Oleh Bambang Putra Ermansyah
Tradisi kebijaksanaan lama dalam spiritualitas dan mistisme dari banyak agama dan ajaran kepercayaan telah sejak lama memandang bahwa alam merupakan sebuah cermin yang memantulkan kebenaran transenden; sebuah manifestasi ilahiah. Dalam tradisi kebijaksanaan ini, alam tidaklah sekedar ditempatkan sebagai sebuah materi yang fisikal, namun juga dipandang sebagai sebuah teks yang memiliki sakralitasnya sendiri, dengan kadar dan kualitas sakralnya masing-masing. Bahkan dalam teologi Islam, alam semesta disebut sebagai Ayatul Kauniyyat, yang sebagaimana Al Qur’an (sebagai Ayatul Qauliyyat), juga memiliki fungsi pengajaran dan hikmah bagi “mereka yang berpikir” dan “mereka yang bertafakkur” (atau dalam bahasa William Chittick : “wahyu Tuhan kedua setelah Al Qur’an).
Gagasan mengenai sakralitas alam dalam doktrin Islam memang mendapatkan tempat yang teramat khusus dalam ajaran mistik sufisme (baca ; Tasawwuf). Alam adalah manifestasi Nama (asma’) Allah, dimana Allah “menampakkan” eksistensiNya melalui penampakan-penampakan berupa alam semesta. Dalam mukaddimah Kitab Tajalliyat yang ditulis oleh Syaikhul Akbar, Doctor Maximus, Ibnu ‘Arabi, ia menuliskan bahwa semesta secara keseluruhan tidak akan mampu menampung Ketuhanan dalam cara-cara verbal dan penggambaran, karenanya, Dia menjadikan penampakan (Tajalli, pe-manifestasi-an) dan Musyahadah (penyaksian) sebagai caraNya untuk “menampakkan” DiriNya. Ini artinya, ajaran Wujudiyah yang dikonseptualisasikan secara komprehensif oleh Syaikhul Akbar juga melihat bahwa alam bukanlah sesuatu yang terpisah dari Tuhan, alam semesta adalah cermin yang memantulkan DiriNya, dimana cermin itu pula yang dilihat olehNya untuk melihat DiriNya sendiri, sebagaimana yang disyairkan oleh Al Allamah Syed Muhammad Naquib Al Attas dalam Rangkaian Rubaiyyat-nya, canto IV dan V :
IV
Sungguh ajaib ! – wajah chantik tiada bandingnya,
Di dalam kalbu chermin ini merajalela ;
Anehnya bukan wajah itu – anehnya ialah
Kerna chermin ini pun sekaligus wajahnya.
V
Semua chermin dalam alam ini kusangka,
Membayangkan Kechantikanmu laksana surya,
Tidak ! Dalam Semua meliput sinarmu –
Kulihat kau sendiri, bukan bayangmu, nyata.
Pahaman seperti ini dalam memandang alam juga dikandung oleh “saudara tua” dalam tradisi agama Abrahamik, dimana sakralitas alam terpatri dalam doktrin penciptaan. Doktrin Tikkun Olam menjadi salah satu ajaran luhur Judaisme yang menjadi mandat agar manusia dapat menjaga dan memperbaiki apa yang rusak dari alam semesta karena tindak laku manusia (sehingga karenanya Zionisme bukanlah Yudaisme, bahkan saling bertentangan antara satu sama lain). Sementara itu, Tradisi Kekristenan melihat bahwa alam merupakan manifestasi dari kebaikan ilahi, yang disaat yang bersamaan juga merupakan pembawa berita mengenai daya cipta Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam Kitab Kejadian (“Allah melihat Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”) serta Mazmur (“Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya”).
