November 1, 2024

Ilustrasi: res.cloudinary.com

Oleh Bambang Putra Ermansyah

Bagaimana jika saya mengatakan pada Anda bahwa eksistensi Anda tidak memiliki cukup bukti untuk saya percaya? Jadi, apa yang ada di hadapan saya, entah itu Anda, kursi, kucing, atau bahkan mesin kopi, sesungguhnya tidak benar-benar ada karena eksistensinya tidak bisa saya buktikan.

Cogito Ergo Sum, atau jika kita ingin mengutip kalimat tersebut secara lengkap: Dubito, ergo sum, vel, quod idem est, cogito, ergo sum. Artinya “Saya ragu, maka saya ada” — atau, dengan kata lain, “Saya berpikir, maka saya ada.” Ini adalah salah satu kutipan paling terkenal dari René Descartes, yang kemudian berperan sebagai prinsip dasar yang menjadi pondasi bagi kerangka filosofis yang dibangunnya.

Saya ingat pernah menghadiri sebuah seminar yang pada dasarnya tidak bersifat filosofis, namun entah kenapa, Pembicara tiba-tiba mengutip ungkapan tersebut. Beliau menyatakan, “Agar kita benar-benar eksis di dunia ini, kita harus berpikir. Karena ketika kita wafat nanti, eksistensi kita dapat dibuktikan dan dikenang dengan gagasan-gagasan besar yang kita sampaikan.

Dalam bentuk apapun. Namun, individu-individu hebat sering kali mengartikulasikan pemikiran mendalam mereka melalui kata-kata tertulis. Oleh karena itu, tulislah! Karena dengan melaluinya, kita bisa eksis. Cogito Ergo Sum.” Saya langsung serta merta mendengus cukup keras, cukup terdengar sehingga menarik pAndangan sekilas dari beberapa peserta terhormat lainnya.

Dalam benak saya: “Bukan itu maksud Descartes. Dia seorang filsuf, bukan motivator sosial media murahan dengan konten berdurasi 45 detik.”

Maksud Descartes mengungkapkan hal ini sebenarnya bisa dikatakan bermula dari sebuah pertanyaan yang agak meresahkan. Pertanyaannya adalah, “Apakah kita benar-benar ada?” Dan ketika saya mengatakan “kita”, itu mengacu pada kita sebagai entitas yang terpisah satu sama lain, sebagai individu. Apakah saya benar-benar ada?

Di era semasanya hidup, ide-ide yang mempertanyakan realitas eksistensial kita sudah bermunculan. Nihilisme Nietzsche hanyalah soal makna, namun masalah filosofis yang dihadapi (dan dicari jawabannya) oleh Descartes bahkan lebih mendasar dan mendalam. Jika ingin saya umpamakan secara anekdotal, konsekuensi dari pertanyaan yang dihadapi oleh Descartes adalah bahwa kita mungkin hanyalah bagian dari mimpi Flying Spaghetti Monster yang sedang tidur siang.

Kita hanyalah benda-benda yang muncul secara acak dalam mimpi makhluk yang sedang tidur siang tadi. Bahkan, H.P. Lovercraft, penulis horor fiksi mistik dan salah satu penulis horor paling berpengaruh sepanjang sejarah, hanya dikalahkan oleh Poe dan disusul kemudian oleh Stephen King (Bahkan Stephen King seringkali disebut sebagai salah satu penulis terbaik dalam genre “Lovecraftian Horror” di masa ini), dan dikenal dengan pembuatan mitos yang sangat luas dan kompleks, memperkenalkan satu entitas kosmologis bernama Azatoth, di mana realitas yang dialami oleh seluruh makhluk adalah sebatas mimpinya. Sehingga “Dewa-Dewi” secara serempak bersepakat untuk menjaga tidurnya Azatoth, agar mimpinya tidak selesai dan realitas serta eksistensi mereka tidak meniada.

Anda boleh saja mengamuk sesuka Anda. Namun jika benar-benar saya konfrontasi dengan pertanyaan yang demikian, bagaimana cara Anda bisa memastikan bahwa Anda bukanlah sekedar mimpi dari entitas lebih tinggi tersebut?

Dalam filsafat Cartessian, di sinilah dubito masuk. Menurut Descartes, hanya apa yang “ada” yang dapat meragu, bahkan sekalipun keraguan itu berkaitan dengan keberadaannya. Ini sangat rasional dan sangat brilian. Sesuatu yang “tidak ada” tentu tidak dapat meragu. Dan kemudian ini diikuti oleh “cogito.” Hanya yang “ada” yang dapat berpikir. Yang “tidak ada” pasti tidak bisa berpikir. Sekali lagi, ini sangat rasional dan brilian.

