Oleh Harnata Simanjuntak
“….Akan halnya aku tak dapat segera menjumpaimu dan menuntaskan dendam rindu, jangan pulalah engkau menduga ianya siasat belaka. Banyak helah dan alasan kuhujah agar merdeka dari penjara tanah ini. Namun setumpuk muka masam, dengus dan cibir mereka – para penguasa bertali merah itu – ibarat siraman air ke kobaran api, memupus beraniku.
Biarlah tiba kala seturut patutnya, maka aku kan berpamit diri seketika agar terbayar hutang rindu padamu, kekasih. Hendaklah tak surut sayangmu akan aku yang tak berguna ini. Jikalau nanti dipertemukan kita, deralah aku, tampar dan hunuskanlah kuku-kukumu hingga terbayar hutangku. Aku pula, tak satu detikpun lengah membelai cium, memuja tiap ukur tubuhmu, menyelusup wajah di gerai mayangmu. Maafkan aku kekasih untuk jumpa yang kembali tertunda. Tak cukup dayaku merubuh hempang kaum tali merah. Lutut bertekuk, sepuluh jari tersusun hiba: sudahkanlah tangis rindu agar tak serta aku dalam duka…..”
* * *
Aku bunting. Maaf atas kata-kata lancang bercarut, namun jika berbadan dua dan merasa ditipu, maka berhaklah kugunakan kata kurang senonoh. Sesungguhnya aku sangat mencintainya. Begitupun ia, memujaku melebihi apa yang patut ia puja. Surat maya darinya terpampang di laptop menjadi bukti. Namun ini adalah kesalahan. Paling tidak tentu kucegah jika sedari awal mafhum akan jatidiri lelaki yang padanya kini kumendendam rindu. Gelorakulah yang membenam akal sehat, diiringi pula sambut mesranya kala itu.
Baiklah kubentang kisah dari awal, maksudku bukanlah awal sekali, hanya bermula dari perjumpaan kami, bukan dari penyebab luka hati sebelum bersua dengannya.
Hakikat awal mula kami bertemu tiada indah. Begitulah rasa di pihakku, entah di ingatannya. Hati yang didera berlaksa nestapa rajam binti kianat, masygul sesak laksana dihimpit gergasi, hingga tak terlalu cam akan hadir mahluk asing duduk di sebelah. Berkendaraan bus, menjadi penumpang tanpa banyak pilihan, menuju kotaku di malam jahanam sekaligus berkah itu, aku harus beradu tekak dengan lelaki yang sejatinya amat santun. Namun karena ia meminta tempat duduk dimana aku berada, di sisi jendela, pitamku naik.
Kuhardik, berbalas -dengan nada lebih datar, oktaf lebih rendah. Ia bahkan tersenyum, mengulur-ulurkan tiket ke wajahku. Dan sebenarnyalah tempat dudukku itu bangkunya. Di tengahi supir, karena kernet tak mampu, aku kalah dan harus pindah ke sisi gang. Di dalam bus, supir adalah raja dan ujarannya ialah titah. Ketika hendak berganjak, si seteru menahan, menyentuh pelan pundak dan lenganku. “Tak apalah. Duduk saja di situ. Maafkan cakap kasarku tadi.” Cuih, makhluk Tuhan paling dungu. Aku melengos. Bersalin rupa menjadi wira konon? Kenapa tak sedari tadi?
Bus hendak berjalan. Lebih tepat, supir memain-mainkan pedal gas, namun tak bergerak juga si roda banyak itu. Terbongkarlah kedokku: si perempuan berperut kosong, seharian menangis tersebab dianiaya asmara, tak bertemu nasi dan kerabatnya, membau pula bau asap mobil. Hitunglah mundur, mulai dari sepuluh, atau lima, akan segera aku muntah. Lelaki di sebelahku memerhati seksama.
Entah benda apa dirogohnya keluar dari kantong. Minyak angin? Tentulah iya. Sudah barang tentu sebotol itu disiapkan bukan hendak ia pakai sendiri. Memanglah, kesempatan begini beri peluang muncul jadi pahlawan. Ia sodorkan ke tanganku. Sedikit bergesekan kulit kami. Egoku berkata ia hendak mengambil kesempatan mencari perhatian, maka kutepis. Huh, salah orang. Perutku makin meronta. Ini harus keluar.
