May 17, 2025
ss

Ilustrasi: dreamstime.com

Oleh Bambang Putra Ermansyah

Manusia, memang, selalu berusaha mencari makna. Sebagai makhluk rasional, dan karenanya filosofis secara alami, eksistensi semata tidaklah cukup bagi kita. Setidaknya, harus ada arti yang mendasarinya. Kita berusaha merenungkannya. Kita berpikir mendalam sambil menatap ke langit yang luas, seolah-olah jawaban akan turun dari atas. Adalah Albert Camus yang mengungkapkan betapa bodohnya kita karena selalu melakukan pengejaran makna yang tak henti-hentinya ini.

Dalam pandangannya, itu adalah komedi tragis, sebuah absurditas, karena menurutnya, merupakan hal yang sia-sia bagi kita untuk mencari arti dalam hamparan kosmos yang misterius, kosmos yang hanya berbisik pada kehampaan. Etos absurditas Camus berputar pada kerinduan kita akan tujuan, harmoni, dan kebahagiaan, yang berlawanan dengan ketidakpedulian diam-diam dari alam semesta, yang menolak memberikan makna sesuai keinginan kita. Camus menghadirkan gagasan radikal. Pada akhirnya, yang benar-benar dicari manusia bukanlah makna itu sendiri, tetapi kebahagiaan.

Menurut pandangan Camus, manusia keliru jika percaya bahwa pencapaian makna akan membawa mereka pada kebahagiaan. Karena dalam pikiran mereka, hanya dengan adanya makna mereka dapat memahami kehidupan ini. Camus tidaklah sepakat akan hal tersebut. Menurutnya, itu hanyalah tipuan manusia terhadap dirinya sendiri. Bagi Camus, dengan menerima absurditas kehidupan, dengan menyadari dan mengakui bahwa hidup memang absurd, mengakui bahwa alam semesta tidak menawarkan makna mendalam bagi eksistensi manusia, maka barulah manusia dapat menemukan kebahagiaan. Hanya melalui pengakuan ini manusia dapat menemukan kebahagiaan.

Mungkin logika ini tampak terlalu suram. Bahwa ada semacam penyerahan terhadap ketidakberartian manusia. Namun, wawasan seorang filsuf yang lahir 125 tahun sebelum Camus tampaknya menawarkan kerangka pemikiran yang dapat merasionalisasi pandangannya tersebut. Adalah Schopenhauer yang pertama kali mengenali sifat irasional dunia. Schopenhauer melihat dunia sebagai representasi dan kehendak. Apa yang dimaksudnya dengan ini sangatlah menarik.

Berdasarkan kesimpulan yang ditarik dari filsafat Kantian mengenai dikotomi antara fenomena dan noumena, Schopenhauer melihat dunia tidak lebih dari representasi kompleks yang ada secara eksistensial hanya dalam “kepala kita”. Dunia empiris yang kita saksikan bukanlah dunia sebagaimana adanya, melainkan “interpretasi” dan “representasi” dari perspektif dan keadaan mental kita. Schopenhauer juga melihat dunia sebagai “kehendak”.

Dalam pandangannya, ada kekuatan metafisik yang mengatur dunia dan terhubung dengan representasi tersebut. Kekuatan ini yang ia sebut sebagai “kehendak”. Oleh karena itu, dalam pandangan Schopenhauer, semua kekuatan hidup dan gerakan di dunia digerakkan oleh kehendak ini. Bagi Schopenhauer, manusia tidak pernah sepenuhnya bebas. Meskipun Sartre, seabad kemudian, menyatakan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas”, dari Schopenhauer kita memahami bahwa kebebasan semacam itu tidak pernah ada; secara fundamental hanyalah ilusi.

Manusia akan selalu dibatasi oleh serangkaian rasionalitas yang mereka percayai, di mana motif dan keinginan mengendalikan mereka. Manusia akan terus bergerak menuju apa yang mereka inginkan dan rindukan. Sepanjang perjalanannya, selama seseorang tidak mencapai apa yang diinginkannya, maka mereka akan terus mengalami rasa sakit dan penderitaan.

Ketika manusia berhasil mendapatkan apa yang diinginkan, mereka memasuki momen kebahagiaan yang singkat. Setelah itu, ada kebosanan dan kekosongan. Ini mendorong mereka untuk terus mencari keinginan dan kehendak baru. Inilah yang dimaksud oleh Schopenhauer yang menyatakan bahwa kehidupan manusia mirip dengan pendulum yang berayun bolak-balik dari rasa sakit (penderitaan) ke kebosanan.

Oleh karena itu, Schopenhauer menyimpulkan bahwa dunia ini beroperasi secara irasional. Kebahagiaan, menurutnya, hanyalah ketiadaan rasa sakit dan penderitaan. Oleh karena itu, bukanlah kondisi yang berdiri sendiri. Baginya, dunia ini pada dasarnya cacat dan secara esensial negatif. Apakah ada kebahagiaan? Dari yang sudah saya tulis di atas, jawabannya tentu saja “Ya”. Namun, karena kebahagiaan hanya merupakan kondisi sementara di tengah-tengah antara rasa sakit dan penderitaan (dalam pencarian kehendak dan keinginan kita), yang abadi adalah rasa sakit dan penderitaan itu sendiri. Inilah irasionalitas yang membentuk pengalaman manusia di dunia.

Oleh karena itu, bagi Schopenhauer, dunia beroperasi dengan cara yang irasional, dalam arti bahwa manusia secara inheren lahir sebagai makhluk yang secara irasional merindukan makna dan kebahagiaan, sementara semesta tidak pernah secara ajaib menawarkan hal tersebut secara permanen. Kebutuhan manusia akan makna dan kebahagiaan sering kali bertabrakan dengan kenyataan bahwa dunia ini acak dan tak terduga. Schopenhauer berpendapat bahwa kehidupan dipenuhi oleh keinginan yang tak terpuaskan dan penderitaan yang tak terhindarkan. Karena itu, manusia sering kali berada dalam kondisi ketidakpuasan, terombang-ambing antara harapan dan kenyataan yang tidak sesuai.

Dalam pandangan Schopenhauer, penderitaan adalah kondisi dasar eksistensi manusia. Keinginan adalah sumber penderitaan, karena setiap kali satu keinginan terpenuhi, keinginan baru muncul, menciptakan siklus tanpa akhir. Semesta, dalam kekacauan dan ketidakpeduliannya, tidak memberikan jaminan kebahagiaan yang abadi.

Jadi, bagaimana perspektif Schopenhauer dapat membantu kita? Manfaat apa yang dapat diambil dari pandangan yang suram, kelam, negatif, dan pesimistik ini? Yang jelas, kita bisa menarik kesimpulan bahwa jika Anda memilih untuk percaya bahwa deskripsi Schopenhauer tentang dunia ini memang akurat, maka akan sangat sia-sia, bahkan tidak bijaksana, untuk menginginkan kebahagiaan.

Kebahagiaan akan datang kepada Anda pada waktunya (Mungkin, atau mungkin juga tidak). Itu benar. Namun, kebahagiaan tidak akan bertahan lama. Itu hanya momen yang singkat. Ketika kebahagiaan itu memudar, menghilang, atau direnggut, maka kondisi asli manusia kembali; rasa sakit dan penderitaan. Dengan selalu menjaga pola pikir bahwa dunia ini penuh dengan penderitaan, kita bisa mempersiapkan diri kita untuk dampak terburuk dari rasa sakit dan penderitaan itu sendiri karena kita sudah memahami bahwa memang begitulah cara dunia bekerja.

Ketika kita menemukan kebahagiaan, nikmatilah setiap momennya dengan sepenuh hati. Hargai setiap detik yang diwarnai oleh kebahagiaan tersebut dengan penuh kesyukuran. Kehadiran kebahagiaan adalah anugerah yang patut dirayakan, karena di dalamnya terkandung kenangan yang berharga dan momen-momen yang tak tergantikan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kebahagiaan bersifat sementara dan bisa menghilang seiring berjalannya waktu. Ketika kebahagiaan itu sirna, rasa sakit dan kekecewaan sering kali muncul kembali, mengisi ruang yang sebelumnya dihiasi oleh kegembiraan.

Rasa sakit tersebut adalah bagian alami dari siklus kehidupan yang tak terelakkan. Namun, dengan pengalaman sebelumnya, kita telah membangun coping mechanism yang lebih baik. Pengalaman bahagia tersebut memberikan kita kekuatan untuk menghadapi masa-masa sulit dengan lebih bijak dan tenang. Kita bisa mengatakan kepada diri sendiri, “Ya, memang seperti itulah adanya.” Pernyataan ini bukanlah bentuk keputusasaan, melainkan sebuah penerimaan yang bijaksana terhadap realitas kehidupan yang penuh penderitaan. Maka, meskipun kebahagiaan tidak selalu hadir, kita telah belajar untuk menghargai kehadirannya dan bisa menerima kepergiannya sebagai sesuatu yang alamiah.

Mungkin apa yang akan saya sampaikan ini akan terdengar aneh, tetapi saya melihat bahwa paradigma Schopenhauer yang sangat pesimistik sebenarnya dimaksudkan olehnya agar manusia tidak mengambil langkah ekstrem dalam menghadapi rasa sakit, penderitaan, atau kehilangan kebahagiaan mereka, yaitu bunuh diri. Baginya, karena semua kehidupan adalah penderitaan, kematian tidak mengakhiri penderitaan seseorang tetapi hanya mengakhiri salah satu bentuk penderitaan yang mereka alami. Karena biar bagaimana pun juga, adalah Schopenhauer sendiri yang paling terdampak atas pilihan ayahnya untuk bunuh diri.~

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.