Oleh Bambang Putra Ermansyah
Kisah-kisah kekuasaan melahirkan kisah-kisah heroik, patriotisme, pengorbanan dan menjual impian akan masa depan yang lebih indah. Namun kisah kekuasaan juga menyimpan kisah pilu. Ada darah yang tumpah di sana, nyawa yang terenggut, pengkhianatan, kepengecutan dan tipu muslihat. Dalam kisah-kisah kekuasaan, sulit bagi kita untuk memisahkan yang gelap dan yang terang.
Dalam satu sudut, misalnya, kematian Julius Caesar adalah bentuk pengkhianatan yang memilukan. Atas kerja kerasnya membawa imperium Roma ke kejayaannya, ia justru ditikam terbunuh oleh para sejawatnya. Namun bagi sudut pandang lain, peristiwa itu adalah peristiwa heroik para Republikan yang berusaha menghentikan ambisi Caesar yang mempreteli Republik. Dalam cara pandang ini, yang berkhianat bukanlah Brutus dan kompolotannya, namun Caesar yang sudah melampaui batas atas kewenangannya yang diberikan oleh Senat. Siapa yang berkhianat? Siapa yang merupakan patriot?
Tragedi yang serupa bukanlah hal yang asing dalam sejarah umat manusia. Epos sejarah, yang secara ironi dibagi berdasarkan pengembangan persenjataan dan seberapa variatif manusia menemukan cara untuk saling bunuh, adalah epos tragedi. Tidak salah rasanya jika Jean-François Lyotard dalam The Postmodern Condition: A Report on Knowledge yang menyorot kebergunaan ilmu pengetahuan umat manusia adalah diperuntukkan agar dapat menciptakan senjata yang lebih efisien dan efektif dalam membunuh sesamanya.
Sekalipun Lyotard membicarakan hal tersebut dalam konteks “tragedi” ilmu pengetahuan dalam lingkup pasca modern, namun tragedi tersebut sesungguhnya bermuara pada satu hal, baik semenjak dahulu hingga sekarang, yakni kehendak untuk berkuasa (harap jangan samakan asumsi kehendak untuk berkuasa yang saya bicarakan ini dengan Der Wille zur Macht yang diadvokasikan Nietzsche yang kerap diinterpretasikan secara keliru dan banal).
Namun, ada satu pertanyaan yang membuat penelusuran saya mengenai kekuasaan seringkali terbentur ; “Di manakah Nafsu Berkuasa Terletak?” Bagian mana atau apa dari manusia yang bertanggung jawab atas dorongan untuk berkuasa dan menguasai? Paradigma Hobbessian memang memberikan kepada kita penjelasan mengenai kenapa kekuasaan menjadi sebuah kesepakatan sosial yang disepakati oleh manusia. Namun, apa yang mendorong manusia untuk berhasrat akannya? Apakah dengan menjawab bahwa itu adalah sekedar sifat manusia saja sudah cukup? Sepertinya, setelah ratusan buku dan tulisan yang saya baca dan cermati seputar kekuasaan, belum ada satu pun yang memberikan jawaban yang cukup memuaskan.
Namun, sekalipun begitu, ada satu “teori” (jika memang benar bisa dikatakan sebagai teori), bahwa letak nafsu berkuasa ada pada alat kelamin manusia. Setidaknya itulah rasionalisasi dibalik “pembuatan” para kasim, atau eunuch. Dalam berbagai peradaban besar masa lalu, orang-orang kasim, dan peran-peran sosial politiknya, tidak sulit untuk ditemukan. Orang-orang kasim adalah mereka yang telah dipotong alat kelaminnya, secara paksa atau sukarela, sebagian atau seluruhnya, sedari kecil atau ketika menginjak usia remaja, yang menyebabkan mereka kehilangan kemampuan seksual dan reproduktif. Pemotongan ini ditujukan untuk “menghilangkan” apa yang dianggap sebagai sumber hawa nafsu manusia.
