February 10, 2025
lpdp_26986-3

Ilustrasi: www.petitpalais.paris.fr

Oleh Bambang Putra Ermansyah

Disclaimer : Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mempromosikan tindakan bunuh diri. Segala pembahasan tentang bunuh diri dalam konteks tulisan ini bertujuan untuk memberikan wawasan tentang bagaimana tema ini diinterpretasikan sebagai sebuah tema yang jauh lebih kompleks dan tidak satu dimensi. Jika Anda  membutuhkan bantuan, harap segera mencari dukungan profesional.

Dalam kegelapan malam, seorang pria berdiri di bawah bayang-bayang pohon zaitun, menatap ke dahannya dengan hati dan pikiran yang bergejolak dengan penyesalan. Tiga puluh keping perak terasa berat di sakunya, sebuah bayaran atas pengkhianatannya. Hal tersebut telah membuat jiwanya hancur dan remuk dengan rasa keputusasaan. Kemana ia bisa memohon ampun? Maaf siapa yang masih bisa ia cari? Dalam kekosongan yang tak dirasa ada ujungnya itu, ia merasa bahwa tak ada lagi jalan kembali; dosa-dosanya terlalu besar, dan penebusan tampak mustahil.

Dengan tangan gemetar, ia mengalungkan seutas tali ke lehernya. Ujung lainnya ia ikat ke cabang pohon yang tinggi. Bunuh diri ini bukan sekadar pelarian dari rasa bersalah, tetapi sebuah pernyataan akhir—bahwa dosa yang telah diperbuatnya tak lagi dapat ditebus oleh apapun, kecuali dengan mengakhiri hidupnya sendiri.

Berabad-abad kemudian, gambaran Yudas yang tergantung di pohon zaitun dengan wajah yang menengadah ke atas telah menjadi simbol keputusasaan yang kuat dalam seni abad pertengahan Eropa. Lukisan-lukisan, manuskrip iluminasi, dan ukiran kerap menggambarkan sosok Yudas dengan tali di lehernya, menandai saat terakhirnya yang tragis. Gantung diri telah menjadi representasi visual dari jiwa yang tersesat, ditelan oleh penyesalan yang mendalam dan rasa bersalah yang tak tertanggungkan.

Namun, ada satu tindakan bunuh diri lain yang sama besar dampaknya dengan bunuh dirinya Yudas. Adalah kematian Senecca, yang kerap dijadikan simbol kemartiran intelektual dan moral. Seni abad pertengahan sering memvisualisasikan momen tragis ini, menekankan keteguhan hati dan pengorbanan Senecca. Namun tidak seperti Yudas, kematian Senecca menggambarkan kompleksitas moralitas dan kehormatan, sekalipun sama-sama meninggalkan dampak yang mendalam dalam imajinasi artistik era tersebut.

Bunuh dirinya Senecca pada tahun 65 M sebagai hukuman atas tuduhan konspirasi usaha pembunuhan Kaisar Nero seringkali dijadikan contoh paripurna mengenai filsafat Stoa yang kerap ia khotbahkan dan tuliskan sepanjang kehidupannya. Semenjak dirinya bertemu dengan Attilus, tokoh utama mazhab Stoa yang lebih senior darinya, Senecca memang secara total menginternalisasi ajaran-ajarannya tersebut.

Senecca bukanlah sebatas pengkhotbah Stoa, namun ia benar-benar menghidupinya. Dalam tindakan akhir yang penuh martabat, Senecca menjalani apa yang dia khotbahkan—hidup yang selaras dengan alam, logika, dan kebajikan. Namun, di balik keputusan untuk mengakhiri hidupnya, tersembunyi ironi yang lebih dalam tentang hubungan antara filsafat dan kenyataan hidup. Senecca tidak hanya mengakhiri hidupnya; dia mengakhiri sebuah narasi tentang bagaimana manusia seharusnya menghadapi kekuasaan yang kejam dan ketidakpastian yang melekat dalam kehidupan.

