March 18, 2025
Ilutrasi

Ilustrasi: blog.daisie.com

Oleh Murparsaulian

CERPEN “Badai Biru Tengah Malam” karya Hasan Junus dapat dipandang sebagai sebuah solilokui. Kita yang membaca cerpen itu tidak mendengar sama sekali jawaban orang yang ditelepon oleh Nina. Maka barangkali saja Nina hanya melakukan percakapan seorang diri. Solilokui Nina melalui telepon itu merupakan sebuah kisah yang utuh. Karena dia bercerita, di sela sedu-sedan dan tangisan kering dari suatu tempat, mungkin dari sebuah kamar hotel yang disebutnya di tengah hutan Amazon, tentang seorang lelaki yang hatinya dia lukai dan baru saja meninggal dunia.

Solilokui adalah teknik bercerita yang dilakukan satu arah dari tokoh, tanpa melibatkan tokoh lain secara langsung. Teknik ini memberikan peluang kepada penonton atau pembaca sastera untuk memahami atau meresapi apa yang dikatakan dalam solilokuinya itu.

Ketika Hamlet, tokoh drama Shakespeare, berbicara dengan roh ayahnya, bagi orang lain yang berada di dekatnya, kejadian itu dapat juga dipandang sebagai sebuah solilokui. Dalam seni teater, Hamlet karya William Shakespeare adalah salah satu karya yang paling terkenal di dunia. Hamlet yang ragu-ragu apakah jadi bunuh diri atau tidak (to be or not to be), seperti berbagi proses berpikirnya dengan penonton (Babak 3 adegan 1).

Drama ikonik Hamlet adalah salah satu dari lebih kurang tiga lusinan karya William Shakespeare yang mengeksplorasi tema kematian dan akhirat. Muncul juga pertanyaan apakah ada kehidupan setelah kematian? Tema kesedihan dan melankolis ini juga terlihat dalam karyanya yang lain bertajuk Macbeth dan Othello. Ada yang beranggapan kerangka berpikir sedihnya waktu itu dipengaruhi setelah lima tahun kematian anak satu-satunya bernama Hamnet dan naskah Hamlet ditulis persis satu tahun setelah ayah Shakespeare meninggal dunia.

Hamlet mesti berjuang keras untuk memutuskan apakah ia harus membalas kematian ayahnya dengan membunuh Cladius. Dalam solilokui ini Hamlet mengajukan beberapa pertanyaan kepada dirinya sendiri; Benarkah ia melihat dan mendengar hantu ayahnya? Benarkah Cladius telah meracuni ayahnya? Haruskah ia membunuh Cladius? Haruskah ia bunuh diri? Lalu apa yang akan terjadi jika ia membunuh Cladius atau tidak membunuhnya. Keragu-raguan inilah yang menyelimuti perasaan Hamlet yang dikemas dalam solilokui yang menghujam hati ini.

Metafora to be or not to be Hamlet adalah yang paling menonjol. Keraguannya apakah ada kehidupan setelah kematian. Kebingungan apakah melanjutkan atau mengakhiri hidup. Ada juga yang beranggapan Hamlet mengalami gangguan jiwa dengan solilokui to be or not to be nya itu. Tokoh lain; Cladius dan Polonius yang bersembunyi menguping perkataan Hamlet, serta Ophelia yang menyaksikan Hamlet dibungkus keragu-raguan. Apakah Hamlet tahu bahwa Cladius dan Polonius sedang mendengarkannya diam-diam? Yang pasti solilokui menjadi atau tidak menjadinya Hamlet itu sangat luar biasa mencekam dan menimbulkan penasaran penonton. Menguras emosi dan menyedot imajinasi.

Hingga saat ini solilokui to be or not to be itu sering dikutip menjadi parodi, joke, bahkan cara mengajar bahasa Inggris untuk huruf B yang diperkenalkan oleh aktor kenamaan Inggris Patrick Stewart dalam salah satu episode Sesame Street. Orang yang tidak pernah membaca Hamlet pun kenal dengan solilokui to be or not to be ini. Solilokui yang melegenda, jadi judul film komedi perang yang diproduksi oleh 20 Century Fox dan juga menginspirasi salah seorang siswa bernama Courney Welbone menciptakan lagu berjudul to be or not to be. Saya berpikir solilokui keragu-raguan ini bisa juga sebagai personifikasi keadaan terombang-ambing sebuah bangsa yang relate dengan kondisi terkini di berbagai belahan dunia. Imajinasi apa saja bisa terbuka untuk sebuah karya kreatif.