Lalu apa tujuan dari pengebirian ini? Dalam banyak peradaban, tujuan dari penghilangan potensi biologis dan reproduksi dari seorang kasim adalah untuk “menciptakan abdi yang setia”. Kathryn Ringrose, dalam The Perfect Servant: Eunuchs and the Social Construction of Gender in Byzantium, menuliskan bahwa penghilangan potensi reproduksi dan biologis ini diyakini dapat membebaskan orang-orang kasim dari hasrat dan keinginan yang mengganggu.
Orang kasim memang seringkali mendapatkan tempat dalam kehidupan istana. Mereka menempati posisi-posisi yang strategis, dari mulai pelayan, penasihat, pejabat, hingga penjaga permaisuri dan anggota keluarga kerajaan. Menurut Shaun Tougher dalam The Eunuch in Byzantine History and Society, dengan hilangnya fungsi reproduksi, dan dengannya kemampuan untuk memiliki keluarga, maka orang kasim bisa lebih loyal karena mereka tidak memiliki ahli waris, maka karenanya, akan mengurangi ancaman terhadap kekuasaan. Karena hilangnya potensi itu, maka mereka tidak lagi terikat oleh nafsu seksual yang menipu dan tidak pula jatuh pada konspirasi penggulingan kekuasaan demi memperkuat posisi politik anak keturunan mereka di kemudian hari.
Banyak peradaban yang percaya bahwa pengebirian, selain menghilangkan nafsu seksual juga akan menghilangkan nafsu berkuasa dari para kasim. Mereka dipercaya tidak memiliki ambisi, karena dalam logika monarki dan imperium, ambisi berkuasa didorong oleh hasrat seksual dan keinginan untuk meninggalkan legacy dan dinasti kepada anak-cucunya. Karenanya, orang-orang kasim seringkali dicitrakan sebagai orang-orang “suci” dan merupakan manusia “sempurna” karena tidak lagi dapat terganggu oleh godaan duniawi.
Namun, apakah benar seperti itu adanya? Bahwa menghilangkan alat reproduksi dapat serta merta menghilangkan nafsu untuk berkuasa? Bahwa ketidakmampuan untuk berkeluarga dan berketurunan membuat hasrat berkuasa menjadi jinak? Ringrose memiliki gagasan yang menarik ketika membicarakan ini. Ia berpendapat bahwa penghilangan alat reproduksi tidaklah serta merta menghilangkan nafsu berkuasa, karena menurutnya, tindakan tersebut hanya memindahkan “hasrat genital” ke wilayah yang lebih abstrak : pikiran. Karena ironisnya adalah, orang kasim, dengan hilangnya potensi seksual mereka, justru bisa memfokuskan diri mereka untuk hal-hal yang bisa teralihkan karena aktivitas seksual, yang salah satunya adalah berkuasa. Ada beberpa contoh nyatanya, seperti para kasim di kekaisaran Mughal atau pun Dinasti Ming yang memiliki hasrat yang berapi-api dalam perjalanan menuju kekuasaan dan dominasi.
Teori-teori dan filsafat kekuasaan yang dahulu dipercaya oleh para monarch rupanya keliru. Kekeliruan ini tentu bersumber pada logika-logika pelimpahan kekuasaan yang turun temurun atau berasaskan kekeluargaan dan ikatan darah. Asumsi bahwa ketidakmampuan seseorang untuk “memiliki” darah dan keturunannya sendiri adalah berarti juga hilangnya nafsu berkuasa rupanya keliru, bahkan merupakan kekeliruan yang tidak jarang menjadi sebab terguncangnya tahta dan kestabilan monarki (seperti dalam periode Tiga Kerajaan di penghujung sejarah Dinasti Han, Tiongkok). Hal yang sama juga dapat ditemukan di dinasti dan kekaisaran lain, seperti dalam The Ottoman Empire and Early Modern Europe, David Goffman juga menyorot mengenai peran para kasim yang menjadi pemain penting dalam terbentuknya kebijakan dan keputusan para sultan. Nampaknya, ambisi untuk meninggalkan legacy pada umat manusia tidaklah terletak pada kemampuan reproduksi, karena jika kita bisa mengambil pelajaran dari kehidupan para kasim, maka itu adalah bahwa legacy dan ambisi tidaklah selalu terikat pada darah dan keluarga, namun terletak rasa puas dalam berkuasa dan mendominasi.
Fenomena hasrat yang tetap dimiliki oleh orang kasim ini menimbulkan revolusi pengetahuan mengenai keinginan manusia untuk berkuasa. Jika memang keinginan berkuasa dari manusia terkait dengan legacy darah dan keturunan, maka kenapa nafsu menggebu-gebu tersebut masih ditemukan pada orang kasim? Darisanalah (menurut saya) para pemikir politik pada akhirnya menyandarkan hasrat dan nafsu berkuasa kepada sifat dasar manusia (human nature) semata, yang tak bisa dihilangkan. Karena pada nyatanya, penyandaran nafsu berkuasa terhadap kemampuan seksual dan reproduksi yang tidak dimiliki oleh orang kasim justru membuat nafsu tersebut termanifestasi dalam bentuk yang jauh lebih halus, licik, dan culas ; dan dalam beberapa aspek, menjadi sangat efektif dan efisien.
Melalui fenomena kasim, para ilmuwan dan pemikir politik mulai menggeser perhatian mereka pada aspek psikologis dan alamiah manusia yang jauh lebih halus dan tersembunyi, yakni kebutuhan eksistensial manusia untuk dianggap (atau minimal merasa) relevan dan berpengaruh. Bentuk relevansi eksistensial seseorang dalam konteks kekuasaan merentang dari konteks sebatas mempengaruhi dan mengendali narasi, keputusan dan kebijakan, hingga pada konteks yang jauh lebih besar, yakni meninggalkan nama dan peran mereka dalam catatan sejarah.
Sehingga sekalipun garis keturunan mereka sirna karena pengebirian tersebut, nama dan sosok mereka masih tertinggal dan berbekas dalam ingatan manusia sebagai seseorang yang relevan, berpengaruh, berkuasa, dan mendominasi. Sehingga, dengan kata lain, nafsu berkuasa akan tetap selalu ada selama orientasi eksistensial manusia terletak pada struktur sosial yang membentuk relasi antar manusia, alih-alih ada pada dirinya sendiri (sebagai individu / ego).
Pada akhirnya, penghayatan yang berusaha saya lakukan untuk mencerna dimana letak nafsu berkuasa hanya kembali terantuk pada kesadaran atas kenyataan bahwa dorongan berkuasa adalah dorongan yang mengalienasi manusia dari dirinya sendiri. Saat seseorang memantapkan dirinya pada kampanye menuju jalan kekuasaan, maka di saat itu juga ia terjerumus pada perangkap alienasi, yang memisahkan dirinya, identitasnya yang sejati demi menggapai impiannya untuk mendefinisikan ulang dirinya sebagai “dominasi” dalam struktur sosial dimana ia berada.
Hasrat untuk meninggalkan jejak dalam sejarah, untuk dikenang dan diingat, telah mengubah manusia menjadi entitas yang hanya ada dalam relasi kuasa, yang terjebak dalam narasi dominasi dan penundukan, sehingga mengorbankan esensi diri yang sebenarnya. Dalam proses ini, manusia mungkin menjadi penguasa atas orang lain, namun kehilangan kendali atas dirinya sendiri, kehilangan arah dalam menemukan dirinya sendiri karena telah tertutup oleh ambisi eksistensialnya. Sehingga pada akhirnya, pertanyaan “Dimanakah Nafsu Berkuasa Terletak?” berujung pada penyimpulan mengenai pencarian tentang di mana letak diri kita yang sebenarnya—apakah kita menemukan diri dalam relasi dengan dunia, ataukah kita hilang dalam alienasi yang diciptakan oleh hasrat yang tak pernah terpuaskan? ~
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral.