[serpih catatan eksplorasi badan aquatika Dayun-Zamrud]
DAYUN Oiketai – Manu, setara zat yang menggoda dalam sejumlah kepercayaan primal. Sebutlah dalam tradisi Hindu, juga era Mesir Kuno, Mesopotomia, dan menjalar paling tidak dalam elakan kecil Monisme. Inilah beberapa serpihan pengkisahan naskah yang berjahit-jahit dalam kelambu kosmologis orang Dayun sempena riset Sosial yang dipimpin Prof. Dr. Yusmar Yusuf bertajuk: “Lansekap Tradisional-Progresif Komunitas Aquatik Kluster Dayun-Zamrud [Etika Kosmologis, Islam Tradisi, Gender dan Kemodernan]. Riset ini diampu lewat DIPA LPPM-FISIP Unri.
Pukul 04.00 Sang Penghulu [Kepala Kampung] Dayun tampil energik, sporty, gesit dan macho. Jarak dari Km Nol Kampung Dayun ke badan air primal bernama Zamrud atau Tasik Atas sekitar 30 Km. Pilihan jatuh pukul 04.00 subuh lewat dinihari. Menerobos hutan legam Zamrud yang masuk dalam kawasan eksplorasi Chevron untuk eksploitasi minyak bumi. Zamrud memang tanah nirmala, tanah juwita. Di sini secara sengaja pula diperlukan akhlak kemakhlukan yang juga super juwita dalam pola mendatangi ruang-ruang mysterial serba tak terduga. Di sini berlangsung “percandaan kosmis” yang siap diayun mengikuti selonsong waktu vulgar dan waktu sejati seturut degub jantung para pengelana [penduga].
Pukul 04.00 subuh, dengan beban. Bukan perjalanan ringan. Bersuluh efek cahaya langit. Membawa rombongan manusia perkotaan. Jumlah kru media televisi yang begitu rimbun, hanya beberapa orang yang bisa ditampung dengan moda angkut perairan [boat dan sampan kecil] untuk menuju titik dangau dengan seorang penghuni perempuan tua [ibu Cor]. Tiga teratak lainnya dijadikan sebagai selasar pengering dan pemanggang ikan-ikan danau untuk diawetkan. Di sini disapa dengan sebutan ikan salai. Moda tradisi pengawetan biota air tanpa zat pengawet. Bu Cor bertetangga pula dengan seorang lelaki paruh baya di dangau sebelah. Dia lah Jasa asal Sungai Rawa Kecamatan Sungai Apit.
Rombongan kru dari sebuah TV swasta nasional itu harus tiba di dangau Bu Cor menjelang shalat subuh tiba. Penghulu Nasya Nugrik anak jati Dayun bertindak selaku pimpinan ekspedisi di dalam temaram dan gelap-legamnya dinihari berbingkai kerumunan bebunyian makhluk nokturnal di kawasan rawa. Seluruh kru harus selamat tiba di dangau tujuan. Perjalan melintas kelam berlangsung 40 menit dalam gaya menerkam kelam. Tak boleh ada suara. Bisa-bisa suara berisik yang keluar dari mulut manusia, malah membangkitkan hewan-hewan yang tersungkur mendengkur dalam mimpi-mimpi hewaniah bernama harimau, beruang madu dan berjenis hewan melata lainnya. Ini hutan perawan Sumatera. Bukan hutan di Jawa yang sudah diperkaya dengan sejumlah garis tracking yang memudahkan para pejalan kaki ekspedisi.
Bersua dengan Bu Cor di dangau muram dan masygul di sisian danau nan permai seraya menggantung rekah rembulan di langit danau/ tasik pulau besar. Inilah danau Zamrud. Kilau permukaan airnya yang legam bak permata Zamrud. Bak legam beludru sebagai meninting malam menghampar di atas perut pertiwi, Siak tanah Sultanat. Menyigi cahaya rembulan purna. Ada bulan di langit dan ada bulan di paras danau. Ada gemintang yang terbit di puncak langit, ada “cahaya” gemintang yang terjun ke muka danau.
Paras muka air danau dibalut embun, pawana lembut mengelus ubun-ubun embun. Permukaan air terasa hangat. Meruyak suasana fascinatum [mempesona] sekaligus tremendum [menggerun dan mendebar]. Sedikit mencuri dan mencegat ide Mircea Eliade. Di sini terbit relasi “istana hati” dengan kemuncak langit bagi seorang Penghulu yang sudah dua periode memegang amanah orang sekampung. Diksi “penghulu” itu sendiri diambil dari kaidah Melayu: “Seseorang yang pertama kali diamanahkan memegang “hulu” parang atau alat penebas dan tetak tetau untuk membuka sebuah negeri”. Nasya Nugrik, bukan penghulu culun. Dia seorang sarjana Ilmu Pemerintahan dengan status mahasiswa penuh waktu [full timer] FISIP UNRI. Kemudian lanjut ke program Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Islam Riau. Sosok Penghulu gaul, rendah hati dan humble [ramah]. Siap berdialog dan berdiskusi dengan siapa dan suasana apa pun.
Tujuan rombongan ini? Ya, menyibak subuh. Mencuri matahari lewat peristiwa terbit merekah [sunrise]. Sebelum itu semua, kumandang adzan subuh pun tiba. Nugrik sang Penghulu bertindak selaku imam. Berwudu di atas permukaan air danau, memberi ketaksuban dan kesyahduan spiritualitas tersendiri. Berimam dan bermakmun di bawah atap lelangit tepian danau memberi degup “percandaan kosmis” yang menikam ke dalam relung.
“Saya yang memimpin shalat subuh di atas papan sepihan dangau yang menghadap ke paras muka air. Shalat khusyuk. Ya, khusyuk dalam versi para penduga dan pengelana muka bumi. Ketika tiba pada bagian ruku, mata sang imam tertumpu pada dua sembulan di ujung papan pelantar, batas papan dan muka air danau. Dua sembulan itu berkilau mengarah ke wajah imam. Syahdu, degub primordial, ketakutan, taqwa, kebimbangan beradu dalam gerak shalat yang mulai membuyar. Tapi, diampu terus prinsip khusyuk dan kehusyukan itu dengan: “Ketidak-khusyukan, itulah kekhusyukan”.
Dua sembulan aneh dan berkilau itu adalah sosok mata biota air tawar ganas: Buaya. Dalam degub dan racau kelindan tugas ilahiyah yang dibebankan dalam gerakan shalat, menjadi pemacu untuk melanjutkan ke gerakan selanjutnya: sujud. Jika tidak sujud, maka jamaah di belakang selaku makmum, akan berhamburan memecah subuh senyap tepian Zamrud.
Manu, dihayati dalam tradisi agama-agama primal. Manu, selalu berubah maujud, sejak dalam tempelan makhluk langit, bisa pula menyerupai sejumlah kenangan dan keinginan di dalam diri. Namun, tak sedikit pula menghadirkan sejumlah “sibuk” penanda “hidup” dalam majelis “anime” [kesibukan dan pertanda hidup]. Hari ini hakikat anime itu beringsut kecil seakan bermakna “hewan” atau penampakan “haiwan/ binatang”.
Bu Cor, hidup di atas pelantar dangau itu, bertahun-tahun dalam gelungan jumlahan purnama tak terkira. Bu Cor secara sabar dan rajin melemparkan makanan ke bawah pelantar, segala jenis daging yang menjadi santapan sang buaya, bak penunggu ketenteraman biota air bernama buaya. Fase memberi makan buaya itu, dilakukan secara teratur dan ringkas sekaligus rileks. Tanpa beban. Dia bagian dari “hidupan” liar yang menyatu dengan Bu Cor.
Sang Penghulu mengerti segala ihwal yang berkelindan dengan “mite-mite” anime dalam ruang legam beludru ranah Zamrud yang berdimensi jamak [aquatika dan terestrial/daratan punggur]. Di sini, harus datang dengan “hajat” singular alias tunggal. Jika Anda hendak mengambil ikan, ya sauklah. Ambil dan masaklah. Ini wilayah aquatika dengan segala jenis hidupan [biota] airnya. Jangan berfikir untuk menjerat burung, menangkap pelanduk atau hewan-hewan terestrial, termasuk pula hewan-hewan avian [terbang].
Pada waktu yang lain, datang lah dengan nawaitu yang satu: mengambil hewan-hewan avian. Jangan berfikir dan terprovokasi untuk bercanda dengan makhluk kosmis yang ada di badan air dan terrestrial. Sudah… inilah imsak kebudayaan yang dilakoni orang-orang Dayun ratusan tahun lalu hingga kini.
Bu Cor juga memberi ruang pelipur lara. Dia jadi model di subuh sentak itu, berkayuh dari tengah danau, menuju teratak rapuh dan murung. Kayuhan dayung mungil, lenggok lengan yang dah mulai rapuh dalam sorotan cahaya blitz camera para kru TV Swasta Nasional tepatnya CNN Indonesia. Clip ini malah dijadikan penggiring adzan maghrib di TV itu. Cahaya sunrise dalam makna terbalik, seakan-akan matahari terbenam [sunset/ coucher du soleil].
Orang-orang Dayun merengkuh hidup dalam ruang-ruang islam tradisi, namun bersedia masuk dalam majelis sorak kemodernan yang tak kaku. Mereka memaklumi segala tarik nafas hukum alam dan adat hidup: Adat muda merindu-rindu, adat tua menanggung ragam”. Tradisi suluk selama satu purnama berjalan molek di tepi badan-badan air. Bercanda bulan, bintang dan matahari rebah dan menangkup rindu spiritual. Tak sendiri, Penghulu berbagi kayat dengan juru kunci danau Zamrud bernama Ahmad.
Ahmad juga demikian, tetap menjalani ritus-ritus utama sebagai pemeluk Islam di tengah kepungan rimbun legam hutan tropis dan perairan zamrud yang memukau. Robi Armilus, Risdayati dan Teguh Widodo adalah tim peneliti yang terlibat langsung dalam pendalaman data yang dibantu tiga orang mahasiswa Sosiologi yang akan menyelesaikan tugas akhir. Sementara tim peneliti Resdati dan Syamsul Bahri menggeluti pengolahan data lapangan dan elaborasi teoretis juga triangulasi. Riset lapangan berlangsung sejak tgl 17-21 September 2024.
Secara progresif, Nugrik sang penghulu mampu menabalkan diri kampung ini pada tingkat nasional. Pada hari ini [Selasa 17 September], dia harus tampil di Jakarta di depan panel juri yang terdiri atas Gurubesar dan penggiat lingkungan, para birokrat dalam sesi pendedahan Dayun sebagai Desa pilihan terbaik Nasional dari Provinsi Riau. Manusia aquatic, membuktikan bahwa tak selamanya manusia hidup dari badan-badan air. Ada kala dan ketikanya, manusia pula yang bertugas “menghidupi air”. Posisi kampung Dayun dan segempita manusianya adalah kampung dan orang-orang yang sudah tiba pada arasy “pemanenan air”. Desa atau kampung “yang menghidupi air”. Bukan desa atau kampung yang hidup dari air. Di sini, Dayun datang dalam semangat “water harvesting”. Dayun yang “memanen air”. RO/yy