Moralitas dan kebajikan, menurut ajaran Stoa, merupakan konklusi atas proposisi-proposisi logis. Logika adalah instrumen utama bagi seseorang untuk memahami suatu hal secara jernih, adalah logika yang mampu menghilangkan kerancuan dan kebingunan seseorang dalam memandang sesuatu. Maka, bagi Stoa, moralitas yang lurus adalah konklusi dari logika yang jernih. Dari pandangan inilah sekolah pemikiran Stoa dibangun.

Sekalipun pada awalnya hubungan Senecca dengan Nero adalah hubungan mentor dan murid, seperti hubungan Aristoteles dan Alexander The Great, namun hubungan ini memburuk. Setahun pasca peristiwa kebakaran besar kota Roma yang dijadikan sebagai preteks untuk melakukan persekusi dan pembunuhan massal terhadap pemeluk ajaran Kristus generasi awal, Senecca dituduh terlibat dalam konspirasi untuk membunuh Nero.

Karenanya, ia dihukum sebagaimana Socrates; untuk membunuh dirinya. Dengan ketenangan yang membingungkan banyak orang, dia pun menyanyat tangannya, memutuskan urat nadinya. Merasa bahwa kematian terlalu lama menjemputnya, maka dia pun meminum racun, untuk menyegerakan kematiannya.

Maka, Senecca pun tewas. Kenyataan ini menunjukkan bahwa bahkan filsafat yang paling kokoh pun dapat terancam oleh kekuatan eksternal. Tuduhan terhadap Senecca bukanlah sekadar serangan pribadi, tetapi simbol dari betapa rapuhnya tatanan moral di tengah kekacauan politik. Meskipun ia mengajarkan pengendalian diri, Senecca hidup di tengah-tengah kekacauan emosi dan ketidakstabilan politik yang akhirnya menyeretnya menuju kematian.

Sekalipun matinya Senecca bisa dipandang sebagai suatu pengamalan filsafat Stoa yang paling murni, namun di sisi yang bersamaan, peristiwa tersebut juga memperlihatkan pada kita bahwa tindakan tersebut tidaklah sesederhana yang seringkali orang kira ; sebagai sebuah dosa. Ketika ia menyayat urat nadinya dan meminum racun, sesungguhnya ia tidak hanya mempraktikkan apa yang ia khotbahkan; ia juga merespons tekanan yang tak tertahankan dari dunia di sekitarnya. Tindakan ini mencerminkan ketegangan yang mendalam antara ajaran filosofis dan tuntutan realitas hidup yang tak terhindarkan. Di satu sisi, Senecca menunjukkan bahwa ia tidak tunduk pada ketakutan akan kematian; di sisi lain, ia menunjukkan betapa sulitnya mempertahankan kemerdekaan diri dalam menghadapi tekanan kekuasaan yang absolut.

Kematian Senecca bisa dilihat sebagai peristiwa yang mengungkap batasan dari filsafat kebajikan yang dipahami oleh Stoa. Meskipun Stoa mengajarkan ketenangan di tengah badai kehidupan, kenyataannya, bahkan seorang filsuf besar seperti Senecca pun tak dapat sepenuhnya melarikan diri dari kekacauan dunia. Keputusannya untuk mengakhiri hidupnya bisa dilihat sebagai bukti dari paradoks ini: bahwa logika dan kebajikan saja tidak cukup untuk melindungi seseorang dari kekejaman dunia. Senecca, dengan segala kebijaksanaannya, menunjukkan bahwa keberanian menghadapi kematian bukanlah sekadar manifestasi dari ketenangan batin, tetapi juga dari pengakuan atas keterbatasan manusia di hadapan kekuasaan dan nasib.