“Apa yang tidak ada” mungkin memang bisa membuat Anda takut. Pada titik tertentu, “apa yang tidak ada” bahkan mungkin mengancam kehidupan Anda, menghancurkan eksistensi Anda. Lihatlah orang-orang dengan PTSD. Akibat trauma parah yang mereka alami, persepsi mereka terhadap realitas menjadi terdistorsi. Seorang veteran Perang Vietnam di Ohio mungkin merasakan ketakutan yang luar biasa dari halusinasinya bahwa 4 orang Vietkong sedang bersembunyi di loteng rumahnya. Tidak ada Vietkong, namun veteran tersebut ketakutan setengah mati. Hingga pada suatu sore yang muram, dia mengambil pistolnya dan menempelkan moncongnya ke pelipisnya yang keriput karena takut ditangkap oleh musuh. Veteran malang ini dibunuh oleh sesuatu yang tidak ada.

Rupanya, “Yang tidak ada” bahkan memang bisa membunuh Anda. Namun tidak dengan berpikir dan ragu. “Yang tidak ada” tidak mampu berpikir dan meragu. Kedua aspek ini saling berkaitan, karena keragu-raguan merupakan hasil proses berpikir dan sekaligus dorongan seseorang untuk berpikir, yang merupakan kemampuan eksklusif yang hanya dimiliki oleh mereka yang “ada”.

Namun, ada satu konsekuensi yang sangat “gelap” dari kesimpulan ini. Dalam filsafat eksistensi Cartesian, satu-satunya yang keberadaannya dapat kita “buktikan” adalah diri sendiri. Karena diri inilah yang berpikir dan ragu. Sedangkan orang lain, misalnya ibu Anda, tidak bisa benar-benar “terbukti ada”. Dia mungkin hanya sebagian dari pikiran Anda yang “menciptakan” objek lain selain diri kita sendiri. Inilah yang di dalam filsafat dikenal dengan istilah “Solipsisme”, yaitu keyakinan bahwa yang benar-benar ada hanyalah diri, yang dibuktikan dengan kemampuan berpikir.

Namun ada yang mungkin berpendapat, “Tidakkah orang-orang selain saya juga berpikir? Oleh karena itu, mereka ada.” Nah, di situlah letak masalahnya. Kita tidak dapat membuktikan bahwa mereka berpikir karena hasil pemikiran mereka seperti kata-kata, tindakan, dan pilihan yang mereka buat mungkin tidak lebih dari ciptaan pikiran kita. Membingungkan? Izinkan saya menyederhanakannya.

Bayangkan wanita tercantik, entah itu Scarlett Johansson, Jisoo, atau Chelsea Islan. Atau bayangkan pria paling tampan. Terserah Anda. Selesai?

Sekarang, bagaimana Anda membuktikan bahwa mereka adalah individu nyata yang benar-benar ada sama seperti Anda? Bagaimana kamu bisa menunjukkan bahwa Jisoo bukan sekadar imajinasimu? Bisakah kamu membuktikan bahwa Jisoo benar-benar memiliki pikiran? Jika Anda bertanya padanya, “Jisoo, apakah engkau berpikir dan meragu?” dan dia dengan percaya diri mengangguk, dengan ramah menjawab, “Ya, saya berpikir dan meragu.” Namun, bukti apa yang dapat Anda berikan bahwa jawaban ini bukanlah hasil pemikiran Anda? Bahwa pikiran Anda telah menciptakan entitas bernama Jisoo yang Anda idolakan, beserta segala aktivitasnya, tingkah lakunya, bahasanya, dan lain sebagainya.

Naas memang, namun Anda benar-benar tidak bisa membuktikannya. Karena satu-satunya orang yang pikirannya benar-benar dapat Anda ketahui keberadaannya adalah pikiran milik Anda sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya yang keberadaannya dapat Anda buktikan secara pasti hanyalah Anda. Titik.

Namun itu bukan satu-satunya konsekuensi filsafat Cartesian. Descartes percaya bahwa pikiran dan kesadaran bersifat non-fisik. Mereka adalah entitas yang substansial, dan karenanya non-spasial. Mereka tidak menempati ruang. Lebih tepatnya tidak membutuhkan tempat. Bagi Descartes, pikiran dan kesadaran tidak bisa disamakan atau diidentikkan dengan otak. Otak manusia mungkin memang menampung kecerdasan. Namun, dalam pAndangan Descartes, pikiran dan kesadaran bisa ada di luar tubuh. Saya ulangi: kesadaran bisa ada tanpa kehadiran tubuh.

Selalu ada kemungkinan, dalam logika filsafat Cartesian, bahwa suatu bentuk dengan tubuh yang dilengkapi mata untuk melihat, tangan untuk menggenggam, dan kaki untuk melangkah, tidak lebih dari persepsi palsu dari pikiran yang, karena alasan tertentu, menginginkan adanya tubuh untuk “dirinya sendiri”. Oleh karena itu, filsafat Cartesian tidak hanya “menegasikan” segala sesuatu di luar diri tetapi juga membuka kemungkinan untuk meniadakan keberadaan tubuh dari diri.

Jadi, bahkan saya, yang saya anggap sebagai diri saya sendiri (yang terdiri dari pikiran dan tubuh), ternyata bukanlah diri saya sendiri. Karena pada dasarnya yang bisa saya buktikan eksistensinya hanyalah pikiran saya. Hanya kesadaran. Hanya pikiran saya yang terpisah dan mandiri dari kebertubuhan. ~

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.