May 17, 2025
Stout-Beer-India-1-1600x900

Ilustrasi: ifestyleasia.com

Oleh Bambang Putra Ermansyah

(Cerita ini merupakan penceritaan dari, dan terinspirasi oleh, lirik lagu  Kan Biiru / 缶ビール yang ditulis oleh Tomomi Ogawa)

Aku duduk bersandar di kursi plastik ini, sebagaimana malam-malam sebelumnya, menatap sekaleng bir yang tergeletak diam di kulkas. Kau tahu? Aneh sekali. Bagaimana benda mati seperti sekaleng bir murahan bisa bermain peran sebagai saksi yang paling bisu, tapi juga paling keji. Semakin lama aku tatap kaleng bir itu, ia seperti mencemoohku, seperti menertawakan kesunyian di apartemen sempitku. Kaleng bir itu tidak sadar diri. Dia sebenarnya tidak jauh berbeda denganku : tak terpakai, terabaikan, dan perlahan Kadaluwarsa.

Kadaluwarsa.

Kata yang kerap terdengar, sering dibaca. Tapi akhir-akhir ini maknanya menjadi lebih menyakitkan bagiku. Kadaluwarsa berarti habis masa pakai, selesai, tiada guna lagi. Mungkinkah itu nasibku juga? Kadaluwarsa.

Aku tertawa pelan. Cicak, saus tomat, handuk, dan botol air mineral menatapku dengan rasa iba, atau mungkin rasa geli. Entahlah. Mungkin aku sudah sinting, mungkin juga tidak. Tapi apa bedanya? Toh kewarasan dan kesintingan hanya dipisahkan oleh benang tipis yang bernama norma. Tak jadi soal lah itu. Aku kembali menatap sekaleng bir yang kau tinggalkan di kulkasku.

Jika aku bercerita pada teman-temanku, aku yakin mereka akan menyuruhku untuk membuang sekaleng bir murahan itu, atau meminumnya saja sekalian, atau lebih baik lagi—melupakanmu. Tapi mereka tidak mengerti. Mereka tidak tahu bahwa sekaleng kecil bir ini adalah satu-satunya yang mengingatkanku pada kenyataan, dan di saat yang bersamaan mengikatku pada kenangan. Kenangan tentangmu, tentu saja. Tapi lebih dari itu, kenangan tentang siapa aku sebelum semua ini terjadi.

Jika aku mencoba menengok ke pintu kamar, aku yakin bahwa aku masih bisa melihatmu berdiri disana. Seperti malam itu. Aku masih bisa melihat air matamu yang perlahan jatuh, tapi suaramu tenang, sebagaimana biasanya. Kau tak pernah meninggikan suaramu. Kau membisikkan kata-kata yang bahkan aku sudah lupa apa itu. Kau memintaku untuk mendengarkan, sedikit memohon malah, tapi aku menolak. Suaramu seperti suara statis radio, tak tertangkap olehku di tengah kerumunan pikiran yang sengaja aku rumit-rumitkan.

Kau tahu, aku masih sering bertanya-tanya apa sebenarnya yang kupikirkan saat itu. Apa yang aku inginkan? Apakah aku memikirkan kebebasan? Apakah aku menginginkan bagaimana rasanya kembali hidup tanpamu? Atau mungkin aku hanya memikirkan bagaimana caraku untuk menghindar, mendorongmu menjauh dari segala kerumitan yang pernah bisa aku kembali ingat. Kau tersedu, tapi aku tidak peduli. Kau mengatakan beberapa kalimat ditengah sedu sedanmu itu, yang terus aku abaikan namun sekarang sangat ingin aku ingat. Dan ironis sekali, Tuhan memang Maha Bercanda. Kini akulah yang menangis tanpa henti. Sampai mataku membengkak. Sampai lupa creambath. Oh, betapa aku merindukan creambath di salon yang biasa, dengan kau mengantarku sebelum pergi entah kemana. Menjemputku 5 menit sebelum selesai. Kamu adalah creature of habit, ya. Tapi kini aku sedang sibuk. Sibuk menatap sekaleng bir yang kau tinggalkan di kulkasku.