Sementara bus hendak beringsut, aku pula segera sempoyongan. Teman sedudukku bersuara tinggi meminta kantong plastik ke kernet. Terlambat. Keluar sudah. Seharusnya mendarat di pahaku namun tak menjadi karena lelaki di sebelah membentuk kedua tapak tangannya serupa tempurung menampung cairanku.
Entah bagaimana ia membersihkan tangan, yang kuingat ada sapu tangan, air minum dalam kemasan dan plastik asoy. Aku dalam pengawasannya. Dengan hati-hati tengkukku ditetesi minyak angin. Terasa ujung-ujung jari sangat hati-hati mengurut tengkukku. Ia mengambil tapak tanganku, menetesi dengan minyak angin dan memintaku mengoleskan ke perut.
Kuturuti. Keningku dipijit, menjalar hingga ke kepala belakang. Terkutuklah ia yang leluasa menjamah, namun tak ternafikan hasil pijatannya begitu meringankan. Setelah segala yang berguncang dalam perut terluah, akupun lemaslah. Di pundaknya aku bersandar pulihkan tenaga. Ia tampak tenang saja tanpa bersit senyum kemenangan. Sesekali diseka keningku yang akhirnya berkeringat.
Lelaki yang harus kuakui bertampang comel itu merunut nama-nama tempat yang dilalui bus kami bagai pemandu dengan senarai ditangan. “Sebentar lagi bus kita singgah untuk makan minum. Kau makanlah nanti sedikit, minum juga yang hangat supaya tenagamu pulih.” Hanya dengus jawabku. Namun sebuah hmm perlahan, yang kusebut dengus tadi, adalah perlambang takluk. Aku di tangannya pasrah.
Seperjalanan ini hingga pulih, berserah padanya. Dan ia menjagaku. Menenteramkan. Membuat lupa jahanam yang mengiris-iris hati dan menuangi dengan cuka. Yang kutahu, mual hilang, badan lemas, namun nafasku sangat teratur. Bau tubuhnya kuhidu dan membuat kenyang. Tiada pewangi apapun namun memuaskan indera cium. Kucuri pandang wajahnya. Meneroka jika tersemat barang segaris rambut saja kerut mesum. Seturut duga dan harapku: nir. Tatapnya menerpa tiada bersenyum. Memandang saja. Hujam sorot matanya membuat ngilu sekaligus hangat menggetarkan. Setahanku terus membalas pandang hingga rebah dan berpindah alam ke dunia mimpi.
Tengah malam aku terbangun dan tak terlalu kaget menyadari setengah bagian tubuhku di atas ribanya. Dalam rambutku ada jemari. Seiring sadarku belai itu melambat hingga tak bergerak. Aku merajuk manja dan iapun meneruskan. “Kenapa bus berhenti?”, entah ia mendengar jelas tanyaku. Yang ia ungkapkan kemudian sungguh di luar dugaan. Jalan di depan macet. Sudah sejak tadi siang ada truk terbalik melintang. Antrian kendaraan bahkan telah berkilometer.
“Bangun sebentar ya, aku mau turun.”
“Ke mana…”, suaraku berbunyi mengkek karena diimbuh desah. Memalukan. Jawaban lelaki itu hanya telunjuk yang mengedar ke jalan melalui tingkap. Ia hendak melihat keadaan luar. Lebih seperempat jam ia kembali dan aku merajuk lagi. Merasa berhak dibujuk karena lama nian ditinggal.
Rajukku ia tak peduli. Membungkuk, ia mengemasi barang.
“Mau ke mana?”
“Kulihat kau sudah baikan sedang aku butuh banyak istirahat. Di luar ada penginapan. Aku mau tidur di sana. Hingga besok bus ini takkan bisa keluar. Lebih baik kau mulai tidur.”
