Ilustrasi: indiatimes
Oleh Bambang Putra Ermansyah
I
Aku mendorong kursi roda Bapak yang reyot. Bapak memang sangat suka sekali aku ajak berjalan-jalan di pinggir Danau Buatan ini. Sekalipun Bapak sudah tidak bisa bicara dengan jelas, mulutnya miring-miring menyedihkan karena terserang struk 10 tahun lalu, namun aku selalu bisa melihat senyum terbit sedikit di ujung bibirnya setiap pukul 5 sore, karena sepulangnya aku dari mengajar mengaji di TPA terdekat, aku akan menggendong tubuh kecilnya yang renta dan meletakkannya di kursi dorong karatan yang sudah reyot.
Bapakku semasa mudanya dahulu adalah seorang pencari laron. Iya, aku tidak bercanda. Bapakku adalah pencari laron, sama dengan kakekku. Untuk apa mencari laron? “Untuk pakan ternak ikan”, ucap Bapak suatu ketika. Aku sendiri tidak pernah mau jika Bapak ajak. Masa kecilku aku penuhi dengan sekolah, mengaji, bermain bola, berkelahi, perang sarung dan sesekali membantu Ibu mengantarkan panganan untuk diletakkan di warung-warung.
Banyak teman-teman Bapak yang bilang, sekalipun aku sampai saat ini tidak percaya bahkan menganggap itu adalah candaan berselera buruk yang teman-teman Bapak utarakan, bahwa Bapak dulu dikenal sebagai seorang yang cerdas. Bahkan beberapa bilang Bapak jenius. Selalu juara 1 di kelasnya. Tapi tentu aku sangsi. Tak mungkin Bapakku mewarisi kerjaan kakek sebagai seorang pencari laron jika memang merupakan seorang yang cerdas, boro-boro jenius.
Tapi biar bagaimana pun, Bapak adalah lelaki yang paling aku sayang. Dia tidak pernah marah, tidak pernah memukul kami. Suaranya selalu lembut, dan senyumnya tak pernah pudar. Dulu badan Bapak tegap. Dan gesit. Bapak bertenaga kerbau. Kalau tetangga butuh tenaga kasar, Bapak pasti akan dipanggil. Lumayanlah upahnya untuk tambah-tambah uang keperluan rumah.
Oh iya, rumah. Rumah kami sangat sederhana. Sampai aku sudah berkepala 4 begini, tak ada yang berubah. Seingatku begini-begini saja. Dapur tetap beralaskan tanah. Tak ada se-inci pun tembok rumah kami yang bercat. Hanya ada 4 ruang. Ruang depan sekaligus ruang tamu, kamar Bapak – Ibu, kamarku, dan dapur. Itu saja. Kami punya satu kulkas bekas yang dihibahkan oleh Guru Ngajiku, ketika beliau akan pindah domisili. Selain itu, kami juga punya televisi yang kadang bisa hidup, kadang tidak. Semua tergantung keberuntungan.
Hari ini, pukul 17 : 45, seperti biasa aku menghentikan dorongan kursi roda Bapak, dan berbalik arah. Saatnya untuk pulang. Bapak mengeluarkan suara-suara lenguhan. Sekilas, aku melihat liurnya menetes-netes ke celananya. Aku biarkan saja, sambil terus mendorong kursi roda Bapak kearah pulang. Bapak terus melenguh-lenguh. Aku berhenti, kemudian menunduk di depan Bapak.
“Kenapa, Pak? Sudah mau Maghrib. Besok lagi kita jalan ya.” Ucapku pelan sembari menghapus liurnya yang menetes-netes. Bapak terdiam, matanya nampak sedih, tapi Bapak sudah tidak lagi mengeluarkan lenguhan-lenguhan itu.
Pukul 18 : 05 kami sampai di rumah. Kurang lebih 10 menit menjelang adzan. Pantang bagi orang Melayu membiarkan pintu dan jendela terbuka di waktu Maghrib, maka aku menutup semuanya, sembari membaca Ayat Kursi dalam prosesnya. Setelah semua aku tutup, aku berjalan menuju kursi roda Bapak. Mau membantunya mengambil wudhu. Kepala Bapak tertunduk. Liur menetes ke celananya. Aku sentuh pelan pundak Bapak, coba membangunkannya. Namun sentuhan tersebut membuat Bapak jatuh tersungkur. Aku terkejut dan langsung memeluk tubuh ringkih Bapak. Saat itulah aku sadar, Bapak sudah mati.
Esok sorenya, pukul 17:00, aku menatap sedih kursi roda reyot Bapak. Bapak sudah pergi menyusul Ibu, Abang, dan Adek. Tinggal aku sendiri. Karena tidak tahan sendirian di ruang tengah, aku pun masuk ke kamar Bapak. Disana tergeletak beberapa lembar pakaian yang semalaman aku ciumi sambil menangis sesenggukan, foto-foto lama Bapak dengan teman-temannya, serta rapor-rapor Bapak waktu sekolah dahulu. Semua nilainya selalu diatas 90. Bapakku, pencari laron itu, memang seorang yang pintar.
II
Malam itu adalah malam kelulusanku. Kami dan pihak sekolah bersepakat untuk merayakannya di lapangan kecil sekolah kami. Malam itu bertepatan pula dengan hari ulang tahunku. Teman-teman di sekelilingku menangis haru dan berbahagia. Guru-guruku tersenyum, namun aku bisa melihat air mata menggenangi pelupuk mata mereka. Aku melihat Rita, perempuan yang aku taksir, dari kejauhan. Dia sedang berpelukan dengan kawan-kawan perempuannya yang lain. Tergelak seru sembari sesekali menangis sesenggukan. Segala macam janji untuk “tidak sombong”, untuk “tetap main bareng”, untuk “berkumpul minimal setahun sekali” terikrarkan dari lisan satu sama lain. Aku pun juga ikut mengiyakan. Menyetujui janji tersebut.
Sekalipun aku tahu itu merupakan dusta yang manis saja. Dan aku rasa teman-temanku yang lain pun juga menyadari hal tersebut.
Aku duduk sendirian di bawah tiang bendera, tersenyum dan tertawa melihat kelakuan dan kejahilan teman-temanku. Baru saja aku melihat Rafi dengan heboh membocorkan perasaan yang selama ini dipendam oleh sahabatnya, Ardi, ke Putri. Bukan main malunya Ardi. Wajahnya memerah hingga demikian warnanya. Kami semua tertawa, dan semakin terbahak ketika Putri menjawab pelan dengan malu-malu “Sudah tahu”.
Saat itulah aku merasakan tepukan pelan Buk Nita di pundakku. Aku menengok ke samping dan langsung berdiri di hadapannya. Buk Nita adalah guru Fisika yang kebetulan juga merupakan Wali Kelasku. Dia tersenyum, menatapku lama selayaknya seorang Ibu menatap anaknya dengan bangga.
“Gimana? Sudah siap buat kompetisi mengejar mimpi kamu, nak?”
“Tentu siap. Buk. Siapapun sudah siap untuk saya lawan.” Kami bertukar senyum. Sebentar lagi memang ujian masuk perguruan tinggi. Dan Buk Nita lah orang yang dahulu menyemangatiku untuk jangan takut menggantungkan mimpi. Semua pasti ada jalannya.
“Kedokteran ya?”
“Iya, Buk. Do’akan ya”, ucapku tegas. Aku akan buktikan bahwa seorang pencari laron ini tidak takut untuk bermimpi. Bahwa ia akan menjadi seorang dokter, sebagaimana cita-citanya sedari kecil.
III
Sudah 2 hari ini aku melihat Abang murung saja. Biasanya Abang selalu bersemangat kerja, mengumpulkan uang untuk kuliah. Abang akan melakukan apapun, dari mulai ikut Ayah menggembala sapi, mencari laron, membantu menjadi tukang, memotong rumput, hingga membantu paman berdagang. Abang akan jadi orang pertama di keluarga besar kami yang akan kuliah. Kedokteran pula. Abang akan jadi dokter!
Aku tidak begitu paham kenapa Abang murung. Padahal sewaktu mendapat kabar bahwa dirinya lulus, dia begitu sumringah. Hari itu aku sedang mencabuti rumput di depan rumah, ketika tiba-tiba aku melihat Abang berlari, dengan senyuman lebar di wajahnya. Keringat membasahi wajahnya, sehingga membuat kulitnya yang hitam legam terbakar matahari nampak berkilat-kilat. Langkahnya panjang-panjang, dan dia beberapa kali melompati lubang di jalan. Abang nampak sangat bahagia.