Aku melihat dengan malas kamarku. Lampu di pintu masuk sudah lama mati, tapi aku terlalu malas, terlalu tidak berdaya untuk mengganti bohlamnya. Aku sudah berusaha mencoba menggantinya. Dengan kikuk berdiri di atas ujung jari kakiku, agar menambah tinggi badanku beberapa centi, sambil meraih langit-langit yang terlalu tinggi, dan aku gagal. Betapa bodohnya, hanya untuk mengganti sebuah bohlam lampu saya terasa seperti tugas yang pelik. Semenjak saat itu aku merasa harus berdamai dengan kondisi tersebut sebagai sesuatu yang akan melekat di keseharianku—kegagalan. Karena sesungguhnya ini bukan soal bohlam lampu, tapi ini lebih ke soal diriku sendiri. Semua telah mati. Aku mati. Kita, sebagai yang plural, mati. Hidupku seperti cahaya lampu itu, awalnya meredup, kemudian berkedip-kedip, kemudian padam. Tak tersentuh.

Kamar ini, apartemen ini, semakin lama semakin berantakan. Dulu aku menyukai semuanya rapi, bersih, dan wangi. Sekarang, untuk mengisi ulang pengharum ruangan pun aku tak lagi peduli. Buku menumpuk di sudut sana, pakaian menggunung di kursi, dan barang-barang lainnya tergeletak tanpa aku pedulikan di setiap sudut, seperti mayat-mayat dari sosok yang tak aku kenali. Setiap benda di sini menyimpan ceritanya sendiri, tapi ceritanya tak penting lagi. Kaus yang kau tinggalkan masih aku biarkan tergeletak di kaki sofa, seolah menunggu kau pungut. Aku bagai hidup di tengah reruntuhan, di dalam kekacauan ini.

Pikiran ini datang dan pergi seperti gelombang pasang, memberi jeda namun pasti akan kembali. Siang dan malam tak lagi bisa aku bedakan, ia hanyalah yang membedakan antara kesadaran pudar dan mimpi buruk. Aku lelah. Aku bermimpi tentangmu hampir setiap malam—tapi apakah itu benar-benar mimpi, atau pantulan dari hari-hariku yang kulalui tanpa arti? Kadang-kadang, aku tak bisa membedakan lagi. Dalam setiap mimpi itu, kau selalu datang dengan langkah congkakmu yang biasa. Kau datang, kau tersenyum, lalu kau pergi, meninggalkanku dalam kekosongan yang selalu lebih sepi dari sebelumnya. Aku akan terbangun dalam perasaan yang hampa, menangis sambil tertawa. Merasa dengan penuh rasa syukur yang membingungkan, bahwa hadirnya kau di dalam mimpiku terasa lebih nyata daripada apa pun yang terjadi padaku di siang hari yang selalu lebih singkat.

Besok adalah hari libur. Aku ingat dulu kita selalu menantikan hari libur. Hari di mana kita bisa menghabiskan waktu bersama tanpa beban. Menyisihkan dulu segala sebab dan akibat dari ruh-ruh zaman yang sudah mulai membusuk. Tapi tanpamu, aku merasa hari libur tak ubahnya seperti kutukan. Sartre bohong ; yang mengutuk kita bukanlah kebebasan, namun hari libur. Sekarang hari libur tidaklah lebih dari sekedar hari tanpa gangguan, tanpa alasan untuk merangkak keluar dari tempat tidur, tanpa perlu menjalankan rutinitas perduniawian.

Anjing.

Betapa bencinya aku dengan hari libur.

