Oleh Bambang Putra Ermansyah
Jiwa manusia mungkin adalah satu-satunya realitas spiritual yang mampu menggabungkan estetika dan kegilaan produk kreatifnya. Pencermatan yang dilakukan oleh Baumgarden telah memberikan kepada kita sebuah kesimpulan bahwa penilaian atas estetika, sekalipun merupakan pengalaman sensoris, namun tidak sepenuhnya diungkapkan dalam serangkaian konsep dan standar-standar yang rasional. Karenanya, apa yang seringkali rujuk dengan kata “estetika”, dalam banyak kesempatan, merupakan manifestasi atas daya kreatif yang mengambang di batas antara kewarasan dan kegilaan.
Para seniman seringkali menjadikan kegilaan dan kesintingan mereka sebagai hal yang sangat instrumental dalam proses kreatif mereka untuk menciptakan karya-karya. Kegilaan dan kesintingan, yang sejatinya merupakan dua kata yang digunakan untuk menjadi penanda atas kondisi mental seseorang yang kehilangan akal sehatnya (dalam porsi yang berbeda-beda) justru menjadi landasan bagi banyak seniman untuk mengekspresikan daya kreatifnya. Kegilaan dan kesintingan, yang erat kaitannya dengan kondisi non-harmonis dalam pikiran justru mampu melahirkan sebuah keindahan, sekalipun disini penulis tidak menyodorkan argumen bahwa estetika tidak bisa dibentuk oleh ketidakberaturan.
Keindahan yang muncul sebagai produk dari kegilaan dan ketidakseimbangan ini semacam ruang baru bagi para penciptanya untuk merefleksikan keadaan mental mereka yang kompleks dan seringkali paradoksal. Karenanya, estetika, yang berada di persimpangan antara rasionalitas dan irasionalitas, memungkinkan kita untuk melihat seni tidak hanya sebagai representasi visual atau auditori, tetapi juga sebagai manifestasi dari kondisi mental dan spiritual sang seniman. Pengalaman estetis yang dihasilkan tidak hanya mempengaruhi penciptaan karya seni tetapi juga cara kita menginterpretasikan dan meresapi karya tersebut, menjadikannya lebih dari sekadar objek visual tetapi juga pengalaman emosional dan intelektual yang mendalam.
Atas dasar itulah Schopenhauer menyebutkan bahwa seni merupakan salah satu instrumen eskapisme manusia, sekalipun hanya sekedarnya saja, dari kondisi yang melulu merasakan penderitaan. Dan lebih dari itu : sebagai cara pengekspresian manifestasi “diri” dari sang seniman. Biar bagaimanapun, pernahkah kita melihat orang-orang yang lebih total dalam mengekspresikan diri mereka dari mereka yang telah menjatuhkan diri mereka ke dalam pelukan kegilaan dan kesintingan?
Seorang Van Gogh, sebagai salah satu contoh paling gamblang ketika kegilaan membajak proses kreatif sehingga mampu menciptakan mode estetika yang khas dengan warna ekspresif, memberikan gambaran pada kita bagaimana ketidakseimbangan mental mengarahkan kuasnya untuk menggoreskan warna-warna yang terkesan emosional dan memiliki hidupnya sendiri. Tidak meledak-ledak, tidak melankolis, namun meledak-ledak. Kita bisa melihatnya dalam lukisannya yang paling terkenal, Starry Night, yang memperlihatkan bagaimana persepsi Van Gogh dalam persaksiannya terhadap langit malam ; berputar dengan gradasi yang tidak merata. Ada kegelisahan yang intens dalam setiap goresan kuasnya.
Dan lebih daripada itu semua, seni juga merupakan sarana yang mampu mendobrak batas-batas komunikasi konvensional para seniman mampu menyampaikan dan mengantarkan kita pada kepahaman mengenai pesan-pesan yang memang seringkali tidak bisa disampaikan secara verbal. Tidak semua pesan bisa disampaikan melalui lukisan, atau aransemen musik, sebagaimana tidak semua pesan bisa disampaikan secara verbal. Bagi mereka yang sudah berada dalam rengkuhan kesintingan, atau terbentur pada tembok-tembok pembahasaan verbal, seni adalah salah satu cara mereka untuk “menyampaikan”.
Salvador Dali, misalnya. Karya-karya Dali adalah instrumen paling efektif bagi dirinya dalam mengkampanyekan keesentrikan sebagai sesuatu yang seharusnya tidak dipandang sebagai abnormalitas dalam masyarakat. Gambaran jam-jam yang meleleh dalam The Persistence of Memory adalah cara Dali dalam usahanya untuk “menormalisasi” aspek-aspek surealis. Dalam karya-karyanya, Dali menyampaikan pada umat manusia di masanya bahwa sesuatu yang mengganggu dan asing bisa menghasilkan suatu keindahan yang memikat.
Objek tidaklah harus dilukiskan secara gamblang, menurut Dali. Dunia bagi Dali adalah dunia yang penuh simbol dan tidak harus selalu tunduk pada hukum dan interpretasi rasional. Ketakutan dan hasrat, dua pendorong utama gerak manusia dalam tradisi tragedi Eropa, adalah sesuatu yang tidak selalu rasional. Karenanya, estetika pun tidak harus lahir dari sesuatu yang rasional. Dan apa yang lebih tidak rasional dibandingkan dengan abnormalitas jam yang meleleh?
Kita bisa saja menginterpretasikan bahwa lukisan tersebut menggambarkan pandangan Dali terhadap gerak waktu yang tak bisa dikembalikan. Ia selalu dalam gerak meleleh, tanpa bisa kembali dipadatkan. Atau mungkin jam yang meleleh adalah cara Dali untuk menyampaikan gagasannya mengenai fluiditas waktu dalam mimpi. Atau mungkin Dali tidak memaksudkan apapun. Bisa jadi, Dali hanya sedang mengolok-ngolok kebutuhan fatal kita akan makna dalam apapun.
Perongrongan terhadap rasionalitas dalam estetika bukan saja hanya dieksploitasi oleh gerakan impresionisme dan surealisme. Pembangkangan ini juga dapat kita lihat dalam ekspresionisme abstrak, dengan Jackson Pollock yang bisa kita jadikan salah satu contoh ekstrimnya. Drip painting, teknik andalan Pollock, merupakan cara paling efisien bagi dirinya untuk mengkomunikasikan keruntuhan kewarasan di kepalanya dalam setiap sapuan kuasnya.
Lukisannya penuh dengan sapuan-sapuan acak yang jika ditengok tanpa ketelitian yang cukup, akan dipandang sebagai suatu karya yang “asal jadi” saja. Ada individualitas disana, ada ke-aku-an yang terpendam dan ingin ditarik ke permukaan olehnya melalui spontanitas sapuan kuasnya yang emosional.
Ada perlawanan terhadap “otoritarianisme” disana, dimana totalitasnya atas prinsip-prinsip kebebasan yang mampu membuatnya melepaskan proses kreatifnya dari aturan, konvensi, dan kendali. Proses maupun produk kreatifnya berdaya meditatif, dimana kenyataan bukanlah sebuah hal yang harus selalu disikapi secara serius.
Goresan-goresan abstraknya yang selintas nampak acak dapat kita lihat sebagai produksi kreatif dari interaksi yang kompleks, sehingga tidak teratur, dari isi alam pikir dan kondisi emosional dengan gerak tubuh terhadap mediumnya. Spontanitas dan kebebasan, dua hal yang kerap kita lihat dalam spektrum paling ekstremnya pada orang-orang yang sudah kehilangan kewarasannya, menjadikan lukisannya sebagai bentuk pembebasan dirinya (dan tentu saja produk dan proses kreatifnya), dari struktur dan aturan-aturan yang sudah dianggapnya sebagai sesuatu yang mengikat.