Pandangan Émile Durkheim, sosiolog Prancis yang menulis Le Suicide,  tentang bunuh diri bisa memberikan perspektif yang lebih luas tentang tindakan Senecca. Durkheim memandang bunuh diri tidak hanya sebagai tindakan individu, tetapi sebagai fenomena sosial yang mencerminkan keadaan masyarakat. Durkheim berusaha menganalisis fenomena bunuh diri sebagai sesuatu yang jauh lebih kompleks dan komprehensif alih-alih hanya dipandang sebagai sebuah ‘dosa’ semata. Durkheim mengidentifikasi empat klasifikais bunuh diri – egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik. Keempat klasifikasi ini menyajikan analisis yang mendalam terhadap fenomena bunuh diri ; sebagai suatu pilihan yang dipengaruhi oleh aspek sosial. Antara individu dengan struktur masyarakat.

Penelusuran Durkheim ini pada akhirnya membuka pandangan kita atas isu bunuh diri yang rupanya lebih kompleks dari hanya sebatas dosa. Bayangkan seorang lansia yang merasa ditinggalkan oleh keluarga dan lingkungannya, ia merasa bahwa ikatan sosialnya memudar, sehingga membuatnya terperosok pada kehampaan eksistensial. Ia merasa tidak lagi berarti, tatanan sosial terdekatnya, yakni keluarga, sudah mengabaikannya. Maka, ia bunuh diri, atas alasan yang egoistik, memang betul. Namun, alih-alih hanya melihatnya sebagai suatu tindakan egoistik yang di dorong oleh motivasi diri yang terpisah dari masyarakat, Durkheim memandang bahwa keputusasaan tersebut juga disebabkan oleh tatanan sosial. Masyarakat telah gagal menjaga anggotanya dari rasa yang sepi, dari rasa yang mendorongnya untuk mengambil pilihan paling ekstrem.

Sebaliknya, ada tindakan bunuh diri yang lebih heroik. Durkheim menyebutnya sebagai bunuh diri altruistik. Bunuh diri ini biasanya berbentuk pengorbanan. Misalnya seorang ibu yang sengaja melompat ke terjangan peluru, mengetahui secara sadar bahwa hal tersebut akan menewaskannya, demi melindung anaknya. Atau tindakan berani para martir kebocoran reaktor Nuklir Fukushima. Para martir ini mengorbankan nyawa mereka demi keselamatan orang banyak. Matinya individu dalam tindakan bunuh diri ini dipandang sebagai dampak ketika tatanan sosial berhasil membuat anggota tatanannya tidak lagi menjadi sesuatu yang terpisah dari tatatan.

Di sisi lain, bunuh diri fatalistik jauh lebih suram. Ia adalah bentuk bunuh diri yang terjadi ketika hidup terasa terkekang tanpa harapan. Bunuh diri ini merupakan bunuh diri yang penuh dengan paksaan, saat seorang individu merasa terpaksa untuk mengakhiri kehidupannya sebagai jalan keluar dari penderitaan yang dialaminya. Sebagai suatu keputusan paling final.

Sementara bunuh diri anomik, menurut Durkheim adalah fenomena yang terjadi ketika tatanan sosial telah runtuh dan jatuh pada pelukan kekacauan. Bunuh diri ini terjadi misalnya ketika terjadi krisis politik yang menyebabkan ketidastabilan aturan dan sosial dalam masyarakat. Bunuh diri anomik berbeda dengan bunuh diri egoistik. Ia tidak didorong oleh perasaan sepi dan terasing dari tatanan sosial, dari kegagalan integrasi sosial. Bunuh diri anomik terjadi ketika seseorang merasa bahwa sesuatu yang selama ini menjadi pegangan hidupnya telah runtuh atau musnah karena adalanya keruntuhan tatanan norma.

Bunuh diri Senecca mungkin dapat dikategorikan sebagai bunuh diri altruistik—sebuah pengorbanan yang dilakukan demi menjaga martabat dan prinsip-prinsip yang ia anut. Namun, lebih dari itu, tindakan ini juga mencerminkan bunuh diri fatalistik, di mana individu merasa tak berdaya menghadapi kekuatan yang menindasnya. Karenanya, kematian Senecca menjadi lebih dari sekadar konklusi filosofis; ia juga menjadi cerminan dari konflik antara individu dan struktur kekuasaan yang tak terhindarkan.