Selain itu, kita juga bisa melihat persinggungan doktrin agama-agama Abrahamik ini dengan ajaran Taoisme. Laozi, dalam Tao Te Ching, menyebutkan bahwa alam semesta adalah manifestasi dari Dao, sebuah prinsip universal yang “membidani” seluruh eksistensi (yang membuat saya teringat akan tulisan-tulisan Fritjof Schuon yang melihat bahwa sakralitas alam adalah elemen fondasional dalam setiap tradisi religius). Inti ajaran Taoisme berpusat pada harmoni dan spontanitas “lugu” dari manusia. Laozi mengajarkan pengikutnya bahwa “Manusia selayaknya harus mengikut bumi, dimana bumi mengikuti langit, langit akan mengikuti Dao, dan Dao akan mengikuti dirinya sendiri”. Hal ini bermakna bahwa manusia, sebagai bagian tak terpisahkan dari alam, harus hidup dalam harmoni dengan bumi yang merupakan tempatnya berpijak. Bumi sendiri tunduk pada hukum dan aturan kosmik (yang disimbolkan dengan langit sebagai semesta), dan langit tunduk pada Dao, prinsip universal yang menjadi landasan terciptanya eksistensi itu sendiri (baik secara konseptual maupun fisikal). Dao adalah sumber dari seluruh sumber, bersifat otonom dan mengikuti hukumnya sendiri. Sehingga, inti ajaran Taoisme melihat bahwa keteraturan yang ada di dalam semesta adalah sesuatu yang bebas dari intervensi entitas eksternal, karenanya, satu-satunya yang masuk akal adalah mengikuti alurnya dalam spontanitas yang “lugu” dan apa adanya.
Tradisi kuno Shintoisme di Jepang juga memiliki paradigma yang bertautan dengan posisi teologis alam sebagai Ayatul Kauniyyat. Dewa dan Dewi dalam mitologi Shinto bukanlah entitas yang terpisah dari alam, namun adalah sesuatu yang memiliki roh dan energi kudus yang membuatnya menjadi bagian tak terpisahkan dari Dewa-Dewi. Ajaran Shinto sedikit berbeda dengan tradisi agama Abrahamik yang melihat bahwa alam (yang finite) tidak akan mampu menampung Tuhan (sebagai Yang Infinite), dimana ia melihat bahwa alam, seperti pohon, batu, gunung, dan sungai adalah lokus bagi persemayaman Dewa-Dewi. Karenanya, ajaran Shintoisme mendorong pemeluknya untuk menjaga harmoni dengan alam, karena alam adalah satu-satunya yang menghubungkan manusia dengan Dewa-Dewi mereka (melalui ritus-ritus keagamaan).
Namun, modernitas (dengan segala bala yang dibawanya, termasuk fetisisme komoditas yang begitu menjebak) selalu berhasil dalam melakukan pengaburan terhadap kebijaksanaan lama yang “kolot”. Manusia telah dipisahkan dari alam, tidak lagi memandang dirinya sebagai bagian dari alam, namun sebagai makhluk yang terpisah, yang asing, yang melihat relasinya dengan alam dalam konteks relasional yang eksploitatif. Tak ada sakralitas, tak ada dimensi spiritual, yang ada hanyalah logika materialistik yang fatalistik. Alam bukanlah sesuatu yang berjiwa, alam adalah objek tanpa nilai intrinsik sama sekali, sehingga ia tidak dipandang sebagai sesuatu yang memiliki dimensi selain dimensi fisikal yang hampa.
Dalam bukunya, Man and Nature : The Spiritual Crisis in Modern Man, Syed Hossein Nasr berargumen bahwa keterpisahan yang dialami oleh manusia dengan alam (dalam konteks kesadaran diri) adalah penyebab utama dari krisis ekologis yang dihadapi oleh bumi dalam beberapa dasawarsa terakhir. Alam telah mengalami pereduksian yang begitu mendalam, sehingga dipandang dalam dimensi materialistik semata. Sehingga manusia memandang alam semesta sebagai objek tanpa jiwa, yang berfungsi sebagai sesuatu untuk dieksploitasi dan manipulasi, yang membuat manusia semakin memutus relasi sakral yang secara fitrah merupakan relasi timbal balik antara manusia dan alam.
Pandangan yang dipegang oleh Syed Hossein Nasr ini (yang dalam tradisi teologi Islam seringkali dirujuk sebagai traditionalism atau disebut juga dengan philosophia perennis) melihat alam sebagai sesuatu yang bersifat simbolis, dimana seluruh elemen dari semesta merupakan simbol yang memiliki makna spiritual yang lebih mendalam dan melampaui eksistensi fisikalnya. The Reign of Quantity and the Signs of the Times, yang ditulis oleh Rene Guenon dua dasarwarsa sebelumnya, menyoroti kecenderungan manusia modern dalam memandang alam dalam kacamata kuantitatif telah serta merta menghilangkan kualitas esensialnya (baca ; fitrahnya) sebagai manifestasi ilahiah.
Hal ini juga dikuatkan oleh Syed Muhammad Naquib Al Attas (dalam Risalah untuk Kaum Muslimin) yang “mewakili” sekolah pemikiran yang lain (Neo-Ghazalian, walaupun penyebutan ini masih belum terdefinisikan dengan jelas), yang sekalipun secara fundamental berbeda pandangan dengan cukup sengit dengan paradigma perenialistik, namun sepakat mengenai dimensi simbolis dan maknawi dari alam semesta, menyebutnya sebagai “Kitab Agung Yang Terbuka yang ayat-ayatnya harus ditafsir serta ditakwilkan”. Namun, modernitas telah merusak pahaman ini, mengubah simbol sakral yang diwakili oleh dimensi fisikal alam menjadi semata-mata objek yang dieksploitasi dan dimanipulasi.
Dengan hilangnya pemahaman dan kesadaran atas sakralitas alam, manusia menghancurkan alam dan lingkungan dengan dalih kemajuan dan kemakmuran (yang diterjemahkan dalam penanda-penanda yang materialistik), sehingga simbolisme ilahiah yang menjadi bagian intrinsik dari alam semesta tertutupi dari pandangan manusia. Kesadaran manusia tidak lagi bisa menangkap hikmah bahwa kehancuran alam dan lingkungan juga adalah kehancuran spiritualitas mereka.
Baik Syed Hossein Nasr – Frithjof Schuon – Rene Guenon dan Syed Muhammad Naquib Al Attas yang mewakili pemikir-pemikir modern dalam dunia Islam berhasil mengkonseptualisasikan teologi atas sakralitas alam, sebuah pandangan yang mencoba untuk mengenali alam sebagai cerminan dari Yang Ilahi dan di saat yang sama juga merupakan teks maknawi yang menunggu untuk diterjemahkan. Pandangan ini merupakan pandangan yang bisa menjadi titik temu bagi berbagai tradisi religius (seperti agama Abrahamik) dan kepercayaan-kepercayaan tua (seperti Shintoisme, Taoisme, Hinduisme, Budhisme, hingga ajaran kepercayaan tua lain di berbagai belahan dunia). Oleh karenanya, penghormatan atas sakralitas alam adalah salah satu cara untuk menghormati Kesucian dan Kekudusan Tuhan itu sendiri. Sikap destruktif manusia terhadap alam sejatinya bukan sebatas dosa ekologis, namun juga dosa spiritual, karena secara gegabah, dalam porsi tertentu, kita telah merusak manifestas dari Yang Maha Kudus.
Kesamaan pandangan ini menunjukkan bahwa ada satu titik temu yang dapat menjadi satu fondasi teologis yang melampaui ekslusivitas ajaran agama masing-masing (namun harus dicatat bahwa dimensi ekslusivitas doktrinal dari masing-masing agama dan kepercayaan adalah sesuatu yang alamiah dan bukan sesuatu yang berkonotasi negatif). Karenanya, alam dan kelestariannya dapat menjadi jembatan bagi relasi positif antar agama dan kepercayaan dalam menghadapi krisis ekologis. Teologi sakralitas alam dapat menjadi satu teologi pemersatu bagi umat beragama dan pemeluk kepercayaan dalam membangun hubungan yang lebih sehat dan harmonis antara manusia dan alam, yang selama beberapa abad belakangan telah dikuasai oleh pandangan dunia yang sekuler. Terlepas dari perbedaan doktrinal, penghormatan terhadap sakralitas alam dengan segala simbolisme dan makna yang dipendamnya, dapat memberikan tujuan besar bersama; disatukan oleh satu paradigma yang memandang bahwa penjagaan manusia atas alam bukanlah sebatas tanggung jawab moral ekologis, namun juga kewajiban transenden kita terhadap Yang Maha Kudus lagi Maha Pencipta. ~
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktora