November 1, 2024

Ilustrasi: freepik.com

Monolog Fedli Azis

Sebelum aku memulainya, izinkan aku mengecup keningmu untuk terakhir kalinya. Aku percaya, kau masih di sini, meski secara kasat mata kau berdiri di rimba yang entah di mana. Biarkan sentuhan hangat dari bibirku merasuk ke otakmu, mengalir bagai sungai ke sukmamu yang beku. Biarlah rasa cintaku terpatri di situ hingga berbilang abad lamanya.

Kasih, aku ikhlas melepas pergimu dan percayalah, aku telah menyimpan bayang dan jejak terakhirmu di museum batinku, saat jendela rumah kita terbuka lebar. Di malam yang gulita, ketika langit tak berpenghuni. Sejak saat itu, aku kerap berlama-lama, mematut diri di jendela ini. Merindui canda dan makianmu padaku, bahkan anak-anak kita yang kita besarkan dengan rasa tak menentu. Dari kejauhan, kau akan menyaksikan aku sebagai objek lukisan yang dibalut pigura rapuh lagi buram. Ah, biarlah ia begitu selamanya.

Aku perempuan yang dibesarkan dari keluarga berada. Sangat ketat menjaga marwah dan martabat diri serta perkauman. Dibekali adat dan adab yang takkan dimiliki kaum serta puakmu. Kau dan kaummu begitu merdeka, bebas melakukan apa saja tanpa harus terikat oleh tali persaudaraan, perkauman dan lainnya. Tapi aku, perempuan yang kaya raya dalam hal apapun, terkurung dalam sangkar emas bernama adat istiadat yang terjaga dan terpelihara dengan sempurna.

Kasih, di manapun kini kau berdiri, mendekatlah ke jendela. Buka lebar-lebar dan lihatlah jauh ke depan, meski samar, kau akan dengan leluasa dapat melihatku. Seorang perempuan renta yang sedang sibuk menyaksikan buah cinta kita bertikai, berebut kuasa atas warisan kita yang sebenarnya tinggal ampas belaka.

Suamiku, tak rindukah kau pada masakanku? Seperti hari-hari lalu, kau selalu saja menyantap semuanya dengan lahap sekali. Tanpa sisa. Kata orang tua-tua, ‘jimek’. Yah, aku sentiasa bahagia saat kau dan anak-anak menikmati racikan rempah-rempah yang kupadupadankan dalam masakan warisan para leluhur.

Kau lupakan pizza, spaghetti dan roti-roti lembut ala kampung halamanmu. Kau tinggalkan pesta pora gaya Eropa dan kau disibukkan oleh pertemuan demi pertemuan dengan para datuk dan tetua disini. Oh suamiku, kesantunan dan kewibaan yang kau perlihatkan pada mulanya membuat semua orang, terutama aku begitu terkesima. Selain rupamu yang juga berbeda. Sungguh, pada awalnya semua terasa menakjubkan.

Cal… Begitu aku selalu memanggilmu. Kau masih ingat saat seluruh kaumku begitu mengagumimu saat pertama kali kau menginjakkan kaki di tanah ini. Bahkan Sultan, penguasa nomor satu disini waktu itu, kerap menjamu dirimu dalam istananya yang megah bergaya Eropa pula, di tepian Batang Jantan. Kau tentu lupa –tapi aku berharap kau menyimpannya di almanak hatimu– saat aku mencuri-curi pandang dirimu yang bahagia, yang penuh gelora, karena hanya sesekali mata kita tertumbuk. Kau tersenyum dan aku menafsirnya jadi sejuta makna. Cal, pada saat itu aku benar-benar mabuk oleh bujuk rayu ala anak sekolahanmu.

Kau cakap, dengan bahasa santun gaya Texasmu, “Riuh, aku benar-benar tak menyangka, kau membuat seisi jantungku rubuh seketika. Riuh, parasmu, bahasamu, pembawaanmu, pengetahuanmu atas simfoni kehidupan, lenggak-lenggok tubuhmu yang berbalut songket klasik nan mewah itu, membuatku lupa diri. Riuh, menikahlah denganku. Yakinlah, aku akan hidup bersamamu selamanya. I love you,” katamu berapi-api di sudut senja berparas kesumba.