Betul-betul tak bertanggungjawab juga tiada tamadun jika benar meninggalkanku. Bagaimana kalau nanti aku muntah. Tapi takkan terjadi karena aku sudah lebih bugar, dan bus berhenti tak mengeluarkan asap bau memualkan. Mau muntah bagaimana? Ah, sungut wajahku pastilah ketara. Dasar kau kaum berjakun. Diam adalah yang kulakukan sembari memandanginya tentu. Sekali ia menunduk agak rendah, mengambil sesuatu di lantai bus. Bertebaranlah bau badan di lingkup indera hiduku yang mulai mencandu. Bukanlah aroma yang jantan sangat. Begitupun, mampu buat kelenger bak ditimpa buah kelapa. Tadi ketika tidur di pangkuannyapun aku hala hidung ke sudut ketiaknya. Dan sekarang ia akan berambus. Kupindai wajah teduh itu. Sekian detik kami bertatapan. Sekian detik yang merubah hidupku, hidup kami. Kemudian ia mengelus-elus rambut di atas kepalaku. Ragam rasa berbancuh. Lenganku ditarik pelan. “Berdirilah biar kukemasi barangmu.
” Kami menuju penginapan. Di kamar ia mandi lebih dulu. Tatap kagum terpancar di bola matanya memandangku selesai mandi. Sudutmatanya ke rambutku yang ikal tergerai. Tak sadar kuelus ujung hidung sendiri. Sememangnya hidung mampu menghidu berbagai aroma, dan untuk aroma sanjungpuji ia akan terasa gatal. “Cari makan yuk.”, lelaki itu telah lebih dulu menuju pintu keluar kamar. Malam itu kami berjalan beriring ditemani tabur bintang di langit. Bus, truk dan kendaraan lain berderet sesak di jalan. Bukanlah pemandangan sesuai untuk sebuah romansa, namun temaramnya menghanyutkan. Orang-orang turun dari kendaraan bertebar, menunggu mukjizat kemacetan segera berakhir.
Aku sendiri tak yakin sepengharapan dengan mereka. Di rumah makan (seperti sudah diatur bukan, di sini ada rumah makan) aku menyantap dengan berselera. Tentu kami tak boleh berharap banyak dengan menu makan malam di jalan lintas propinsi. Asal tak basi, cukuplah. Aku sendiri tak hendak memakan nasi. Namun seingatku, itu adalah makan malam terindah seumur gadisku.
Aku tak peduli walau hanya menelan mi cepat saji yang cuma direndam air panas berteman teh manis. Ia bercerita dengan suara yang membuai. Untuk seorang gadis dengan hati terhuyung tersebab khianat, dapat dikata aku cepat pulih. Nyaris tak berbekas. Kembali ke penginapan, di atas tempat tidur dalam selimut aku belum terpejam. Di lantai aku tahu ia pun masih menerawang. “Namaku David.” ia berbisik, hampir tak terdengar.
“Aku Irma. Salam kenal, David. Bahagia aku bisa mengenalmu.”
Malu aku dengan suara sendiri yang tak terkendali. Ingin kedengaran datar dan tak terkesan, keluar malah berjinjit getar. Kemudian adalah kejadian paling teruk pun tidak romantis namun sangat menentukan malam itu. David kentut dan berbunyi pula. Aku tertawa keras, menyuruk semakin dalam ke selimut.
“David, aku yakin tak adalah perempuanmu. Wanita mana sudi pada lelaki berkaret longgar.”
Tak kulihat, kudengar ia cengir, cengengesan.
“Siap-siaplah untuk kelanjutannya. Lantai ini cukup dingin untuk membuatku terus buang angin.”
Sungguh aku menyalahkan diri sendiri. Aku di atas berselimut, ia pula di bawah tanpa alas dan pembungkus. Beberapa jenak hening. Kami dengan pikiran masing-masing dan kurasa pikiran kami sama.
“Apa aku dapat mempercayaimu?”, oh, betapa aku memang memulai.
“Kau boleh sambil memegang gunting.”
“Gunting aku tak punya. Kau tidur saja lebih dulu.” Aku mengingsut ke sisi tempat tidur menyisakan setengah untuk David yang segera menyelusup ke bawah selimut. Meski berhati-hati tetap saja ada bagian tubuh kami teradu. Ujung-ujung kaki. “Ups, sori.”, ia setengah berbisik, amat kikuk. Ada sungging senyum di hati. Duhai, betapa polos engkau, kanda. Nakalku muncul.
“Awas macam-macam, jangan bergerak ya. Aku mau tidur.”, namun ancamanku tak seturut laku. Kurapat tubuh hingga kami berdempet dan di dalam selimut lengan kiriku melingkar di dadanya. Hidungku di sisi lengannya, menghidu dengan sangat dalam segala bau yang tersergap. Keringat melembabkan tubuh David. Kasihan kau sayang. Malam itu, lahir kembali perempuan bernama Irma dari rahim cinta dan dengan segenap jiwa raga berbinar. Akulah rama-rama dengan bintik terjelita, tuat dari kepompong asmara.
