
Ilustrasi: net
Oleh Bambang Putra Ermansyah
Paul Veyne, seorang sejarawan dari Perancis, pernah menuliskan kumpulan esai yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Judulnya (dalam versi Bahasa Inggris yang saya baca) “Did the Greeks Believe in Their Myths? An Essay on the Constitutive Imagination”. Pertanyaan utamanya adalah sebagaimana judul bukunya. Apakah orang-orang Yunani mempercayai mitos-mitos mereka mengenai Dewa-Dewi, ataupun berbagai jenis monster dan Demi-Human?
Jawaban singkatnya, Veyne menegaskan bahwa ya, mereka percaya. Namun, kepercayaan tersebut berhenti ketika kepentingan mereka dari mempercayai terhenti juga. Dia mengatakan bahwa memang, orang Yunani mempercayai mitos-mitos mereka sebagai kebenaran, namun juga memahami bahwa kebenaran itu plural dan analogis. Sehingga, bisa dikatakan bahwa orang Yunani mempercayai mitos mereka sebagai kebenaran yang bersifat analogis.
Bisa jadi begitu. Biar saya berikan satu contoh: Kisah Medusa.
Siapa yang tidak kenal Medusa? Medusa adalah yang tercantik di antara para pendeta perempuan yang melayani Athena di salah satu kuilnya. Parasnya Ayu, kulitnya halus dan bersih bagaikan porselin. Rambutnya seperti sungai emas, tergerai indah menutupi punggungnya. Sikapnya lemah lembut. Tak ayal lagi, baik manusia hingga Dewa-Dewi pun tercuri hatinya melihat Medusa. Termasuk Poseidon, Dewa Penguasa Laut yang juga saudara dari Zeus, Maharaja Para Dewa di Olympus.
Maka menjelmalah Poseidon menjadi seorang remaja tampan yang masuk menghampiri Medusa di kuil Athena. Dibujuknya, dirayunya Medusa. Sebenarnya, Medusa sempat tertarik dengan rayuan si pemuda tampan ini. Namun, posisinya sebagai pendeta wanita yang sudah menjalani sumpah selibat untuk melayani Athena, kuat tertanam di hatinya. Habis kesabaran, Poseidon pun marah dan memperkosa perempuan lugu yang malang tersebut. Setelah puas, Poseidon pun langsung melarikan diri sebelum Athena bisa bertindak. Yang tertinggal hanyalah Medusa yang terbaring tak berdaya. Sumpahnya terlanggar, harga dirinya dihancurkan, tubuh dan pakaiannya terkoyak-koyak.
Lalu muncullah sosok tersebut, Athena, yang sedari ingatan paling awalnya sudah disembahnya. Medusa tertatih dengan langkah yang terseret, baju koyak-koyak dan tubuh penuh lebam. Rambut indahnya awut-awutan karena peristiwa naas tersebut. Air mata mengaliri wajahnya yang sembab. Tersungkur ia di kaki Athena, memohon kasih sayang dan, kalau bisa, pembalasan atas kejadian yang menimpa hamba setianya tersebut.
Namun di sinilah ironi paling menyayat hati dari cerita ini: Athena murka karena sudah ada tindakan menjijikkan di kuilnya. Maka, ia mengutuk Medusa. Rambut indahnya itu dia kutuk menjadi ular. Jadilah Medusa perempuan berambut ular. Serasanya belum cukup, dikutuk pula Medusa hingga siapapun yang menatap matanya, maka akan berubah menjadi batu. Si cantik telah berubah menjadi monster. Athena pun pergi, sementara Medusa melarikan diri. Diperkosa, dikhianti, dicampakkan, dan dikutuk.
***
Mungkin itulah kutukan terhadap kecantikan. Kecantikan mendorong obsesi posesifitas ke arahnya. Saya tidak mencoba untuk mengatakan bahwa kecantikan adalah aspek yang harus disalahkan pada korban pemerkosaan. “Itu salahnya, karena dia cantik sehingga membuat lelaki tergoda.” Itu adalah pernyataan menjijikkan. Namun kita tak bisa menutup mata bahwa kecantikan telah menimbulkan begitu banyak luka. Itu adalah kondisi kehidupan yang seringkali kita temui di kehidupan kita yang penuh absurditas.
Dan itulah yang menimpa Bandung, dan sekitarnya. Rasanya saya tidak bisa mengingat masa-masa di mana Bandung dan sekitarnya tidak terasosiasikan dengan berbagai macam bentuk keindahan. Bahkan sedari kecil, ketika mendengar penyebutan “Bandung”, sekalipun belum pernah melihatnya atau mengunjunginya, Bandung sudah tertanam dalam kesadaran saya sebagai sebuah lokus yang indah. Mungkin, itu karena julukannya: Kota Kembang. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Seakan-akan kesadaran manusia sudah pernah saling bertemu di awang uwung dan bersepakat untuk mengasosiasikan Bandung dan sekitarnya dengan keindahan.
