Pada detik-detik terjaga dari tidur, kita bergegas mencari tubuh kita, memastikan posisinya ada di mana. Begitu didapat, kita kembali meninggalkannya; tubuh yang terus menua tanpa sepenuhnya dijaga. Kita kembali mengulang ritual hari-hari sebelum pagi ini, sebagai makhluk yang berpikir, dengan 35 hingga 48 hentakan pikiran per menit, 5.000 hingga 7.000 lintasan pikiran per hari. Seakan tak ada sedetik tersisa untuk kembali ke tubuh kita, kepada kesadaran murni, kepada detik ini untuk detik ini.
Ketika gagasan tentang free will telah dilumpuhkan, untuk apa kiranya pikiran sebanyak itu. Ketika minat dan tindakan kita dikendalikan oleh algoritma semesta, pikiran-pikiran itu tak lebih dari kesibukan yang sewenang-wenang di dalam kepala. Pikiran-pikiran itu sudah pasti bukan undangan dari kehendak bebas kita, mereka menyerbu begitu saja.
Kita sebenarnya bisa saja mengambil dan percaya akan adanya kehendak bebas itu dengan taruhan dan konsekuensi logis yang tidak mudah, bahwa pilihan tindakan kita akan memecah semesta menjadi multi. Bahwa gagasan tentang multiverse dalam medan kuantum tak pernah mudah diterima oleh akal yang mengaku sehat. Semesta adalah entropi yang secara paradoks menuntut keteraturan dalam level tiga dimensi (dunia yang bisa kita amati).
Neurosains, adalah disiplin ilmu termuda yang telah membantah kehendak bebas secara serius. Ia juga bertendensi untuk menghapus filsafat, dogma, sistem kepercayaan, serta gagasan afterlife: kematian hanyalah tidur babak akhir tanpa mimpi. Bahwa pengalaman mati suri (near-death experience [NDE]) tentang lorong cahaya, malaikat, surga dan neraka, hanyalah lembar-lembar mimpi yang coba dibantah tanpa penjelasan ilmiah.
Neurosains tak sendiri, ia mengajak neurobiologi, psikologi, ilmu komputer, dan ilmu kognitif sehingga tidak ada celah bagi kehendak bebas manusia, selain hanya ilusi yang berputar-putar di atas kepala. Untuk menyatukan kembali keterpisahan –katakanlah- dalam dualisme kartesius ala Rene Descartes, tentang jiwa (res cogitans) dan badan (res extensa), mereka mengajak bioteknologi untuk membuat semacam godaan: kemana tuhan ketika para saintis meniupkan “roh” ke ubun-ubun kambing kloning atau kelinci ciptaan mereka? (bahkan jika tak terbentur tembok etika, mereka akan melakukan hal serupa kepada manusia).
Jika benar bahwa manusia terdeterminasi secara absolut, bahwa free will hanyalah ilusi dan delusi. Lalu semua gagasan pengagungan esensi dan eksistensi manusia yang kita rawat sejak fajar kesadaran direduksi sebagai hanya proses biologi di dalam otak dari interaksi kompleks antara berbagai area otak yang terlibat dalam kognisi, emosi, dan pemrosesan informasi (yang mencakup proses seperti penalaran, ingatan, perencanaan, dan evaluasi. Neuron, sel-sel dasar otak, berkomunikasi satu sama lain melalui impuls listrik dan transmisi kimia. Jutaan neuron ini bekerja bersama-sama dalam jaringan saraf untuk membentuk pola aktivitas yang menghasilkan pemikiran dan kesadaran), maka semua hal panjang lebar yang kita simak dalam kitab tebal humanisme tak lebih dari ilusi yang menghasilkan ilusi bentuk baru: zenith akan berpulang ke zero.
Dalam perspektif neurosains, manusia yang terikat penuh dalam borgol deterministik, mencoba mengarang-ngarang sesuatu tentang dirinya melalui sinapsis dari 86 miliar neuron itu, sebagai semacam penghiburan bagi bekerjanya akal budi dan penghakiman atas tindak tanduk manusia.
Perlawanan bentuk lain terhadap eksistensi manusia datang dari futurisme, yang berjanji untuk memanjangkan umur manusia, menuju keabadian melalui pembekuan mayat dan pemindahan kesadaran ke dalam cangkang humanoid, atau pengambilalihan penuh campur tangan otak dan tenaga manusia melalui kecerdasan artifisial. Apakah akan terjadi dehumanisasi? Apakah kisah tentang ras manusia di bumi segera tamat?
Di seberang jalan, neurosains garis keras yang tak percaya pada eksistensi roh, menuding manusia hanya mengarang-ngarang tentang keagungan ras mereka, glorifikasi tanpa henti sebagai makhluk mulia di bumi, yang menjawab sendiri pertanyaan mereka tentang misteri alam kematian dengan menciptakan sistem kepercayaan? Sebagian dari mereka mengenggamnya demi kemuliaan, kekuasaan, dan uang yang tak berhenti mengalir, dari melayani ketakutan dan pengharapan turun temurun ras manusia akan hari-hari yang panjang setelah dunia ini.
Ketika agama bukan lagi untuk melayani Tuhan, tapi semata demi memenuhi penghormatan, alat politik kekuasaan, industri kekayaan atau sumber penghidupan belaka, di samping potensi konflik yang terus menganga. Ini tidak lebih baik dari kekacauan yang telah dibuat dari penyalahgunaan sains untuk merusak bumi.
Jika demikian adanya, haruskah kita membiarkan konsep humanisme itu runtuh, karena dianggap hanya berasal dari letupan-letupan dari sirkuit otak, bukan sesuatu yang an sich? Semua terpulang kepada kita, apakah membantah semua dalil tersebut atau kita justru merasa tertantang untuk mengalami sendiri masa-masa keruntuhan mitos itu tanpa kerisauan berlebihan. Seperti yang dikatakan Nietzsche: Was mich nicht umbringt, macht mich stärke; apa yang tidak membunuhmu, akan membuatmu lebih kuat. ~