Sekali lagi, aku tidak begitu paham kenapa Abang murung. Aku sempat mendengar obrolan Bapak dan Ibu dengan Abang. Ada sesuatu yang bernama UKT yang Abang pusingkan. Katanya uangnya tidak cukup. Kalau pun mau dicukupkan dengan pinjam sana sini, Abang memikirkan bagaimana yang selanjut-selanjutnya. Abang bilang kalau segala usaha sudah dijalankannya, namun semua mengarah ke jalan buntu. Aku tidak tahu dan mengerti apa itu UKT. Tapi UKT sudah membuat Abang murung. Sudah membuat Bapak murung juga. Aku juga secara tidak sengaja mendengar Ibu menangis di kamar ketika aku baru bangun tidur siang. Apapun yang Abang maksud dengan UKT itu, aku membencinya.
IV
Aku merasa baru saja bangun dari tidur siang yang panjang ketika tiba-tiba dikejutkan oleh bunyi keras yang memekakkan telinga. Sekonyong-konyong, aku menemukan diriku di sebuah tanah kosong melompong yang luas. Tak ada rumput, tak ada batu, tak ada pepohonan. Kemudian aku mendengar sebuah seruan yang begitu menggelegar, dan aku pun secara serta merta berjalan kearah suara tersebut. Dan saat itu barulah aku sadar bahwa aku tidak sendiri. Pelan namun pasti aku mulai melihat beberapa sosok manusia yang juga berjalan tertatih-tatih, ke sebuah titik itu. Setelah berjalan tanpa mengetahui berapa lama waktu yang sudah terlewati, aku mendegar dentuman besar. Sontak kami semua menunduk. Dan aku mendengar seruan : “Bersujudlah! Karena Rabbmu sudah datang!” Dan disana aku merasakan rasa takut, gentar. Aku bersujud mencium tanah, sampai seakan-akan aku mengubur kepalaku dalam-dalam.
Aku tak ingat berapa lama aku mempertahankan posisi tersebut. Aku tak punya keberanian secuil pun untuk mengangkat kepalaku. Mungkin sudah sejam aku sujud dengan ketakutan seperti ini. Atau mungkin 3 jam. Atau 3 tahun. Atau 300 tahun. Aku tidak tahu. Ketakutan benar-benar telah melumpuhkanku dalam posisi yang seperti ini.
Hingga tiba-tiba aku merasakan ada suara langkah di sebelahku.
“Berdirilah. Angkat kepalamu dan luruskan tulang punggungmu.”
Aku mengangkat kepalaku dengan takut. Dan disampingku, aku melihat seorang pria tampan dengan wajah yang seakan bercahaya. Dia menatapku dengan hangat, dengan ramah. Namun aku tidak melihat ada senyum di bibirnya. Aku takut, namun terpana.
V
Aku sungguh tak bisa mendeskripsikan bagaimana kondisi yang sebenar-benarnya kepadamu mengenai hari-hari ini. Semua orang sibuk mengkhawatirkan dirinya. Tak ada lagi waktu, karena sungguh gagasan kami mengenai waktu sudah lenyap. Satu per satu manusia di gilir. Ditanya, ditimbang amal baik dan buruknya. Aku melihat tidak sedikit orang yang diseret-seret dengan wajahnya tertelungkup di tanah. Aku melihat tidak sedikit juga orang yang tiba-tiba memuntahkan cairan tembaga yang berwarna merah dan mengeluarkan asap dari mulutnya. Aku melihat juga ada orang yang berjalan terpincang-pincang, namun setidaknya masih selamat. Namun diantara mereka juga ada yang disambut bagaikan raja dan ratu. Dipakaikan mahkota yang keindahannya merindukan mata.
Hingga satu ketika, aku melihat ada segerombolan orang. Benar-benar datang dalam gerombolan, yang dihalau dan diarahkan bagaikan domba sedang dimasukkan ke kandang oleh penggembala. Aku bertanya kepada pria ramah yang sedari awal menemaniku.
“Siapa mereka?”
“Orang-orang yang tertahan amalnya.”
“Kenapa amalnya tertahan?”
“Lihat saja. Dan engkau akan mengetahui.”
Aku pun langsung kembali mengarahkan pandanganku kepada mereka.