Mungkin aku harus membuka kaleng bir itu besok. Minum sembari bersulang untuk diriku sendiri yang telah mati bersama kepergianmu. Aku akan menenggak sekaleng bir itu, teguk demi teguk. Menenggelamkan diriku dalam rasa pahitnya yang seringkali membuat tenggorokanku tercekat, berharap bahwa setiap tegukan akan menghapus sedikit demi sedikit bayangmu.

Namun untuk seorang gadis yang terlalu bodoh untuk memahami apa yang dibicarakan Kant dalam buku-bukunya mengenai akal murni kepunyaanmu itu pun, aku tetap tahu bahwa itu hanyalah omong kosong. Tidak ada yang bisa menghapusmu. Kau ada di mana-mana—di dalam setiap benda, di setiap sudut, di dalam pikiranku yang kusut, di dalam mimpi buruk, dan dibalik setiap kata. Kau selalu ada.

Ada masa-masa di mana aku berpikir, bahkan yakin, bahwa aku tak pernah benar-benar mencintaimu. Bahwa kita hanya menjalani sebuah kebohongan, sebuah tragedi yang selalu enggan untuk kita akui. Kau pernah mengatakan, “Jika cinta kita hanya setengah-setengah, maka seluruh pelukan kita ini sesungguhnya tak pernah berarti.” Aku benci kata-kata itu. Entah karena kebenaran yang terkandung di dalamnya, atau karena “setengah-setengah”. Setengah-setengah. Seakan kita bisa mengukur cinta dengan takaran yang jelas, seakan-akan ada garis yang memisahkan cinta yang sejati dan cinta yang palsu. Seakan ada kualitas sensori yang bisa menakarnya. Lagipula, apa yang kau tahu tentang cinta? Juga, apa yang aku tahu tentang cinta? Mungkin memang pelukan kita tak pernah berarti. Mungkin memang kita hanyalah dua orang asing yang mencoba saling menggapai dan menggenggam dalam kehampaan yang inheren. Mungkin seperti itu. Lalu kalau seperti itu, memang kenapa?

Ah, sudahlah. Pikiran ini seperti anjing yang terus mengejar ekornya sendiri, tak akan pernah selesai, tak akan pernah terpuaskan. Aku sudah lelah berpikir, namun pikiran itu menolak untuk pergi. Sama seperti kau, yang selalu menolak pergi dari pikiranku.

Lampu di pintu masuk masih mati. Aku tak tahu sudah jam berapa sekarang. Tapi aku tahu hari sudah malam. Dan aku kembali duduk di sini, meringkuk di kursi dengan selimut kusut yang baru aku ambil dari tempat tidur. Aku kembali menatap sekaleng bir yang kau tinggalkan. Aku tahu aku harus tidur, tapi bangun tidur akan membuatku merasa lebih lelah. Dan jika aku lelah, maka siapa yang akan menahan rasa sesak yang menghimpit ini? Kau sudah tak disini lagi kan? Lagipula, aku mulai takut untuk memejamkan mata sekalipun hanya sebentar saja. Aku takut mimpi akan kembali membawa bayangmu. Namu aku juga takut jikalau dalam tidurku malam ini, kau tak lagi menghampiri mimpiku. Saat itu terjadi, aku akan benar-benar kehilanganmu—dan aku merasa belum siap untuk itu.

Aku sudah bilang belum? Besok adalah hari libur, dan aku mungkin akan membuka kaleng bir itu. Mungkin juga aku akan membiarkannya membeku sedikit lebih lama? Membiarkannya Kadaluwarsa dalam kulkas.

Lampu di pintu masuk sudah mati.

Oh aku sudah bilang itu ya tadi?

