December 11, 2024
1

Oleh  Agoes S. Alam__Pengasong Seni

Mengawali tulisan ini, aku teringat dengan sebuah kutipan dari Pablo Picasso, “Seni bukanlah hanya tentang menciptakan yang indah, tetapi juga tentang memberikan makna”. Kutipan ini sangat menginspirasiku untuk tidak hanya fokus pada estetika, tetapi juga pada nilai dan makna dari karya seni yang mereka ciptakan.

Pablo Picasso memang tidak pernah menjejakkan tapaknya di tanah Melayu ini, tapi resam dan ghase dalam mindanya seolah-olah mengerti betol dengan bedenyutnya sempedas dan gulai lemak Melayu. Begitu juga Sutardji Calzom Bahri penyair yang terpancul di tanah bunda ini sama sekali tak pernah terlintas apalagi memikirkan makna, biarlah kata-kata itu memaknai dirinya tanpa intervensi bahkan dari penjajahan makna.

Ringkihnya beban pada sebuah karya hanya membuat karya itu lahir seperti diteran tanpa ada kebebasan kehendak dari jiwa karya itu.  Pada titik inilah karya itu lahir bukan kehendak takdirnya tapi lebih pada pemaksaan [teran]. Makna teran tadi menunjukkan bahwa mereka belum jelas melihat bahwa telunjuk yang menunjuk rembulan itu bukanlah rembulan.

Terpandang brosur Laman Cipta Sastra yang ditaja Dewan Kesenian Riau, aku hanya bisa mengatakan, “Berhentilah ‘menjuri’ karya sastra sebab engkau tidak pernah tahu bahwa karya yang dinilai dengan angka dan sekat-sekat birokrasi seni itu hanya melahirkan kejumudan di tengah terbentangnya semesta.

Bak kata Tyas, AG, “…Hanya dengan kalimat keparat saja lagi aku dapat merangkai sajak. Begitu juga kata Rob Hazab, “…Katop muncong dikau, biarkan kata itu main sambalakon di laman tu…” ~