Dalam Burung Tiung Seri Gading karya Hasan Junus, meskipun tidak menghidangkan sebuah solilokui murni, namun ada bagian yang dapat digolongkan sebagai solilokui semu. Misalnya pada adegan kedua dalam dialog yang terjadi antara Megat dan isterinya Wan Sinari. Tokoh Haridan pada adegan pertama sebelum pergi mengatakan bahwa semangat Megat seperti api yang telah padam. Bagi mereka yang belum membaca (atau menonton) karya ini baik juga digambarkan selintas bahwa kisah terjalin antara dua puncak gunung berapi masing-masing Megat dan Raja Laksemana dan Wan Sinari dengan adiknya Wan Inta. Mari kita saksikan soliloki semu yang diucapkan oleh Megat-Alang-di-Laut, sang penguasa pulau Bangka, yang sudah jauh berubah dalam karya pentas yang dulunya paling sering dipentaskan di Riau itu sebagai berikut:

“Meskipun sudah lebih dari sepuluh tahun kita hidup di bawah satu atap, diikat oleh tali perkawinan, jarak di antara kita tak pernah bertambah dekat. Kita masih tetap terpisah seperti dulu, walau bagaimanapun saya berikhtiar mendekati. / Sebabnya terang bagai siang. Hati Wan Sinari demikian lekat terpaut kepada Raja Laksemana, bahkan setelah lelaki idaman itu menjadi suami adik kandung sendiri, bahkan setelah mereka mendapat puteri bernama Wan Seri Bani. / Jadilah saya seorang malang, mengejar bayang di gelap malam, seperti beting pasir yang ingin berendam di debur pasang, padahal air laut kian surut. Kadang-kadang timbul hasrat bergelora hendak memberikan nama yang, gagah dan megah kepada kemalangan itu. Tapi semua nama yang saya temui cuma mempunyai satu arti saja yaitu dukacita. / Seperti warna langit musim kemarau, biru dukacita berubah menjadi molek oleh kerling laut yang pasang penuh.Dukacita senantiasa menjadi sesuatu yang indah setelah hanyut ke masa lampau. Laut yang pasang penuh, itulah masa lampau. / Tapi dukacitaku tak pernah menjadi masa lampau. Diburunya saya terus menerus, dari hari ke hari. Sekarang laut itu telah kering kerontang berisikan beting dan karang. Hati Wan Sinari tak pernah terbuka untuk saya. / Saya lahir di tengah lumpur. Memasang pancang dan memusatkan pangkalan di Bangka. Perahu-perahu laju angkatan lanun kami mengarungi laut menjarah dari ujung utara pulau Perca ke ujung selatannya. / Pernahkah tuan mendengar jerit pekik, lolong tangis penduduk kampung yang kami rampok, kami binasakan hingga porak peranda? / Harta benda selalu mengubah pandangan orang kepada orang-orangku para lanun. Tapi air wangi yang kami mandikan cuci-cuci di badan setiap hari tetap tak dapat menghilangkan maung bau lumpur itu. / Suatu hari, angin salah, langkah salah, gerak salah, dan tikam salah, menyebabkan perahu-perahu kami tersadai di Bintan. Semua itu dikarenakan oleh seorang pemimpin perang yang piawai bernama Raja Laksemana. / Sebagai tawanan, saya masih berani mengganggu tunangannya. Bukan perempuan itu benar yang menarik hati saya; sebagai lelaki, calon suaminyalah yang hendak saya duga kehandalannya. / Saya kecundang. Saya kalah untuk kesekian kalinya. Lalu saya pendam dan peram dendam itu. Benda peraman itu kemudian masak oleh sang waktu, dan menjadi masa lalu.”

Solilokui Megat di atas boleh dianggap berakhir sampai di sini. Namun isterinya Wan Sinari menyambung percakapan (seperti seorang diri) itu dengan berkata, “Haridan benar! Api itu sudah padam, sudah padam!”

Akhirnya Megat menjawab pernyataan isterinya, ‘’Api itu tidak padam, Wan Sinari. Nyalanya masih terus bergelau. Tapi kita tidak lagi dapat dihanguskannya. Jaraknya menjadi jauh karena kita telah berada di tempat lain, di masa yang lain. Finishing touch inipun dapat dipandang sebagai sambungan solilokui semu tadi.

Solilokui bisa menjadi inspirasi bagi para penulis agar dapat menghasilkan karya dengan bermacam-macam teknik yang tidak biasa-biasa saja untuk memperkaya khazanah karya sastra yang mendunia. ~

Murparsaulian___Penulis, penyair, penggiat media kreatif. Alumnus Universidad Autonomous de Barcelona, Spanyol