
Ilustrasi: images-wixmp
Oleh Bambang Putra Ermansyah
Malam telah mengembangkan lengannya sepenuhnya saat Alfi memarkirkan mobil di teras kontrakan. Udara malam terasa dingin menusuk saat itu, namun seakan memadat sehingga memberikan sensasi pekat yang menyelusup di sela-sela desiran dedaunan dan ranting-ranting tua pohon di terasnya tersebut. Angin berhembus tidak terlalu kencang, namun cukup untuk mendorong lembut pepohonan, membuatnya bergoyang pelan dengan suara gemerisik yang entah kenapa terasa janggal. Alfi merapikan jilbabnya, sembari mengembuskan napas yang panjang dan sangat berat. Ia merasakan tubuhnya dibebani oleh keletihan yang asing. Ia baru saja pulang dari sesi wawancara paling aneh yang pernah ia lakukan di sepanjang kariernya sebagai jurnalis. Ia melirik sepatunya yang berwarna putih, namun kini sudah penuh tanah dan lumpur, sembari mengutuk pelan kebodohan dirinya yang sudah memakai sepatu ke sebuah desa yang letaknya di pedalaman Jawa Timur.
Alfi keluar dari mobilnya, menatap kosong ke arah lampu jalanan di luar pagarnya. Malam ini memang dingin, jarang-jarang Jakarta sedingin ini. Kabut tipis merayap, merangkak pelan seperti hewan pemangsa tak berwujud. Alfi merasa malam ini jauh lebih sunyi dan menekan, seakan semakin memaksa tubuhnya untuk letih. Langit gelap malam menggantung diatasnya, seakan mengawasinya bersama desiran angin yang berbisik pelan dalam bahasa yang tak dipahaminya.
Alfi kembali mengingat pertemuannya dengan Gogo, sosok yang diwawancarainya karena membuat gempar publik selama beberapa hari terakhir. Alfi mengingat ketika dia menelusuri jalan setapak masuk jauh ke tengah hutan sambil mengingat arahan dan penanda yang diberikan Kepala Desa padanya. Kemudian dia melihat sebuah gubuk yang cukup tinggi, namun nampak reyot. Atap dan temboknya miring, seakan menunggu waktu untuk rubuh. Alfi mengucapkan salam, yang kemudian dijawab dengan balasan salam yang terdengar seperti geraman makhluk buas. Dan disanalah Gogo, keluar dari gubuk reyot itu.
Tingginya menjulang lebih dari dua setengah meter. Berwarna hitam pekat sehingga sekilas nampak seperti batang pohon yang tebal dan tua. Tubuhnya diselimuti bulu-bulu panjang dan tebal yang juga berwarna hitam pekat. Samar-sama, Alfi mengingat bahwa ia mencium bau tanah dan dedaunan tua yang basah. Penampilannya nampak sangat ganjil, seakan merupakan ilustrasi langsung dari dedemit yang diceritakan para orang tua kepada anak-anaknya agar mereka pulang sebelum maghrib. Namun, Gogo bukanlah mitos atau dongeng. Ia berwujud. Alfi bisa menatapnya. Baunya yang seperti tanah dan daun basah memenuhi penciumannya. Dan tanah di bawah Alfi bergetar kecil setiap Gogo melangkah. Diriku, pikir Alfi, tidak lebih nyata dibandingkan makhluk di depannya itu.
“Masuklah,” geram Gogo, sembari kembali menjejalkan badan besarnya ke dalam gubuk. Alfi menahan dirinya untuk lari dari sana. Dia harus memaksa kakinya untuk melangkah ke dalam gubuk yang miring dan lapuk tersebut. Di dalam, Gogo duduk di sebuah potongan kayu besar yang dibaringkan, sepertinya itu adalah tempat tidurnya. Ia juga melihat ada beberapa tumpukan buku dan kertas disana, tertimbun sebagian oleh dedaunan dan ranting. Tubuh besar Gogo duduk diam, sembari memberi isyarat agar Alfi masuk ke gubuk tersebut. Mata merahnya menyala, membuat Alfi merasa resah karena tatapan Gogo tak pernah lepas dari dirinya. Setelah Alfi memposisikan dirinya di tengah gubuk, mereka sama-sama terdiam. Alfi merasa bahwa Gogo sama canggungnya dengan dirinya dalam kondisi ini. Untuk beberapa saat, tidak ada percakapan apapun. Hanya ada kesunyian yang menggelisahkan, seperti kesunyian bunyi sebelum datangnya badai.
“Nama saya Gogo,” akhirnya Gogo memecah keheningan di antara mereka, suaranya rendah dan terdengar seperti geraman, namun sangat pelan sehingga nyaris tak terdengar. “Saya lahir di sini.”
Alfi menelan ludahnya, suaranya terasa tertahan di tenggorokan yang kering. Sekalipun suara Gogo terdengar kasar, namun dia menangkap ada nuansa santun terkandung di dalamnya. “Anda… tinggal di hutan sejak lahir?” tanyanya, mencoba terdengar formal dan profesional, meski pun jantungnya berdebar tidak karuan.
Gogo memalingkan wajahnya ke sebuah lubang di tembok rotannya yang sepertinya difungsikan sebagai jendela, kemudian menunjuk ke arah hutan belantara di luar. “Saya lahir di hutan, hutan adalah perpanjangan tubuh saya. Saya lahir dari rahim manusia. Tapi saya bukan manusia.”
