December 11, 2024
Fedli

Oleh Fedli Azis

Lirik Lagu:
Ooooooooo
Kita adalah kefanaan
Di atas tanah
Di bawah langit
Diantara surga dan neraka

Ooooooooo
Kitalah wakil berkendara dusta
Mencipta bencana entah untuk apa?
Tangis dan tawa jadi mainan semata
Kepuasan tak ada makna
Karena sengketa didaulat jadi raja

Ooooooooo
Cinta dan benci tiada pemisah
Hidup dan mati jadi biasa
Karena kita telah lama membunuh nurani yang terpenjara di dunia

SAAT ini, di sini, aku ingin mengumpat. Menuang kecamuk dalam belanga karatan yang didedah sang waktu. Memuntahkan sumpah serapah karena lama menyampah di batok kepala. (Tersenyum getir) Tak perlu merasa jijik, bahkan ikut-ikutan muntah karena isi-nya memang busuk sekali. Menyengat, dan menikam-nikam lubang hidung. Membakar bulu-bulunya sampai tandus, tak berbekas. Bau apak itu akan mengalir di kepala, lalu turun ke tenggorakan, ke rongga dada, dan bersemayam di lambung. Mengocok-ngocoknya sampai menjadi bangkai.

Maka tahanlah sejenak. Biarkan saripati bau itu menguasai untuk beberapa saat, sebelum letupan-letupannya meleleh di sekujur ingatan.

Letupan-letupan kecil, sedang, maupun besar itu akan membentuk jalur-jalur. Dan siapa saja yang berdiri di pangkal, musti membuat pilihan. Jika hidup adalah pilihan, maka segeralah tentukan. Jika diam juga sebuah pilihan, tetap harus diambil. Atau, jika lebuhraya lain, yang tampak muram, berdebu, dan penuh lilitan belukar terpampang jelas di depan mata hatimu, juga menjadi pilihan. Itu sebagai jalur alternatif. Ya, barangkali, itulah jalur yang sesungguhnya musti dituju. Ingatlah, tak ada jalur buntu. Semuanya panjang, berliku, menawar pesona, menggoda, merayu, dan membujuk untuk ditapaki.

Apakah kau perlu merenung? Ya, bisa dan boleh-boleh saja. Tak ada larangan sama sekali. Kau lah yang harus menentukan, ke mana langkah nak dihayunkan. Di mana dan kapan tujuan itu berakhir? Tak ada yang mampu menyimpulkan. Atau sekadar menebak, menerka, mereka-reka, pun percuma. Sebab tak seorang pun yang bisa menjawab pertanyaan itu. Kita tidak bisa mengatakan, setelah detik ini berlalu, inilah yang akan terjadi. Jika pun ada yang seolah-olah terjawab dengan benar, itu hanyalah perkiraan belaka. Lantas, apakah jawaban yang benar itu kebetulan? Entahlah, rasanya tak ada yang kebetulan di muka bumi ini. Barangkali, memang proses dan hasilnya sudah begitu.

Maksudnya, setiap peristiwa selalu diawali dan melalui peristiwa-peristiwa lain untuk memuncaki sebuah peristiwa. Tuhan pun menciptakan semesta dengan jalur serupa itu. Maka tak perlu menjadi tukang nujum, bomo, atau dukun untuk menebak masa ke hadapan. Masa depan kita, dengan masa depan orang lain tentu berbeda. Begitu pula dengan masa depan bangsa dan kaum di dalamnya. Perbedaan itu sangatlah lumrah sebab segala sesuatu ada jalur, cerita, kisah, dan peristiwanya sendiri.

Lalu, bagaimana dengan aku, kau, kalian, kita? Pertanyaannya, adakah yang mampu menjawab, mengurai, dan mengisahkannya saat ini? Adakah yang bisa meyakinkan, jika begini akan begini, jika begitu akan begitu? (Tertawa terpingkal-pingkal) Jika kau menjawab dengan keyakinan penuh, kau akan diejek sang waktu. Jika kau benar, ramai orang mengatakan itu hanya kebetulan, jika kau salah pada waktunya, kau dikatakan ‘gila’ dan mengada-ada belaka.

Mengapa begitu? Karena setiap individu hanya diberi secuil kemampuan untuk menafsir masa lalu dan masa datang. Ia hidup dan diberi waktu untuk menempuh dan menjalani kehidupannya saat ini dan di sini. Masa lalu milik orang dan generasi masa lampau. Begitu pula masa depan dan masa sekarang.

Lalu, perlukah kita mengenal dan memahami sejarah? Ya, itu harus. Apa itu penting? Sangat. Bagaimana masa depan? Juga sangat perlu. Setiap generasi, punya jalur dan peristiwanya masing-masing. Setiap generasi, saat mereka menjalani masanya diberi secuil pengetahuan untuk menelaah masa lalu dan masa akan datang. Untuk apa? Ya, ya, ya… Untuk menjawab tantangan masa itu. Bukankah manusia itu mahluk yang brilian dalam hal meniru? Mencontoh adalah hak semua manusia. Hasilnya, takkan pernah sama dengan apa pun yang ditirunya. Namun ia telah bekerja keras dan berusaha agar nasibnya, lebihkurang sama atau tidak sama dengan tiruannya tersebut. Paham???

(Tertawa)
Sekarang, mari kita mengurai dan mencoba mempertanyakan secara kritis tentang masa kini dan di sini. Ayo, siapa yang mau mengatakan sesuatu tentang hari ini dari gunung peristiwa yang terjadi secara alami atau memang sengaja diciptakan manusia atas tafsir-tafsirnya?

(Berjalan ke arah penonton. Menarik satu orang ke panggung. Meminta orang itu untuk berkisah)

Cobalah untuk mengatakan sesuatu tentang peristiwa kemarin, hari ini, atau masa depan? Kau punya waktu untuk itu. Silahkan… Kami mendengarkan.

(Tertawa lagi)
Apakah kau merasa yakin bahwa uraianmu benar? Jika ya, kau terlalu santun untuk dikatakan wow wow. Jika salah maka kau terlalu bijak untuk disebut sebagai bla bla bla… Paham? (Menunggu). Paham tak paham, silahkan kembali ke tempat anda. Dan terimakasih atas apresiasi dan pendapat yang harus kita hargai dan maklumi bersama.

Baiklah, sekarang aku kembali meminta apresiasi semua yang ada di sini untuk merespon perkataan ku ini.

(Diam sejurus)
Aku ingin katakan, manusia hari ini tak lebih hina dari seekor anjing! Ada yang marah? (Menunggu) Atau ingin menyatakan sesuatu jika aku sebut kalian hanyalah kumpulan monyet! Kalian monyet yang malang! Tak punya daya kritis yang sexy. Monyet yang di kandangkan pikiran sendiri. Atau ku sebut kalian dengan, “dasar Anjing! Monyet! Babi!”

(Menunggu) Apa? Mau marah? Ayo, marahlah? Lampiaskan kebengisan kebinatangan yang tersembunyi dalam dirimu? Tak perlu segan, sungkan, atau apalah namanya yang pantas untuk kalian. Aku menunggunya dan siap mendengarkan dengan seksama! Sepahit apapun itu.

Kalian mau tahu alasannya, mengapa aku mengatakan semua itu? Ya? (Menunggu) Atau Tidak? (Menunggu). Ya, ya, ya… Baiklah, kalian memang seperti gerombolan binatang malang yang hidup di tanah harapan dengan menggenggam impian semu.

(Diam beberapa saat. Mulai menggigil, kejang-kejang, terbatuk-batuk, hingga muntah. Matanya terlihat seperti orang kerasukan jembalang).

(Bicara terbata-bata. Menangis dan tertawa bercampur aduk. Meracau).

Kita telah menjalani kehidupan zaman ini bersama. Kita adalah mahluk peniru ulung yang terpenjara dalam jalur-jalur purba. Kita mahluk yang teramat elastis, pleksibel, dengan emosi super labil. Kita terbagi atas kumpulan-kumpulan mahluk yang gemar bertikai, menghujat satu sama lain, menggunjing apa pun yang nampak, bahkan tak nampak nyata. Kita berada di jalur-jalur berbeda namun tetap berdekatan. Saling melihat, memperhatikan satu sama lain, saling ejek, sindir, mencemooh.

Jangankan dengan orang-orang yang berbeda jalur, bahkan ketika memutuskan untuk menapaki jalur yang sama pun, kita saling sikut siapa saja yang coba mendahului, kita rela menjatuhkannya sampai mati. Kita memang mati rasa. Persaudaraan hanya slogan palsu agar terasa terteman karena ketakutan pada kesendirian. Persahabatan dan perkauman hanya dijadikan permainan. Karena kita menyadari betul tak ada satupun manusia mampu hidup seorang diri. Saling memerlukan karena saling memberi manfaat, positif atau pun negatif sekalipun adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam hidup ini. Namun tujuan kita tak pernah satu, tak akan sama. Kita, generasi yang mewakili zaman ini, telah menjelma menjadi individu-individu yang beringas, namun rapuh. Mudah goyah, karena begitu kompleksnya peristiwa atas keinginan dan keliaran berpikir.

Hari ini, di sini, kita sibuk menyusun kalimat-kalimat, biar terkesan filosofis, bermakna, bernilai tinggi, hanya untuk satu kata, “Pembenaran”. Menyatakan diri, kelompok, kaum kitalah yang paling cerdas, tangkas, dan benar adanya. Sesuai dengan jalur pikiran-pikiran, dan tafsir yang diinginkan zaman. Kita seperti gerombolan Singa yang berkelana di hamparan padang ilalang, mengintai santapan yang melintas, atau memang menyediakan dirinya untuk di lahap bersama. Kita juga tak kurang angkuh seperti Hiena yang merampas milik binatang lain, Singa misalnya sebagai cara mudah mendapatkan makanan. Main keroyok! Ya, mereka mengumbar nafsu saat menyaksikan gelimang darah yang membasahi sekujur tubuh dan menetes ke tanah. Tidak sekedar merampas santapan Singa, tapi lebih dari itu, sekaligus menyantap dengan rakus Sang Singa yang kelaparan. Tak pernah habisnya. Tak pernah puas untuk mencapai puncak kesenangan palsu.

Kita telah menjelma menjadi makhluk-makhluk yang mencintai kerusakan, kehancuran sesama. Kita tak lebih seperti yang dinyatakan para Malaikat saat Tuhan hendak menjadikan Manusia sebagai pemimpin kefanaan. Kita tak mengenal mahluk yang dikatakan para Malaikat itu, tapi kitalah kepastian atas kelanjutan mahluk yang dikatakan para Malaikat itu. Paham?

Kita mahluk yang memelihara kemungkaran, khianat, dan dendam. Mencintai kemaksiatan, kebengisan, dan kerakusan. Senang pada kesesatan, keliaran nafsu birahi, serta saling berbagi keburukan. Seolah hanya untuk kitalah tanah ini dititipkan. Setelah itu –masa depan– hanyalah serupa khayalan. Generasi masa datang dibiarkan menentukan jalannya sendiri setelah kita membumihanguskannya, tanpa sisa. Ceroboh!!!

Kita mahluk yang suka mengeluh, mengutuk, memakihamun, dan tak sudah-sudah membumbui jalur gulita dengan energi-energi buta. Kitalah mahluk tak berbudi, mati rasa, tanpa nurani, dan tak hentinya bersenggama dengan nafsu nafsi duniawi. Kitalah kumpulan binatang-binatang pemburu yang menciptakan mesin-mesin pembunuh. Kitalah yang memanfaatkan energi yang terserak di muka bumi menjadi teknologi untuk meracuni kehidupan. Kitalah binatang jalang itu!!!

Kitalah mahluk yang gemar menzalimi, tapi merasa sebagai pihak yang paling terzalimi. Menuduh sesuka hati perut bahwa orang di luar diri dan kelompoknya sebagai penjarah, penjajah, bahkan lebih keji sebagai penghianat. Kitalah orang-orang yang menghancurkan cermin, lalu merasa paling benar. Kita memaksa orang dan kelompok lain untuk bercermin. Karena di mata kita, mereka adalah sampah dunia. Tetapi kita tak pernah mengakui, bahwa kita tak lebih gelap dari mereka.

Kita paling hina. Papakedana dan mubazir pada kejahatan. Kita membenci kemiskinan. Apatahlagi kesederhanaan. Kita buruk. Rupa tak elok, hati tak jua diraba. Nurani penuh titik noda. Jalur apa yang telah kita pilih. Bagaimana mungkin untuk kembali jika pesona jalur ini tak pernah redup merayu. Membujuk kita dengan janji kesenangan semata.

Kitalah mahluk paling miskin. Paling rendah. Berlumur lumpur. Asyik menyumpah. Kitalah mahluk tak berhati perut. Penuh koreng. Kudis yang telah menjadi barah. Kitalah sumber kekejian yang lahir dari lubuk dusta. Kita adalah kita yang terlalu rapuh, meski tampak gempita.

Kita adalah mahluk purba yang selalu ingin terkesan modern. Beragama tapi tak ber-Tuhan. Ber-Tuhan tapi tak beragama. Ber-Tuhan dan beragama tapi mudah tergoda oleh silau dan pesona manusia. Suka menjebak diri dalam kelakar imajinasi, lalu menjadikannya gurauan hari-hari. Mengidolakan manusia melebihi Sang Pencipta.

Kita lebih senang membangun gedung-gedung hingga mengapai langit, ketimbang membangun keyakinan, mental, dan nurani. Sikap kita terlihat nyata saat membangun gedung-gedung yang tampak perkasa, menjulang ke angkasa. Masing-masing ingin paling tinggi, merasa agung, terhormat, dipuja-puji, sampai semua mahluk tak berdaya. Masing-masing tak ingin dikalahkan, tercampak, apalagi terkubur dalam kehinaan duniawi.

Kitalah wakil di muka bumi yang tak jua menyadari kita yang hakiki. Kitalah wakil yang berprasangka tanpa memahami siapa kita sesungguhnya. Kitalah wakil yang dininabobokkan jalur purba kedunguan. ~