***

Aku menatap sekaleng bir yang aku genggam di tanganku, dengan jari-jariku yang kaku. Rasa dinginnya terasa menusuk kulit, namun aku sudah terbiasa untuk mengabaikannya. Aku sudah lama mengabaikan rasa apa pun. Aku mengernyitkan dahiku, berusaha mengingat bagaimana sekaleng bir ini bisa sampai di tanganku—apakah aku menemukannya di pojok lemari es, terapit tersembunyi di antara sisa-sisa makanan. Aku berusaha mengabaikan impulsku untuk mengingat lebih detail kenapa aku bisa menggenggam sekaleng bir ini— aku lebih berfokus mengenai betapa miripnya diriku dengan sekaleng bir ini. Terlupakan, insignifikan, tapi tetap ada, setidaknya sampai waktunya untuk Kadaluwarsa.

Aku mengerang. Aku tak tahu apakah suara erangan tersebut keras atau hanya semacam bisikan. Aku tak terlalu mempedulikan hal seperti itu. Kemudian aku membuka tutup sekaleng bir itu, mendengarkan suara mendesis yang pelan saat gas yang tergenang di dalamnya melarikan diri dari dalam kaleng tersebut. Suaranya seperti sebuah ledakan kecil, kau bilang. Aku baru menjawabnya kini, tanpamu; suaranya seperti kehidupan yang sekarat, ku bilang. Rasa pahit dari sekaleng bir tersebut mengalir di tenggorokanku. Dalam setiap teguknya, aku berdo’a kepada Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, agar segenap jiwa yang tersisa dariku bisa terhapus kepedihannya. Tapi aku tahu, itu sia-sia. Allah tidak akan sudi mengabulkan pinta yang dibisikkan dari sela-sela tegukan sekaleng bir. Setidaknya begitulah yang aku simpulkan dari ceramah yang baru aku dengar di Youtube. Rasa pahit itu pada akhirnya hanyalah pelarian semata, sementara kenyataan masih menunggu di sudut, siap untuk menghantamku kapan saja.

Aku tertawa getir. Hampir terbahak-bahak, kalau saja aku tidak khawatir aku akan terjatuh dari kursiku. Lucu, bukan? Aku yakin kau sedang berada di apartemenmu, mungkin sedang sibuk dalam pekerjaanmu, atau dalam pelukan kekasihmu. Yang jelas tetap pada ketidakpedulian yang sama dengan yang kau perlihatkan pada pertemuan terakhir kita. Sementara aku di sini, meneguk sekaleng bir seolah-olah ia bisa menyelamatkanku. Kau meninggalkan segalanya. Aku pun begitu—aku meninggalkan segalanya—dan entah kenapa, dalam momen keterjarakan seperti ini, aku justru merasa kita masih terhubung. Sebuah ilusi bodoh, tentu saja. Tapi tak apalah. Toh, apa yang tersisa selain ilusi? Ilusi dan jarak, itulah hidup kita sekarang. Aku hidup dalam kenangan tentangmu yang tak pernah mau mati, meski kita sendiri, sebagai yang plural, sudah lama mati.

Aku kembali menenggak sekaleng bir ini. Sembari bertanya apa yang sebenarnya aku cari dari cinta, ya? Kebebasan? Kelengkapan? Kebahagiaan? Atau sekadar pelarian dari kehampaan yang terus menggerogoti diriku? Dulu aku berpikir bahwa cinta akan menyelamatkanku dari diriku sendiri. Dari kesendirianku sendiri, lebih tepatnya. Bahwa denganmu, aku bisa menjadi sesuatu yang melampaui sekadar diriku semata. Aku bisa menjadi utuh. Tapi sekarang, setelah semuanya berakhir, aku menyadari betapa bodohnya pemikiran itu. Dan betapa merasa berdosanya aku sudah membebanimu dengan tugas yang selayaknya hanya dikategorikan sebagai tugas Kenabian itu. Tidak ada yang bisa menyelamatkanku dari kehampaan selain diriku sendiri—sekalipun aku menemukan bahwa misi penyelamatan diri ini jauh lebih mustahil lagi.

Aku mengerang lagi. Kini aku merasa sedikit lebih pasti bahwa suaraku cukup keras untuk membangunkan tetanggaku. Tanganku menggapai-gapai, berusaha mencari gawaiku untuk melihat sekarang sudah jam berapa. Aku tak bisa menemukannya. Ah, masa bodohlah. Yang aku tahu kini sudah malam. Aku menenggak bir lagi.

Dengan tenggakkan itu, aku sungguh berharap kelupaan menghampiri kesadaranku. Lupa akan segala sesuatu yang pernah kita bicarakan, setiap janji yang pernah kita ikat, setiap harapan yang pernah kita gantungkan. Semua itu kini terasa tak lebih dari ilusi yang jauh dan mengada-ada, seperti serpihan-serpihan mimpi yang terburai dalam kekacauan kosmik yang tidak peduli.

Kau tahu?

Di satu sisi aku lega saat semuanya berakhir. Kita akhirnya berhenti untuk berpura-pura. Berpura-pura bahwa kita saling melengkapi, berpura-pura bahwa kita saling memahami. Namun kekosongan yang kutemukan setelah tanpamu jauh lebih menyesakkan daripada yang selama ini aku antisipasi.

Dulu, kau percaya bahwa cinta itu seperti cermin. Kau melihat dirimu di dalamnya, tapi dengan cara yang berbeda—lebih indah, lebih baik, lebih lengkap. Aku menertawakanmu. Tapi sekarang, siapa yang tertawa? Setelah semua cermin itu pecah, aku bisa melihat diriku yang sebenarnya: seorang diri, mencari-cari sisa-sisa keberadaanmu.

Di kota ini, semuanya berjalan seperti biasa saya ya. Orang-orang masih berlalu-lalang sebagaimana biasanya, mobil-mobil berderum lewat dengan meninggalkan kepulan asap sebagaimana lumrahnya, dan lampu-lampu jalan masih berkedip dalam ketidakpeduliannya. Apakah mereka tahu? Apakah mereka juga merasa seperti ini? Disekap oleh semesta yang tak pernah peduli? Atau mungkin mereka semua adalah aktor yang pandai memainkan perannya masing-masing? Menutupi kehampaan yang mereka rasakan dengan senyum palsu yang mereka sunggingkan dalam rutinitas semangat zaman yang sudah membusuk? Aku telah kehilangan kemampuan untuk berpura-pura. Kemampuan itu sudah kau curi sesaat sebelum aku melangkah keluar untuk terakhir kalinya dari apartemenmu. Kini aku hanya bisa menatap sekaleng bir ini, merasakan kehancuran di setiap tegukan.

Ah, aku jadi ingat. Kau ingat? Bagaimana kita dulu berbicara tentang masa depan. Tentang rumah minimalis yang akan kita bangun, tentang anak-anak yang mungkin kita miliki, tentang perjalanan yang akan kita lakukan bersama. Semua itu sekarang terasa seperti omong kosong belaka ya. Kenangan yang seharusnya terwujud menjadi indah itu kini hanya terasa seperti beban yang menekan dadaku setiap kali aku teringat akannya. Kenapa ya semua itu bisa lenyap begitu saja? Bagaimana bisa sesuatu yang dulu terasa begitu nyata, sekarang seakan menjadi bayangan yang tak lagi bisa kupercaya?

Dan cinta. Kata itu terasa asing sekarang. Untuk ku dengar, untuk ku ucap. Sepertinya cinta tidak pernah benar-benar ada, ya? Itu tidak lebih dari sekedar konsep yang kita ciptakan untuk memberi arti pada kekosongan hidup kita. Kita merangkai kata-kata indah, menciptakan momen-momen, hanya untuk menyadari bahwa semuanya hanyalah kerapuhan yang tak pernah bisa bertahan lama. Cinta hanyalah pelarian dari realitas yang tak ingin kita hadapi. Kemudian ketika kita mulai lelah berlari, kita kembali terjebak dalam kekosongan yang dahulu, saat kita belum bertemu, namun lebih dalam dari sebelumnya. Atau mungkin itu hanyalah berlaku pada “cinta” antara kita?

Aku kembali menenggak sekaleng bir yang berada dalam genggaman tanganku, kali ini lebih banyak, berharap rasa pahit yang berhamburan di kerongkonganku itu akan menghancurkan sesuatu yang selama ini kutahan, entah apapun itu. Mungkin rasa bersalah, mungkin rasa kehilangan, atau mungkin hanya rasa malu. Malu karena aku tak bisa memperbaiki apa pun. Malu karena aku tak cukup kuat dalam membuatmu yakin. Kau tahu? Kadang aku berpikir bahwa kau pergi bukan karena kau tak lagi mencintaiku, tapi karena kau lelah. Dan aku tak mungkin bisa menyalahkanmu untuk itu.

Dan kini aku di sini, sendiri, meminum sekaleng bir dengan merek yang sama sebagaimana yang sering kita nikmati bersama. Tapi rasanya berbeda. Segala sesuatu rasanya berbeda tanpa kehadiranmu. Dan itu membuatku berpikir: apakah semua ini benar-benar berarti? Apakah kita benar-benar pernah saling mencintai, atau kita hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu di waktu yang pas saja? Namun waktu berlalu. Momen akan selalu kadaluwarsa.

Biar bagaimana pun, kota ini terus berjalan, tanpa peduli pada apa yang kita rasakan. Dunia akan terus berputar, waktu akan terus merangkak dengan laju yang konstan, dan semesta tetap akan tidak peduli. Karena kita hanyalah titik-titik kecil yang akan terhapus dari sejarah, cepat atau lambat. Siapa yang akan peduli pada cerita kita? Siapa yang akan mengingat kita, sebagai yang plural, ketika segalanya akhirnya berakhir? Aku tak bisa menahan diri untuk menyimpulkan bahwa kita hanyalah debu yang beterbangan tanpa tujuan, tanpa memiliki arti, untuk kemudian terjatuh di tempat yang tak seorang pun akan, atau perlu, melihat.

Aku menyelesaikan sekaleng birku dengan satu tegukan terakhir, menutup mata, mengernyitkan dahi sembari berharap agar rasa ini bisa membebaskanku, setidaknya untuk sementara. Tapi saat kubuka mata, dunia ini tetap sama. Dan aku? Aku masih terjebak di dalamnya, malah berusaha mencari sisa-sisa dirimu di dasar kaleng bir ini. Betapa kontra produktifnya aktivitasku malam ini.

***

Aku duduk di balkoni, memainkan boneka kesayanganku, Lily namanya. Setiap hari aku bercerita kepada Lily tentang apa saja. Angin malam hari ini cuku kencang, meniup rambutku sampai berkibar-kibar berantakan. Lily seolah tersenyum lebih lebar melihatnya. Dari balkoni, aku bisa melihat bintang bertebaran di langit malam dan mendengar suara klakson mobil di jalanan.

Sementara aku bercerita kepada Lily tentang pelajaranku di sekolah tadi, pintu balkoni sebelah tiba-tiba terbuka. Aku menoleh ke balkoni sebelah.

Seseorang muncul di sana. Dia berjalan pelan ke tepi balkoni. Dia berdiri di dekat terali rendah, kemudian memanjat naik ke atasnya. Ia menyadari keberadaanku. Aku memegang erat Lily, mataku terpaku pada sosok itu. Ia menoleh sebentar ke arahku, tersenyum tipis, samar. Senyuman itu terasa aneh, rasanya sepertinya tulus tapi tidak bahagia, tapi aku tak tahu kenapa bisa seperti itu. Lalu, sebelum aku bisa berkata apa-apa, dia merentangkan tangannya, seperti ingin terbang.

Kemudian dia lompat.

Aku hanya duduk diam, masih memegang Lily. ~

Bambang Putra Ermansyah

___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral. ~