Alfi mencoba merapikan pikirannya yang kacau, gesturnya yang merapikan jilbabnya dengan gugup seakan merefleksikan hal ini. Tangannya sedikit gemetar saat mengeluarkan alat perekam suara. Dia menatap Gogo, seakan minta izin, tangannya yang menggenggam alat perekam suara itu menggantung di udara. Namun dia hanya menatapnya, tanpa ada kata apapun yang keluar. Gogo mengangguk, memberinya izin. Barulah Alfi kembali menemukan suaranya, “Anda bilang… dari rahim manusia?”
“Sarti, ibuku punya nama,” jawab Gogo. “Ibu hilang di hutan dua puluh tahun lalu, atau begitulah mereka bilang, sebagaimana yang Bapak sampaikan. Tapi saya tahu cerita sebenarnya. Ibu tidak hilang. Dia pergi ke hutan bersama Mamidi, ayahku.”
“Dan Mamidi adalah…?” Alfi membiarkan pertanyaan itu tergantung di udara, menunggu sahutan Gogo.
“Genderuwo,” kata Gogo pelan, namun nadanya menusuk seperti pisau. “Ayahku menghilang setelah aku lahir. Ibuku… mati saat melahirkanku. Aku mencabiknya dari dalam perutnya, merangkak keluar. Darahnya tumpah di tanah hutan. Aku terlahir dari kegelapan dan kelembapan hutan. Tulang, daging, dan nadiku diselubungi oleh kematian sejak hari pertama.”
Kuduk Alfi merasa bergidik. Rasa dingin yang aneh menjalar di punggungnya hingga ke tengkuknya. Angin kencang bertiup, bunyi desir daun dan ranting patah terdengar. Gubuk Gogo ikut bergerak, berayun. Alam seakan mengangguk mendengar cerita Gogo. Mereka menyaksikan, dan mereka membenarkan. Alfi tak bisa melepaskan pandangannya dari wajah Gogo, sekalipun dia sangat takut melihat bentuknya. Wajah Gogo menunduk, memandang ke tanah, kulitnya yang kasar dan berbulu lebat ditimpa oleh berkas-berkas cahaya matahari yang tersaring oleh dedaunan. Alfi merasakan ada kepedihan yang mendalam dari cara Gogo berkisah.
“Bapak, atau Kyai Mahmud, menemukan saya waktu saya masih berumur 4 bulan. Saya ingat sekali. Saya sedang menyantap bangkai biawak yang saya temukan di dekat sungai sana, sudah pahit karena mulai busuk, tapi saya lapar” lanjut Gogo tanpa mengubah posisi tubuhnya, tangannya menunjuk ke utara. “Bapak pemilik pesantren di dekat hutan. Pesantren Bapak menampung anak-anak petani miskin dan para buruh perkebunan yang tak kurang nelangsanya. Mengajari mereka membaca, menulis, berhitung, dan mengaji. Mengajari mereka adzan dan sholat juga kata Bapak. Bapak sering datang membawa makanan, minuman juga. Bapak juga yang membangun gubuk ini untuk saya.” Gogo melambaikan tangannya, sembari menatap atap gubuk tua yang tampak sekonyong-konyong akan runtuh kapan saja.
“Dia.. Membawakanmu makanan?” Alfi bertanya pelan, hati-hati. Alfi membayangkan Kyai Mahmud berjalan pelan ke tengah hutan yang rimbun, untuk menemui makhluk setinggi lebih dari dua setengah meter dengan tubuh yang dipenuhi bulu. Sulit bagi nalarnya untuk membayangkan logika apa yang terjadi di benak Kyai Mahmud sehingga hubungan antara dia dan Gogo bisa terjalin.
“Bapak juga mengajari saya mengaji, membaca dan menulis. Saat Bapak wafat, saya sudah Iqro’ 5. Saya lamban menghafal huruf Arab. Mungkin karena ayah saya Genderuwo, kata Bapak. Saya juga diajari adzan dan sholat. Tapi paling sering Bapak mengajari saya tentang dunia luar. Tentang manusia. Tentang kalian. Tentang kaum saya, kalau Bapak bilang.”
Alfi tertegun. Namun, ketertarikan kini sudah menguasai hatinya, menenggelamkan rasa takut. Kyai Mahmud tidak hanya mengurus dan memberi Gogo makan dan minum, namun juga pendidikan. Pikiran Alfi mencoba mencerna informasi ini. Apa yang membuatnya selama bertahun-tahun merawat dan mendidik makhluk seperti Gogo? Apa yang ia lihat dibalik makhluk dengan tubuh segelap dan setebal batang kayu ini?
“Kyai Mahmud sudah meninggal, ya?” tanya Alfi, suaranya begitu pelan, penasaran namun berhati-hati tak ingin memancing respon yang tak bisa dia prediksi dari Gogo.
Gogo mengangguk perlahan, matanya kembali menatap hutan dengan ekspresi yang sulit dibaca. Kosong, namun seakan penuh harap akan perjumpaan. Rindu kah itu? Pikir Alfi.
“Seminggu yang lalu. Sekarang saya keluar dari hutan,” ungkapnya dalam geraman yang rendah.
“Kenapa sekarang?” tanya Alfi lagi, dia mulai berani melangkah lebih dekat. “Setelah bertahun-tahun hidup tersembunyi di hutan, apa yang membuat anda keluar sekarang?”
Baca selengkapnya di sini.!
Bambang Putra Ermansyah
___ Alumnus jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau. Seorang philosophy entusiast yang menjadikan Tasawuf dan Silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Pengagum tulisan-tulisan dan perjuangan Subcomandante Marcos beserta seluruh penduduk asli Chiapas. Ia adalah kolumnis tetap Oiketai.com dan saat ini tengah studi Magister Sains di UNPAD sekaligus fast track Program Doktoral. ~