Disanalah peran seni bagi Schopenhauer: Sebagai sebuah pelarian. Dalam angan Schopenhauer, ketika manusia mengaktifkan daya kreatifnya melalui seni, maka ia sedang menjalani eksperiman pengalaman estetis yang mampu melompati realitas dualisme dunia. Saat masuk pada pengalaman estetis ini, manusia akan “terpisah” dari ego-nya. Ia menjadi subjek murni pengetahuan, menjadi objek yang secara penuh bersifat kontemplatif, yang memisahkan dirinya dari dualitas representasi dan kehendak.
Namun begitu, cara pandang ini mendapat kritik yang cukup sengit dari Adorno. Menurutnya, seni yang membuat diri melarikan diri dari realitas, sekalipun hanya barang sejenak, berpotensi untuk memperkuat strutktur sosial yang berujung pada penciptaan ilusi pelarian dari penindasan dan alienasi yang diciptakan oleh struktur sosial. Maka dari itu, Adorno berargumen bahwa seni yang ditujukan sebagai eskapisme akan menjelma menjadi keindahan yang superfisial dan dangkal, kehilangan tujuan esensialnya yang seharusnya revolusioner : sebagai penggerak perubahan sosial.
Kita bisa mencermati argumen yang disusun oleh Adorno dalam “Aesthetic Theory”nya untuk ini. Tentu saja, sebagai pemikir utama mazhab Frankfurt, Adorno melihat produk-produk budaya, termasuk seni dengan estetikanya, tak bisa lepas dari relasi dengan dan terhadap kekuasaan. Dimensi emansipatoris merupakan dasar atas filosofi penciptaan estetika menurut Adorno.
Bagi dirinya, seni bukanlah semata bertujuan untuk mencitrakan realitas (Adorno menyebutnya sebagai Mimesis) namun lebih dari itu. Seni juga merupakan sebuah bentuk resistensi, atau pembangkangan terhadap realitas sosial. Jadi selain berfungsi sebagai potret realita, seni juga berfungsi untuk menangkap potret kontradiksi, ketidakakuran dan ketegangan dari realitas dimana ia tercipta.
Atas dasar-dasar penciptaan seni tersebut, Adorno secara sengit mengkritik sudut pandang reduksionis yang melihat seni dan estetika hanya sebatas komoditas yang dikonsumsi dengan penuh kelalaian. “Kulturindustrie”, sebagaimana Adorno menyebutnya dalam Dialectic of Enlightenment yang merupakan kumpulan esainya yang ia susun bersama Horkheimer (punggawa lainnya dari mazhab Franfurt), menjadikan seni dengan estetika yang membersamainya dikendalikan oleh logika pasar yang kapitalistik, sehingga menghilangkan aspek-aspek kritis dan emansipatorisnya.
Bagi Adorno, ini sama saja seperti maut : Karenanya, seni diseragamkan, harus bisa secara mudah dicerna. Sekalipun argumentasi Adorno yang memandang bahwa seni populer (dia secara khusus membicarakan musik) merupakan ekspresi ketundukan atas struktur kuasa dapat kita perdebatkan, namun kritiknya mengenai penyeragaman sepertinya sulit untuk kita tolak.
Kulturindustrie menggunakan seni sebagai instrumen penjinakkan, seperti agama dalam pandangan Marx, untuk melanggengkan status quo. Seni adalah sebuah hiburan tanpa efek dan tujuan emansipatoris, tanpa otonomi yang bebas dari tekanan ekonomi, politik dan sosial. Seni tidak lebih dari sekadar ekspresi kreatif atas hasrat-hasrat yang dangkal dari penciptanya.
Adorno nampaknya benar-benar geram ketika mengkritik rasionalitas seni dalam konteks instrumentalitasnya, yang menjadikan logika-logika kapitalistik sebagai acuannya. Seni dan estetika yang “terkomoditas” ini dipandang oleh Adorno sebagai mekanisme eskapisme yang berpotensi untuk merenggut potensi emansipatoris dari seni dan estetika yang dikandungnya.
Sekalipun dalam kritiknya yang lebih lanjut Adorno memperingatkan atas bahaya “elitisme” seni (dimana seni hanya bisa diakses oleh kalangan terbatas, baik makna dibaliknya ataupun seninya itu sendiri), namun ia tetap menekankan pentingnya kreativitas yang melawan terhadap standar-standar estetika konvensional. Bagi Adorno, seni yang baik adalah seni yang memiliki kompleksitasnya sendiri, yang dapat secara merdeka menjadi ekspresi dari kreativitas penciptanya.
Namun begitu, penggunaan seni dan estetika sebagai mekanisme eskapisme manusia seharusnya tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang selalu buruk. Schopenhauer, yang merupakan advokat utama yang mempromosikan sudut pandang dunia sebagai “yang irasional” memandang bahwa seni dapat menjadi sarana melepas penderitaan atas fitrah dunia yang demikian.
Pandangan dualitas atas realitas dunia, yakni representasi dan kehendak (The World as Will and Representation) menjadi argumen metafisis utama Schopenhauer dalam memandang hubungan antara seni dan dunia. Representasi adalah kumpulan fenomena dan pertanda di dunia yang acak namun berusaha diproses oleh indera dan minda manusia. Representasi ini akan selalu bertentangan dengan kehendak, yang karenanya ; irasional.
Atas irasionalitas dari dualisme ini manusia merasa penderitaan yang amat sangat, dimana Das sein bertabrakan dengan Das solen. Kalaupun kehendak mampu tercapai, maka jiwa manusia akan menelurkan kehendak-kehendak yang lain, sehingga siklus keadaan mental manusia tidak pernah lepas dari siklus samsara yang tiada akhirnya. Karenanya, dimensi eskapisme dari seni tidaklah harus selalu dimaknai sebagai dorongan dari seniman untuk memisahkan dirinya dari relaitas yang kontradiktif dan konfliktual.
Mari coba kita cermati puisi Daddy yang ditulis oleh Sylvia Plath. Kita bisa merasakan intensitas emosional dari tiap-tiap pemilihan katanya, begitu juga dalam struktur tubuh puisinya. Plath memberikan nuansa introspektif terhadap kemuraman, dia menjadikan puisinya sebagai anotasi yang reflektif terhadap kemuraman yang mewujud di dalam realitas dengan berbagai bentuknya.
Pengalaman-pengalaman traumatis yang dialaminya, selain secara prematur merusak harapan baiknya terhadap kondisi inheren dari dunia dimana ia tinggal, juga telah mendefinisikan bagaimana cara ia memahami wujud dan fenomena yang ia saksikan, dengarkan, dan kecup.
Kegelisahan seringkali sulit dicurahkan secara gamblang dalam perbincangan sehari-hari, terlebih jika kegelisahan-kegelisahan tersebut menorehkan luka yang cukup dalam sehingga meninggalkan trauma dalam jiwa seseorang. Puisi-puisinya adalah bentuk konfesi yang tajam dan jujur, yang akan terlalu dangkal jika diwartakan dalam bentuk perbincangan konvensional. Apakah karyanya bisa dipandang sebagai bentuk pelarian? Bisa jadi. Namun bukan bentuk pelarian sebagai usaha untuk memisahkan diri dari realitas yang irasional, kontradiktif dan konfliktual. Tulisnya :
Daddy, I have had to kill you.
You died before I had time——
Marble-heavy, a bag full of God,
Ghastly statue with one gray toe
Big as a Frisco seal
And a head in the freakish Atlantic
Where it pours bean green over blue
In the waters off beautiful Nauset.
I used to pray to recover you.
Ach, du.
Corak realisme brutal yang mengisi puisi-puisi dan novel Charles Bukowski juga memberikan kita nuansa yang tidak jauh berbeda dengan yang diberikan oleh Plath, kecuali tentu saja, sebagaimana nama coraknya, lebih brutal. Bentuk estetika yang dipersembahkan oleh Bukowski bukanlah estetika yang lembut, sebagaimana anggapan orang banyak mengenai estetika. Estetika yang dihadirkan olehnya adalah estetika yang jujur, terlalu jujur hingga terkesan brutal, mengenai ruang-ruang terpencil dan tersudut dari kemegahan peradaban dan progres manusia.