Teraju sabung belai kasih kami pegang bergantian. Akan tetapi sungguh David lebih banyak membiar aku menuntun gada pusaka merambah semenanjung rimba, dan itu amat menyanjung. Peluh adalah di antara cecair yang kami pancutkan. Lainnya, liur dan ada beberapa lagi. Deras bak mata air terkumpul di binanga menuju muara hala ke samudera.
* * *
Sehitungan jari kami pernah bertemu setelah kejadian itu. Bertelepon saban hari, mengirim pesan pendek beberapa kali sehari. Bercermin ke babak-babak jalinan asmara di hari-hari lalu, sebenarnya tak baik jika aku hanyut terbuai berayun di samudera cinta tak bertepi. Bijak pandai telah berkata : ikut hati mati, ikut rasa binasa. Walau acap timbul waswas akibat terlalu kuat mencinta David, namun pikir itu tak pernah kubiar merebak. Selalu cepat-cepat kuhapus. Sebelum ini hatiku telungkup sesenggukan, sekarang rebah tergial masyuk.
Kumakzul nestapa dan menobat David di tahta. Hidupku jungkir balik ketika tahu kami adalah dua kutub. Ihwal memuja langit, ternyata kami tak sama. Sungguh-sungguh ia meminta maaf atas kecuaian tak memberitahu jatidiri sebenar sedari awal. Sebenarnyalah aku bertanya kemana tujuan David ketika kami bercengkerama di penginapan dulu. Hendak mengukur baju, katanya diulasi senyum. Ia memang tak berbohong, namun juga tak sepenuhnya jujur. Jubah hitam bukanlah baju.
Akan halnya jumpa kami, selalu berkesan mendalam. Meski tidak dalam laku sebadan, namun dua hati makin bertaut. Perjumpaan hampir selalu di kotaku. Gegap gempita bandar raksasa itu menyayup dengan kehadiran David. Ia gemar bertutur akan banyak hal. Aku pula pendengar yang baik, walau tidak selalu paham takrif tiap ujarnya. Paling menarik minat adalah tentang kitab yang ia telah khatam.
Ragam kisah dari kitab itu sudahpun pernah aku dengar, namun dari bibir David segalanya tampak hidup. Seperti hikayat memberi makan ribuan orang dari beberapa roti itu, dulu bagiku amat menggelikan. David berkisah dengan hikmat meyakinkan. Sehingga umpama ia berkata ikut membagi roti ajaib itu, aku akan mengangguk. Suatu malam di ujung perjumpaan karena esoknya David harus pulang, ia bertanya : “Siapakah aku padamu?”
Sebuah soalan kejam meski memang kutunggu. “Dengarkan aku kekasih dan jangan bersoal jawab lagi. Dirimulah dunia yang dulu tak kuyakin ada, sukacita besar yang dulu adalah mimpi, kejutan yang mendenyut kembali nadi, penguak tabir bingar gemerlap hidup. Pancur kepada dahagaku. Tapak hatiku berkasut cintamu, sungguh molek padan. Cukupkah itu menjadikanku sebuah tulang?”
Kugigit bibir, sekuat hati membendung tetes-tetes yang siap meluncur. David berlari memelukku. Dentum debar kami gemuruh bersahutan. Langit kutengadah. Kala lain diam-diam kusambangi kota dimana ia bermastautin. Menyimak David dalam laku dan sapa bicara di atas mimbar. Dibungkus jubah hitam, kekasihku amatlah segak. Ia seperti berbicara dalam selimut awan. Aku, kami jemaahnya, di bumi menengadah. Ia berkotbah, ia pengotbah, disimak ratusan pasang mata, telinga, hati. Seperti biasa suara David sangat lembut, jauh dari jumawa, menjalar membelai-belai indera pendengaran dan bergema hadamkan hati.