Asosiasi tersebut diperkuat dengan cerita-cerita Roman yang mengelilingi Bandung dan sekelilingnya. Saya berani bertaruh, hanya bermodalkan rasa kesoktahuan saja, bahwa novel-novel atau novella Remaja yang bergenre romantis, yang mengambil lokus penceritaan di Bandung dan sekitarnya lebih banyak dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Mungkin ia disaingi oleh Jakarta, namun kita tahu betul popularitas Jakarta hanyalah karena ia Ibu Kota semata, sesuatu yang dalam waktu dekat nampaknya tidak akan bisa lagi menjadi privilejnya. Popularitas Bandung dan sekitarnya sebagai kawasan ayu dan indah dengan segala romantikanya bahkan sudah jauh mendahului pengisahan populer Dilan-Milea yang mengambil tempat di Bandung. Dan sepertinya, sebagaimana hal-hal cantik selainnya, Bandung dan sekitarnya pun menjadi korban keserakahan dan posesifitas manusia.
Januari lalu, banjir bandang menerpa salah satu kecamatan di Bandung: Sumur Bandung. Berdasarkan rilisan resmi Pemprov Jabar, ada 600 rumah warga yang terdampak. Penyebabnya bisa ditelusuri hingga Bandung Utara. Terjadi pembabatan hutan besar-besaran di sana sehingga tidak ada lagi hutan yang mampu menahan dan menyerap air hujan. Pembabatan tersebut dikarenakan adanya alih fungsi lahan besar-besaran di kawasan-kawasan yang terkenal sejuk dan asri; kawasan yang romantis. Demi pembangunan sektor wisata dengan resort, penginapan, villa, dan perumahan mewahnya.
Nampaknya memang, keindahan adalah sebuah kutukan. Keasrian dan keindahan Bandung serta sekelilingnya mendorong romantisasi atasnya. Namun, apakah keindahan itu harus dibayar mahal? Bandung dan sekitarnya kini harus menerima nasib diperkosa oleh para investor dengan dalih pembangunan sektor wisata.
Keindahan yang dulu alami kini berubah menjadi objek komersialisasi, mengorbankan alam dan budaya lokal. Para investor datang dengan janji pembangunan dan kemajuan, tetapi apa yang tersisa bagi warga lokal? Hanya kenangan akan tanah yang pernah indah, kini berubah menjadi kawasan wisata yang penuh sesak. Keindahan yang dulu menjadi kebanggaan kini menjadi beban, memaksa warga lokal bertahan di tengah arus perubahan yang tak terelakkan.
Jika kita meminjam logika Veyne, nampaknya kita bisa menganalogikan Poseidon sebagai investor. Mereka tamak dan punya modal. Jika ada satu dorongan terkuat yang dimiliki manusia, maka itu adalah ketamakan. Saya tidak menyebutnya sebagai sesuatu yang bermoral, namun itu salah satu yang terkuat. Seorang yang tidak tamak akan berhenti ketika merasa sudah cukup. Namun, yang tamak tidak.
Obsesi posesifnya tak pernah puas dan tak pernah peduli bahwa obsesi itu harus merugikan dan menghancurkan sesuatu yang indah. Ketamakan mendorong manusia untuk terus mengejar lebih banyak, tanpa memperhatikan dampak negatifnya. Seperti Poseidon yang merajalela dengan kekuasaannya, para investor ini mengeksploitasi sumber daya dengan alasan pembangunan, tanpa peduli pada kehancuran yang ditinggalkan. Mereka terus merangsek maju, mengabaikan segala keindahan yang telah ada, hanya demi keuntungan pribadi yang tak pernah cukup.
Dan Medusa adalah Bandung dan sekitarnya. Ia sama-sama asri, sopan, dan indah. Bandung dan sekitarnya, sebagaimana Medusa, telah mengundang para “pemuda” untuk turut menjamah dan mencicipi kecantikannya. Tentu bukanlah salahnya. Kecantikan, keindahan, dan keasriannya tidaklah dimaksudkan untuk dieksploitasi oleh para jelmaan Poseidon modern.
Namun sebagaimana pencitraan perempuan-perempuan dalam mitos Yunani, tanpa bermaksud mengafirmasi logika patriarkal mereka, Bandung dan sekitarnya sedang dalam posisi yang terpojok. Tangan-tangan eksploitatif yang berusaha menjamahnya sudah mengepungnya. Dan otoritas birokrasi adalah Athenanya. Epos mengenai Bandung dan Sekitarnya belum berakhir, namun bagaimana sikap Athenanya, apakah mengulangi kesalahan mitos yang lalu, atau mengambil sikap sebagaimana Athena seharusnya? Membela Medusa yang sedang babak belur dan membutuhkan pertolongan. ~
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.