Namun, Albert Camus menawarkan perspektif yang jauh lebih eksistensial alih-alih sosiologis mengenai bunuh diri. Camus mungkin merupakan orang pertama yang mengangkat permasalahan bunuh diri sebagai permasalahan mendasar atas eksistensi manusia. Camus mempertanyakan dalam salah satu karyanya, The Myth of Sisyphus bahwa pertanyaan paling mendasar dalam filsafat eksistensial adalah apakah seputar apakah hidup sebenarnya layak untuk dijalani. Dalam pandangan Camus, manusia hidup dalam realitas semesta yang tidak peduli. Ketidakpedulian ini bertubrukan dengan pengharapan manusia atas makna. Dengan semesta yang tidak peduli dan absennya makna yang didambakan oleh manusia, layakkah sebenarnya kehidupan ini dijalani?

Bunuh diri, merupakan satu buah opsi, begitu menurut Camus. Bunuh diri merupakan jawaban final atas benturan antara ketidakpedulian semesta dan kekosongan makna. Dalam absurditas ini, bunuh diri dapat dipandang sebagai bentuk pemberontakan terhadap kekosongan hidup. Namun, meskipun begitu, Camus menyodorkan satu opsi lain yang berani dan radikal, yakni dengan menerima absurditas tersebut sebagai sebuah realitas eksitensial, dan karenanya seseorang bisa memilih untuk memberontak dengan memilih untuk tetap hidup. Sekalipun semesta tidak menyediakan makna definitif terhadap eksistensi manusia, namun untuk tetap hidup, maka seseorang sudah melakukan pemberontakan ekstistensial paling radikal ; sekalipun sebaiknya mati saja, ia memilih untuk tetap hidup.

Dalam konteks ini, kematian Senecca membuka diskusi tentang bagaimana manusia merespons tekanan eksternal yang menghancurkan dan ketidakpastian yang tak terelakkan. Apakah hidup harus selalu dipertahankan, atau adakah titik di mana kematian menjadi tindakan yang lebih bermakna? Senecca, dengan segala kebijaksanaannya, memilih kematian sebagai jalan untuk mempertahankan martabatnya di tengah dunia yang penuh kekacauan.

Keputusan ini bukanlah sekadar pelarian, melainkan sebuah deklarasi bahwa hidup yang kehilangan integritas mungkin tidak lagi layak dipertahankan. Senecca, dalam kematiannya, tampak seolah menyerah pada absurditas dunia, tetapi justru di situlah letak pemberontakan terakhirnya—menunjukkan bahwa bahkan dalam menghadapi kematian, ada kebebasan terakhir yang dapat ia klaim, meski hanya dalam bentuk pengakhiran hidupnya sendiri.

Karena mungkin, bisa jadi, di sinilah kita sampai pada inti dari sebuah pilihan. Ketika semua jalan tampak menuju pada ujung yang buntu, ketika hidup dihadapkan pada pilihan yang tak terhindarkan, disanalah barangkali manusia menemukan kebebasan sejati. Mungkin, kebebasan sejati tidak terletak pada dikotomi keberhasilan dalam bertahan atau dalam kemenangan, tetapi dalam keputusan untuk tetap memegang kendali, bahkan saat semua tampak hilang. Kebebasan itu ditemukan dalam keberanian untuk menentukan bagaimana akhir cerita ditulis ; dalam kesadaran bahwa tidak semua pertempuran harus selalu dimenangkan.

Bisa jadi keanggunan dari kebebasan sejati terletak pada keberanian untuk menutup bab terakhir dengan cara yang paling tak terduga. Karena pada akhirnya, nilai dari sebuah kehidupan, atau sebuah perjalanan, tidak hanya ditentukan oleh bagaimana ia dijalani, tetapi juga oleh bagaimana ia diselesaikan. Sebab, di dalam setiap akhir yang kita tuliskan, ada sebuah pernyataan yang lebih besar dari sekadar hidup dan mati, berhasil dan gagal, menang dan kalah —  yaitu hak istimewa untuk menentukan bagaimana cerita kita selesai. ~

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.