Mereka semua nampak celingak-celinguk kebingungan. Bertanya-tanya kenapa mereka dikumpulkan dalam satu gerombolan. Banyak dari mereka yang tidak mengenal satu sama lain, namun ada juga yang nampaknya saling kenal. Mereka dibiarkan berkumpul penuh tanya untuk beberapa saat. Berapa lamanya, aku tidak juga tahu. Sebagaimana aku sudah sebutkan, waktu sudah tidak begitu berarti lagi bagi kami.
Barulah kemudian, ada seorang perempuan yang berwajah teduh, nampak cerdas air mukanya, dan kebijaksanaan seakan terpancar dari dirinya. Dia berseru, “Tuhanku, Penguasa Semesta Alam. Apakah yang membuat kami tertahan disini?”
Semua mata memandang ke perempuan ini. Mata malaikat-malaikatNya yang perkasa menatap ketus, seakan-akan merasa jijik karena mendengar pertanyaan perempuan tersebut.
Barulah kemudian suara menggelegar menjawab, suara Tuhan Semesta Alam.
“Yang membuat kalian tertahan disini adalah amalan kalian sendiri. Amalan kalian yang tertahan membuat kalian masih tertahan disini.”
Gerombolan tersebut berbisik gelisah. Beberapa dari mereka berjengit ketika mendengar mengenai amal mereka yang tertahan. Mereka semua ketakutan. Keheningan di antara gerombolan tersebut baru pecah ketika perempuan dengan kebijaksanaan yang seakan terpancar dari dirinya tadi kembali bersuara.
“Ya Tuhan kami, apa yang membuat amalan kami tertahan?”
“Amalan apa saja?”
“Banyak amalan kami, Ya Tuhan. Aku sendiri menjalankan rukun peribadahan sebagaimana yang Engkau perintahkan. Aku selalu menjalankan shalat 5 waktu, selalu berpuasa, dan zakatku selalu aku tunaikan. Aku pun sudah menunaikan perjalanan ke Bait Engkau di Tanah Suci. Dan aku mengabdikan diriku untuk menjadi seorang pendidik, Ya Tuhan. Menjadi gerbang penjaga moral dan adab generasi-generasi setelahku.”
Terdengar gumam setuju dari teman-teman segerombolannya. Beberapa ada yang menambahkan satu dua hal mengenai dirinya. Aku mendengar seorang Pria tegap dari gerombolan tersebut yang berseru “Aku juga mengabdikan diriku sebagai Takmir masjid, Ya Tuhanku!”. Perempuan dari gerombolan tersebut, dengan perawakan tinggi dan sedikit gemuk berseru, “Wahai Tuhanku, hambamu ini sering mengadakan pengajian untuk kaum Ibu di rumanya!” Sementara Pria disebelah perempuan tersebut ikut berseru “Aku juga sering mengisi khutbah di hari Jum’at, Wahai Tuhanku!.”
Sekonyong-konyong, aku menyadari bahwa mereka semua adalah orang-orang terhormat yang berpendidikan tinggi sewaktu di dunia. Apa gerangan yang membuat amalan mereka tertahan? Begitu kira-kira pikirku.
“Lalu apa lagi?” ucap Tuhan.
Mereka pun serta merta mengucapkan amalan mereka masing-masing. Ada yang mengaku sebagai ahli dzikir, ada yang mengaku sebagai ahli puasa, mereka semua berlomba-lomba menyebutkan amalan-amalan mereka di dunia. Berharap agar melalui amalan mereka itu, mereka bisa segera menyelesaikan penghakiman mereka dengan hasil sebaik yang mereka harapkan.
“Apa lagi?” Kembali Tuhan bertanya.
Mereka kembali bersahut-sahutan. Namun makin kesini makin sedikit yang menyahut dan makin jauh jarak interval antara suara sahutan mereka satu sama lain.
“Dan apa lagi?” Disaat itulah mereka semua terdiam. Tidak ada lagi amalan yang bisa mereka sebutkan di hadapanNya yang Maha Tahu. Perempuan dengan kebijaksaan yang seakan terpancar dari dirinya, akhirnya kembali angkat bicara. Memecah kediaman gerombolannya.
“Engkau lah Yang Maha Tahu, wahai Tuhanku. Tak ada amalan apapun yang kami lakukan di dunia kecuali Engkau sudah mengetahui. Tak ada amalan yang merupakan rahasia antara Engkau dan hamba-hambaMu.”