Post Office yang ditulisnya, misalnya, menggambarkan secara jujur tanpa ada usaha untuk sedikit melemah lembutkan realitas sebagian besar manusia yang keras dan kacau. Estetikanya adalah estetika yang kasar, yang harus diakui sangat sulit untuk diakui sebagai bentuk estetika sama sekali. Bagi Bukowski, romantisasi apalagi idealisasi atas aspek-aspek kehidupan manusia adalah tipuan terbesar dan paling bejat yang pernah dituliskan oleh para sastrawan.
Bukowski menghadirkan pada kita hal-hal yang akan sulit untuk diromantisasi ; muntahan pemabuk, puntung rokok sisa dari pelacur yang besar kemungkinan menderita herpes, hingga tatapan nanar dari anjing kudisan yang tergolek lemah di pinggir jalan. Apapun yang dituliskan olehnya adalah sebuah hinaan dan cercaan atas brutalitas hidup, yang baginya memang harus dituliskan secara kasar. Dalam A Challenge To The Dark, Bukowski menulis :
shot in the eye
shot in the brain
shot in the ass
shot like a flower in the dance
amazing how death wins hands down
amazing how much credence is given to idiot forms of life
amazing how laughter has been drowned out
amazing how viciousness is such a constant
I must soon declare my own war on their war
I must hold to my last piece of ground
I must protect the small space I have made that has allowed me life
my life not their death
my death not their death
Dan pula jangan lupakan Edgar Allan Poe, seorang yang mampu melukiskan estetika horor dalam tiap puisi dan cerpennya. The Tell-Tale Heart tidak sebatas memberikan kepada kita nuansa horor dan kengerian dari sebuah fenomena yang umum namun selalu tragis : pembunuhan. Penceritaan yang ditulis Poe dapat secara fasih menarasikan bagaimana kegilaan dan paranoia bisa dikemas dalam bentuk estetika yang bengkok secara aneh.
Narator cerita mengaku waras, namun nyatanya dia adalah kegilaan yang mewujud. Tema-tema mengenai wabah, kegilaan, teror, kematian, dan potensi-potensi kebejatan tergelap manusia diceritakan dalam estetika yang misterius dan mengherankan. Membuat kita mempertanyakan, apakah dengan menemukan dimensi estetis dan pengisahan sisi-sisi gelap kehidupan membuat kita tidak sewaras yang kita pikirkan selama ini?
I paced the floor to and fro with heavy strides, as if excited to fury by the observations of the men — but the noise steadily increased. Oh God! what could I do? I foamed — I raved — I swore! I swung the chair upon which I had been sitting, and grated it upon the boards, but the noise arose over all and continually increased. It grew louder — louder — louder! And still the men chatted pleasantly, and smiled. Was it possible they heard not? Almighty God! — no, no! They heard! — they suspected! — they knew! — they were making a mockery of my horror! — this I thought, and this I think. But anything was better than this agony! Anything was more tolerable than this derision! I could bear those hypocritical smiles no longer! I felt that I must scream or die! — and now — again! — hark! louder! louder! louder! louder! —
“Villains!” I shrieked, “dissemble no more! I admit the deed! — tear up the planks! — here, here! — it is the beating of his hideous heart!, tulisnya di akhir cerpennya.
Poe tidaklah sekedar melarikan diri dari kesuraman hidupnya, dari kesintingan pikirannya, menuangkannya dalam bentuk karya sastra yang mencekam dan terpisah dari realitas. Justru, Poe berusaha menunjukkan pada kita bahwa teror, kegilaan dan kebejatan bukanlah fenomena luaran dari diri, namun justru dapat ditemukan di dalam diri kita sendiri, tanpa pernah sekalipun kita sadari. Dan jika kita sudi untuk melihat cukup dalam, justru kegilaan dan kengerian paling umum, paling gila dan paling ngeri dapat ditemukan dalam bagian diri “terdalam” manusia. Karena norma, hakim, dan vonis tidak bisa mencapai yang diri yang “terdalam” itu. ~
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.