May 17, 2025
WhatsApp Image 2024-09-17 at 8.18.05 PM

OIKETAI – Wangi bunga, cuma menyebar ke arah angin. Sebaliknya, keharuman mereka yang menekuni hidup berlandaskan kebajikan, menyebar ke segala arah” [kutipan dari Dhammapada]. Dan, … nama Bu Cor begitu harum di segara danau putik rawa berjuluk Zamrud. Kehilangan, jadi penanda kehadiran liyan penakluk danau/ tasik.

Bu Cor, seorang perempuan rapuh, kini bak kilas kenangan sepanjang “waktu sejarah” dalam relasi cinta dengan biota air dan segala ragam hidupan liar benua rawa kawasan Zamrud. Kekuatan yang tak kasat mata laksana matahari sekaligus hantu. Naluri kematian dan cinta ialah “daya hidup’ [vita activa] bagi kelangsungan makhluk bumi. Melanie Klein adalah sosok yang “membunuh” hari-harinya untuk menukil naluri cinta dalam lorong studi nan panjang.

Klein berkata; “desakan pertama kemampuan untuk mencinta adalah memberi “ucapan terimakasih” ke atas segala hal yang dianggap mustahak dan penting untuk diketahui apakah mengandung sesuatu yang baik [good] dari seseorang dan diri orang lain. Tak terkecuali makhluk-makhluk partisipatoris yang menggenapkan kehidupan kita segulung gelungan ekosistemik.

Kemampuan untuk berterimakasih ini muncul dari pengalaman “good breast” [masa penyusuan yang baik] dengan tugas utama memenuhi rasa lapar dan haus dari seorang anak [bayi]. Menggenapi  rasa lapar, haus dan kantuk, terhubung dengan tema keberlimpahan yang menjadi batu susun prototype dari kerimbunan pengalaman yang mengiringi kenyataan bahagia dan kenikmatan [jouissance].

Setelah kehilangan fisikal Bu Cor dari muka bumi, terkhusus ruang kehidupan bernama danau Zamrud, hewan air, buaya [yang pernah mencegat jamaah shalat di atas pelantar], yang sehari-hari menemani perempuan renta ini, tak pernah muncul lagi hingga kini. Dangau yang ditempati Bu Cor berganti penghuni. Lengan ramah yang  senantiasa menjulurkan potongan-potongan daging untuk santapan buaya di bawah pelantar, tak lagi wujud. Bu Cor telah sirna.

Pergi untuk selamanya. Dua makhluk ini menjalani tugas-tugas “kemiripan misteri”. Ya, laksana avatar di antara satu sama lain. Perempuan renta itu menjalani fase dan tugas “penciptaan” yang ditimpakan kepadanya. Lalu, si buaya berstatus soulmate langit bagi Bu Cor. Buaya pun ikut sirna dari edaran kehidupan lingkungan dangau dan danau. Ini jenis tasik “perempuan”. Mereka perlambang gigantis kualitas feminine yang merawat dan mengelon.

Kelincahan tarian “bintang-bintang” Bu Cor dan seekor buaya dalam perlambangan langit nan sayup itu, telah selesai. Ya, usai sudah. Tuntas perannya. Lalu, dia hinggap dan mengepalkan dirinya menjadi kisah-kisah yang disauk-sauk dalam kelindan cerita rakyat. Bu Cor itu sendiri legenda di ruas permukaan air danau.

Seorang rekan wartawan dari Kantor Berita Antara, pernah hinggap sejenak di dangau mungil Bu Cor ini pada suatu ketika. Ya, menjelang maghrib. Dia pernah terserobok dengan gerakan air yang berpusar di bawah pelantar dangau. Lalu dia bertanya dan melihat sosok makhluk buas itu. Taksub, takut dan takzim, bergumpal dalam diri. Ada cinta dan naluri kematian yang hinggap dan memenuhi rongga dangau sonik tepian danau.

Klein meneruskan bahwa kemampuan mencinta, bukan hanya instink dasar makhluk [Freudian], namun sekaligus merangkap laksana”aktivitas primordial dari ego” alias bawaan asali entitas. Lewat cinta, segala ihwal terhampar di alam raya. Tersebab Cinta [C-besar] dari Tuhan yang melebihi amarah-Nya [dengan c-kecil], semesta jagad ini tercipta dalam hukum keteraturan dan “ke-berterimakasih-an” di antara sesama obyek alam dan subyek alam.

Sisi ontologis tasawuf mengisyaratkan bahwa “wujud” itu milik Tuhan, maka “adam” [ketiadaan] adalah ‘milik’ alam. Sementara itu, manusia adalah ikhtisar dari alam semesta itu sendiri. Cinta melampaui akal. Di depan cinta, akal digantung. Di hadapan cinta, akal membeku dan layu.

Bagi Julia Kristeva, “Cinta adalah hukuman mati yang menjadikan diri saya ada”. Dalam cinta, lanjut Kristeva, ada ideasi; sosok ideal. Dan,… ideal itu adalah sebuah kekuatan yang membutakan. Bagi Romeo, Juliet adalah sosok ideal yang membutakan. Begitu pun Laila bagi Majenun… Naluri kematian menggenapkan cinta ideasi antara Laila dan Majenun, antara Romeo dan Juliet. Rongga yang sama, apakah antara Bu Cor dan segala hidupan buas biota air?

Tersebab cinta pula, Ahmad sang juru kunci legam hutan dan kemilau beludru danau Zamrud, kerap pula menunai shalat di tengah danau. Berdoa dalam degub dan rindu, sekaligus kumat kian mengecilkan hadirat di tengah gergasi alam raya. Tersebab, cinta ikatan relung kesuma sedimentasi “mabuk spiritual” mendorong penghulu muda menukil jalur langit dan menebuk subuh walau ayat-ayat ku  belum sebatas Allah [minjam Puisi “WALAU” dari Sutardji]…

Ah… sudahlah!!!

Catatan mini Yusmar Yusuf sekuak dayung di Tasik Pulau Besar/Zamrud