“Maka, Tuhanku, apakah yang membuat amalan kami tertahan?” Lanjutnya.
Tuhan pun menjawab, “Karena engkau-engkau sekalian membuat banyak orang memutuskan untuk berhenti menuntut ilmu. Berhenti melanjutkan jenjang pendidikan mereka di dunia. Aku adalah Yang Maha Berilmu. Tak tahukah kalian bahwa karenanya Aku mencintai proses menuntut ilmu yang dilakukan oleh hamba-hambaKu? Karena kebijakan-kebijakan kalian di dunia, ketika kalian memiliki kuasa dalam menentukannya, alih-alih membuat hamba-hambaKu ringan langkahnya dalam peribadatan KepadaKu melalui penuntutan ilmu, engkau-engkau sekalian justru mempersulit mereka. Berbagai macam alasan dan rasionalisasi kalian ungkapkan untuk memberi legitimasi terhadap kebijakan yang kalian ambil, yang sesungguhnya memberatkan hamba-hambaKu yang kesulitan dalam kemampuan.
Bagi kalian, memperindah universitas-universitas kalian lebih utama dibandingkan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi hamba-hambaKu yang berada dalam kesulitan. Bagi kalian, kemerdekaan mengurus finansial universitas lebih kalian kedepankan dibandingkan cita-cita luhur pendidik-pendidik pendahulu kalian yang lurus dan ikhlas. Berapa ibu dari hamba-hambaKu yang kalian buat menangis dalam ketidakberdayaan? Berapa banyak bapak dari hamba-hambaKu yang kalian buat merasa sebagai seorang bapak yang gagal karena tidak bisa memenuhi mimpi mulia anaknya untuk bersekolah setinggi-tingginya? Berapa banyak mimpi hamba-hambaKu harus terhenti karena kalian? Berapa banyak harapan mereka yang harus redup karena keangkuhan kalian? Tidak sadarkah kalian bahwa kalian sudah membuat banyak hati hancur remuk redam sehingga mereka hanya menemukan sujud KepadaKu sebagai jalan menenangkan hatinya yang retak?
Tidak sadarkah kalian bahwa Aku sungguh merasa malu ketika ada seorang hambaKu yang mengadukan kezaliman sementara kezaliman tersebut tidak Aku balaskan? Adalah Aku yang meletakkan kalian di jabatan-jabatan yang kalian banggakan tersebut. Yang kalian emban dengan penuh keangkuhan. Adalah Aku yang menjadikannya sebagai berkah bagi kalian yang berpikir, dan ujian bagi kalian yang bernafsu dengan penuh kebodohan. Itulah yang membuatKu menahan amal-amal kalian. Sungguh, amal kalian tidaklah berarti dihadapanKu. Tidak ada amalan yang dilakukan oleh siapapun berarti bagiKu. Amalan kalian tidak membuatKu besar, dan Kedurhakaan tidak membuatKu kecil. Aku selalu bersama mereka yang hancur hatinya karena ditindas oleh orang-orang seperti kalian.”
Sontak, gerombolan tersebut pun menunduk. Pundak mereka bergetar, baik karena tangis maupun karena takut yang demikian besarnya. Sebagian mereka celingak-celinguk, air mata darah membasahi wajah mereka yang ketakutan. Mereka menengok ke kiri dan kanan, seakan mencari pembelaan. Seakan mencari orang-orang yang telah mereka salahi di dunia. Seakan mereka ingin memohon maaf dan ampun di saat-saat terakhir penghakiman.
Dan tiba-tiba, salah seorang MalaikatNya yang bertubuh menjulang tinggi paling besar, mengarahkan telunjuknya kearahku. “Dia adalah seorang pencari laron yang pupus mimpinya karena kalian. Mintalah kesediaannya untuk mengampuni kalian. Dan aku akan menunjukkan satu per satu orang yang telah kalian salahi di dunia.”
Dan serta merta, aku menatap perempuan dengan kebijaksanaan yang seakan terpancar dari wajahnya tadi. Dan teringatlah aku, bahwa dia adalah Rektor dari universitas yang menerimaku dahulu, namun pupus aku jalani karena beratnya biaya pendidikan yang harus aku tanggung. ~
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas.