
Ilustrasi: economist.com
Oleh Bambang Putra Ermansyah
René Guénon merupakan seorang filsuf dan mistikus dari Prancis yang terkenal produktif menulis mengenai salah satu tradisi mistik paling kontroversial: Perenialisme. Tulisan-tulisannya terbukti telah secara signifikan dalam memperkenalkan dan mengembangkan pemikiran tersebut di Barat. Guénon menjalani kehidupan yang eksploratif demi menyibak esensi dari tradisi-tradisi esoterik dan metafisik dari berbagai agama dan budaya.
Melalui karya-karyanya, ia meletakkan pondasi utama tradisi mistik Perennial: bahwa ada satu kebenaran universal yang menetes dan kemudian membentuk dasar semua tradisi mistik agama-agama. Filsafat mistiknya tersebut berusaha untuk mengungkap kesatuan transenden yang menghubungkan semua agama besar, di mana setiap bentuk kepercayaan merupakan tetesan-tetesan manifestasi dari mata air ilahiah yang sama.
Sekularisasi dan modernitas dilihat oleh Guénon sebagai penyebab utama dari degradasi spiritualitas, sebuah pandangan yang sama dengan beberapa pemikir besar dari tradisi banyak agama-agama, dari mulai Jacques Maritain (dari tradisi Katolik) hingga Syed Naquib Al Attas (dari tradisi Ghazalian).
Pandangan ini juga nantinya diturunkan olehnya kepada Frithjof Schuon (Perennialis dari Swiss, yang juga kolega akrabnya) serta Syed Hossein Nasr (yang nantinya menulis salah satu karya penting yang mengkritik modernitas ; Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man yang sangat terasa warna Guénon dalam baris-baris kalimatnya).
Dalam tulisan yang diterjemahkan ini, Guénon menyorot simbolisme dalam seni teater. Bagaimana teater bukan sekadar bentuk hiburan, melainkan sebuah representasi yang kaya akan makna simbolis yang menghubungkan dunia fisik dan spiritual. Yang transenden dan yang profan. Dalam tulisannya ini, Guénon membandingkan peran aktor dalam teater dengan eksistensi manusia di dunia ini, di mana setiap individu memainkan berbagai peran dalam kehidupan mereka.
Aktor, menurut Guénon, adalah simbol dari “pribadi batini” yang tetap tidak terpengaruh oleh peran yang dimainkannya, sama seperti jiwa yang sejati yang berada di balik setiap manifestasi lahiriah. Guénon juga menggali lebih dalam tentang pentingnya penggunaan topeng dalam teater kuno sebagai simbol bahwa di balik setiap penampilan yang berbeda dan terus berubah, senantiasa ada esensi yang tidak berubah. Melalui tulisan ini, Guénon tidak hanya memperkaya pemahaman kita tentang teater tetapi juga membuka perspektif baru mengenai hubungan antara seni dan spiritualitas. Tabik.
Berikut terjemahan dari tulisan René Guénon berjudul Simbolisme Teater tersebut:
Kami baru saja memperbandingkan kebingungan yang dialami oleh sebuah wujud dalam melihat manifestasi lahiriah dan profan mereka dengan identifikasi seorang aktor dan karakter yang ia mainkan. Untuk menunjukkan sejauh mana perbandingan ini tepat, seharusnya beberapa pertimbangan umum mengenai simbolisme teater bukanlah sesuatu yang berlebihan, meskipun simbolisme teater itu sendiri tidak sepenuhnya terkait dengan ranah inisiasi.
Karenanya, simbolisme ini bisa saja dikaitkan dengan karakter asli dari seni dan kerajinan, yang dahulu semuanya memiliki makna inisiasi karena mereka terkait dengan prinsip yang lebih tinggi yang menjadi asal mereka sebagai aplikasi kontingensi. Mereka hanya menjadi profan, seperti yang sudah sering kali kami jelaskan, sebagai hasil dari dekadensi spiritualitas umat manusia dalam siklus sejarah mereka yang juga sudah merosot.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa teater adalah simbol dari manifestasi, yang karakter buatannya diekspresikan dengan sebaik mungkin. Simbolisme ini dapat dilihat baik dari sudut pandang aktor maupun teater itu sendiri. Aktor adalah simbol Diri atau “pribadi batini” yang memanifestasikan dirinya dalam serangkaian keadaan dan modalitas tak terbatas yang dapat dianggap memiliki banyak peran yang berbeda.
Kita layaknya perlu mencatat mengenai betapa pentingnya penggunaan topeng di dalam seni teater terdahulu sebagai pengekspresian yang begitu tepat atas simbolisme ini. Karena di balik topengnya, seorang aktor tetaplah merupakan dirinya sendiri sekalipun sedang memainkan semua perannya yang lain.
Sama halnya dengan “pribadi batini” yang tetap “tidak terpengaruh” oleh semua manifestasinya. Hilangnya penggunaan topeng telah memaksa aktor untuk mengubah fisiognominya sendiri. Namun begitu, dalam seluruh kasus, seorang aktor tetaplah pada dasarnya berbeda dari apa yang ia tampakkan, sama seperti “pribadi batini” yang berbeda dari banyaknya keadaan yang termanifestasikan.
Topeng-topeng tadi tidaklah lebih dari penampilan lahiriah yang berubah-ubah, yang para aktor kenakan untuk mewujudkan, melalui berbagai modus yang sesuai dengan sifat mereka, kemungkinan tak terbatas yang ia kandung dalam dirinya sendiri dalam momen non-manifestasi yang abadi.
Bergerak ke sudut pandang lain, kita juga bisa mengatakan bahwa teater adalah gambaran dari dunia: baik teater maupun dunia hanyalah “representasi” dari yang sebenarnya. Dunia itu sendiri, karena ia hanya eksis sebagai konsekuensi dan ekspresi dari Prinsip yang merupakan dasar esensial di semua aspeknya, dapat dianggap sebagai perlambangan dari tatanan prinsipal sesuai dengan caranya sendiri.
Karakter simbolis inilah yang memberikan sebuah nilai superior kepada dunia, nilai yang dimilikinya di dalam dirinya sendiri, sebagai cara untuk ia berpartisipasi dalam tingkatan realitas yang lebih tinggi. Dalam bahasa Arab, teater disebut dengan kata tamthīl yang, seperti semua kata yang berasal dari akar kata yang sama, mthl, menunjukkan arti kemiripan, perbandingan, gambar, atau figur.
Beberapa teolog Muslim menggunakan ungkapan ālam tamthīl, yang dapat diterjemahkan sebagai “dunia figuratif” atau “dunia representasi,” untuk merujuk pada semua yang dijelaskan secara simbolis dalam Kitab Suci dan karenanya tidak boleh dipahami secara literal.
Penting untuk dicatat bahwa beberapa kalangan menerapkan ungkapan ini secara khusus untuk merujuk ke alam malaikat dan setan, yang sebenarnya mewakili tingkat keberadaan yang lebih tinggi dan lebih rendah, dan hanya dapat dijelaskan dengan istilah simbolis yang dipinjam dari dunia nyata yang inderawi. Selain itu, dalam sebuah kebetulan yang setidaknya patut untuk juga dicatat, seseorang harus menyebutkan peran besar yang dimainkan para malaikat dan setan ini dalam teater religius Barat abad pertengahan.
Karenanya, dari apa yang baru saja dibahas, teater terbatas pada fungsi untuk merepresentasikan dunia manusia, yang bisa dikatakan hanyalah salah satu keadaan manifestasi. Pada saat yang sama, Teater juga dapat mewakili dunia yang lebih tinggi dan lebih rendah.
Atas dasar inilah, dalam drama misteri Abad Pertengahan, panggung dibagi menjadi beberapa tingkat yang sesuai dengan dunia yang berbeda. Tingkatan ini umumnya ditetapkan mengikuti pembagian tiga bagian: surga, bumi, dan neraka. Selanjutnya, karena drama dilakukan secara bersamaan di tiga bagian ini, maka teater juga merupakan representasi yang akurat terhadap keserentakan esensial dari berbagai keterjadian masing-masing keberadaan.
Karena kurang memahami simbolisme ini, orang-orang modern menganggapnya sebagai sesuatu yang merupakan sebuah “kenaifan,” bahkan kekakuan, dimana teater sebenarnya memiliki makna yang paling mendalam. Yang paling mengejutkan adalah betapa cepatnya ketidakmengertian ini muncul, sebagaimana yang ditunjukkan oleh manifestasinya yang mencolok dari para penulis abad ketujuh belas. Pemisahan radikal antara mentalitas Abad Pertengahan dan mentalitas zaman modern adalah salah satu enigma yang sangat besar.
Karena kami baru saja membicarakan drama misteri, kami percaya bahwa bukanlah sesuatu yang tak berguna untuk menyorot keunikan denominasi yang memiliki arti ganda ini : seseorang harus menulis, dengan segala kekakuan etimologis, bahwa “misteries,” dimana kata ini berasal dari kata Latin ministerium, yang dapat diartikan dengan “jabatan” atau “fungsi,” dengan jelas menunjukkan sejauh mana representasi teater jenis ini pada awalnya dianggap sebagai sebuah bagian integral dari perayaan hari raya keagamaan.
Namun anehnya, nama ini telah dipadatkan dan disingkat dengan cara-cara yang membuatnya menjadi benar-benar homonim dengan kata “mysteries,” yang pada akhirnya menghasilkan kebingungan atas kata yang sebenarnya berlainan ini, dimana ia (yakni kata mysteries) berasal dari Yunani dengan derivasi yang sama sekali berbeda (dengan kata misteries).
Hanya melalui alusi pada “mysteries” agama, yang dipentaskan dalam drama-drama yang telah dibuat sedemikian rupa dalam kesalahpahaman ini, pada akhirnya asimilasi ini menghasilkan dirinya sendiri. Tidak diragukan lagi bahwa asimilasi tersebut merupakan hal yang masih masuk akal.
Namun di sisi lain, jika seseorang mempertimbangkan bahwa representasi simbolis yang serupa pernah terjadi pada “mysteries” peradaban tua, seperti di Yunani dan mungkin juga di Mesir, seseorang mungkin tergoda untuk melihat dalam hal ini sesuatu yang lebih jauh ke belakang dan menafsirkannya sebagai indikasi dari kontinuitas tradisi esoterik dan inisiasi yang menegaskan dirinya sendiri secara lahiriah, pada interval waktu yang lebih kurang jauhnya, dengan manifestasi serupa, dengan adaptasi yang diperlukan oleh beragamnya keadaan ruang dan waktu.
Kami telah sering menyorot pentingnya asimilasi fonetik antara kata-kata yang berbeda secara filologis, sebagai modalitas bahasa simbolis. Tidak ada yang sewenang-wenang dalam hal ini, betapa pun orang-orang di zaman ini mungkin mengira akan kesewenang-wenangan tersebut.
Dan lagi, metode ini sebenarnya bukannya tanpa hubungan dengan mode interpretasi yang terkait dengan agama Hindu : nirukta. Rahasia dari pertubuhan bahasa yang intim telah benar-benar hilang hari ini, sehingga hampir tidak mungkin untuk menyinggung mereka tanpa dicurigai bahwa kita terlibat dalam “etimologi palsu” atau bahkan dalam “permainan kata” belaka.
Plato sendiri, yang kadang-kadang menggunakan penafsiran semacam ini—sebagai yang secara kebetulan kami sebutkan untuk merujuk kepada “mitos”—sudah tidak lagi diterima dengan baik oleh “kritik” pikiran yang bersifat pseudo-ilmiah yang dibatasi oleh prasangka modern.
Untuk menyimpulkan beberapa catatan mengenai teater ini, kami akan menyebutkan sudut pandang lain mengenai simbolisme teater: sudut pandang penulis naskah. Dari sudut pandang itu, berbagai karakter, sebagai sebuah produksi pikirannya, dapat dianggap merupakan representasi dari modifikasi sekunder serta ekstensi dari si penulis, kurang lebih sama halusnya sebagaimana yang diproduksi ketika kita bermimpi.
Selain itu, pertimbangan yang sama juga relevan sehubungan dengan produksi semua karya imajinatif dalam genre apa pun. Namun, dalam kasus teater, produksi ini secara khusus direalisasikan dalam mode yang dapat dirasakan sehingga membuat gambar kehidupan menjadi sangat nyata, seperti yang juga terjadi dalam mimpi.
Karenanya, penulis naskah sebenarnya sedang memenuhi fungsi “demiurgic” yang sesungguhnya, karena ia menghasilkan dunia yang sepenuhnya ditarik keluar dari dirinya sendiri. Untuk alasan itu, ia dapat dianggap sebagai simbol Wujud itu sendiri, yang merupakan penghasil manifestasi yang universal.
Dalam kasus ini, sebagaimana dengan mimpi, kesatuan esensial dari penghasil “bentuk-bentuk ilusi” tetap tidak terpengaruh oleh banyaknya manifestasi yang tidak disengaja, sebagaimana penyatuan Wujud tetap tidak terpengaruh oleh banyaknya manifestasi. Oleh karena itu, dari sudut pandang mana pun seseorang melihatnya, ia akan selalu menemukan raison d’être yang mendalam ini di dalam teater— namun tidak akan diketahui oleh mereka yang menjadikan seni ini menjadi sesuatu yang benar-benar profan : bahwa teater, dengan sifat alamiahnya, merupakan salah satu simbol paling sempurna dari manifestasi universal. ~
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.