Ia berbicara seperti kepada anak-anak. Dan kami adalah para anak yang baik. Seakan selalu kudengar sahut ya bapa, ya bapa, dari mulut kami di setiap jeda kalimatnya. Aku takjub, terkesima pun bangga. Hingga tak sadar sesekali ibu ibu dan beberapa gadis belia di sebelahku melirik aneh. Tentulah iya. Di tempat agak terpencil itu, dandananku yang sedikit terdedah mencolok sangat. Hal mana tak akan terjadi jika bertanya ke David terlebih dulu, dan ia memberi masukan ihwal pakaian yang patut kukenakan. Namun, jika begitu tentu bukan kejutan
namanya. Berbicara pakaian, di tempat itu aku mengarifi siapa yang dimaksud David ‘kaum tali merah’. Alunan elok paduan suara menyihir, buat terpegun. Kupejam mata, larutkan tiap nada ke segenap rinci tubuh. Sang pemimpin meliuklenggokkan tangan yang meski dalam bidang sempit namun tak kurang indah mengundang decak takjub. Beberapa saat terpercik asa betapa aku hendak menjadi bagian perhimpunan orang percaya ini. Bukan karena ia yang berjubah hitam, kekasihku nun di altar. Sungguh aku dilingkupi aroma langit yang mengalir dari sekitar. Seandainyalah kisah kasih kami tak terjejas laku terkutuk, tentu akan lain penamatnya.
* * *
Keringat semerata tubuhku. Perawat di kiri kanan teramatlah sabar. Tiap ketika peluhku diseka. Dibersihkan juga kotoran yang keluar terserak saban mengejan meski belum juga berhasil aku menghadirkan putri ke bumi. Sudah dua jam David tidak memberi kabar padahal ia berjanji mendampingi kelahirkan bayi kami.
Menggenggam tanganku, menyeka peluh, dan ikut menyemangati menarikkumpulkan nafas, mengejan. Itulah janji David, dan sejak tadi sore ia tidak memberi kabar, pun tak dapat dikabari. Ponsel yang terletak di meja acap kulirik. Berbunyilah. Bergetarlah. Davidku, ragukah kau? Malukah? Bukankah kau berjanji, kekasih, melihat si butet lahir dan merekam suaranya?
Sepintas perawat saling lirik kemudian menatapku iba. Sepenglihatan mereka, tubuhku melemah. Meski mata menyipit, aku tahu mereka berbisik. Oh jangan, jangan belah perutku. Biarkan putriku lahir dari mana seharusnya. Tidakkah kalian tahu kekasihku akan tiba menemani, memberi berlipatlaksa kekuatan untuk meneruskan.
Semakin kerap kutatap ponsel di meja. Bergetarlah, berderinglah. Bicara padaku David. Temani aku. Aku semakin lemah. Sejak bertemu David tak lagi aku menangis. Meski dikucil sanak keluarga, tetap tegar. Ialah duniaku. Kekasihku. Dan ia belum datang. Dalam letih kantuk yang terus mendera, berbunyi guntur menggelegar diikuti penggalan sebuah lagu kesayanganku. Dalam buai mimpikah? Sedaya upaya kugigit bibir. Bukan mimpi. Itu getar ponselku. Itu nada deringnya. Kemudian mati.
* * *
Meski terus kudesak, aku belum bisa memiliki ruang inap sendiri. Para perawat baik hati itu mengatakan ruang VIP penuh. Jadi, disinilah aku, dalam sebuah kamar di seberang ruang bersalin, berdua dengan puteriku, bertiga dengan perempuan lain yang juga baru selesai melahirkan, berempat dengan puteranya, beramai-ramai dengan handaitaulannya yang menjenguk. Sepiku hilang mendengar cakap-cakap mereka yang riuh bergelaktawa. Sesekali mereka melirikku dengan raut bersalah akibat terlalu gaduh. Aku tersenyum memberi tanda tidak keberatan. Sepanjang puteriku tidak terusik dan jikapun Zulaikha (aku suka sekali nama ini) terbangun, aku tinggal menetekkan dan ia kembali lelap.
Aku bahkan sesekali terlibat dalam bincang-bincang remeh-temeh mereka. Namun lebih sering aku menerawang jauh hingga suatu saat degup jantungku terhenti dan kedua tangan mencengkeram. Mereka bercerita tentang kejadian kemarin sore ketika seorang pengunjung rumah sakit terburu-buru menuruni angkot dan dilindas ambulan ketika menyeberang. Dadanya remuk.
Dumai, 2008