“Hmmm… Cal, siapalah aku? Hanya perempuan yang hidup dalam sangkar emas. Kau akan menyesalinya, jika aku mengiyakan bujuk rayu dari lidah pelatmu itu”.

“Tapi Riuh, orang tuamu dan para tetua disini setuju atas pinanganku padamu. Aku mencintaimu Riuh, percayalah. Aku akan hidup dan membahagiakanmu selamanya bersama anak-anak kita nantinya.”

“Cal… Oh, kau memang lelaki jantan yang merontokkan segala keyakinanku pada adat, adab serta agama yang selama hidup membungkusku. Oh, Cal… Kau memang biadab!!!”

Setelah mengarungi perahu rumah tangga selama 99 tahun, nyaris 100 tahun, akhirnya kita berpisah juga. Batinku benar-benar meradang dan ingin rasanya melanjutkan tabiat para moyangku, menghancurkan segalanya jika berada dalam posisi pihak yang kalah. Aku kecewa Cal, aku ingin melumat dirimu seperti legenda Lancang Kuning, saat Panglima Hasan menjadikan Siti Zubaidah sebagai galangan kapal. Aku ingin menjadi Jebat, mematahkan keangkuhan Sultan. Yah juga ingin meniru Megat Serirama, menikammu hingga terkapar bersimbah darah di tanah harapan. Oh Cal… Mengapa tidak kau robek saja surat kontrak itu? Atau bakar agar kau terus menyedot semua sari dalam diriku.

Cal, apa karena air susuku sudah kerontang, apa karena kulitku sudah keriput dan bulu-bulunya rontok satu persatu, apa karena aku tak lagi mampu membuahi hingga kau dengan gagah berani berbalik arah dan pergi begitu saja!!! Cal, mengapa kau begitu pengecut! Kau tinggalkan segala derita dan bencana hingga aku merana di ujung usia! Cal, setega itukah kau???

Namaku Riuh. Seekor janda renta yang tak kunjung henti ditimpa kemalangan demi kemalangan. Ya, aku sebutkan diriku dengan kata “seekor” karena siapapun yang meminangku, senantiasa hanya berburu kenikmatan dengan syahwat menyetan! Kalian memang jantan-jantan tak berhati perut. Sesuka hati menikmati kemolekanku. Bahkan suamiku yang lainpun tak ubahnya seperti dirimu Cal.

Cal, aku ingin muntahkan semua hal menjijikkan atas perlakuanmu padaku. Aku ingin, anak-anakmu yang menjelma menjadi cicit-cicit Iblis itu tahu apa yang sebenarnya kualami sepanjang pernikahan kita. Biar mereka tersentak, terhenyak bahkan tersadar saat ini juga. Aku letih memanggul beban seorang diri Cal.

Aku selalu mengingat peristiwa yang sangat memalukan. Meski kau tak peduli pada hal itu. Ingat Cal meski terjajah, jiwaku sentiasa merdeka. Kau takkan mendapatkan keinginanmu yang membabi-buta itu. Aku percaya kaupun tak mempersoalkan perkara hati. Tapi aku yakin, kau masih menginginkan tubuhku yang masih mengguratkan kemolekan. (Tertawa) Aku mengenalmu, mungkin lebih dalam dari ibu kandungmu.

(Meradang) Kau hanya anak gampang Cal! Moyangmu pelaku kriminal. Kau dan kaummu yang merasa sempurna, terlahir dari manusia-manusia berpikir bebas, berjiwa merdeka, setelah bertarung dengan bangsamu sendiri. Kalian hanya menginginkan jadi pribadi-pribadi yang tak terikat oleh ikatan apa pun. Kalian ingin menjadi individual yang meraih segala sesuatu berdasarkan kemampuan dan kehebatan sendiri, apapun caranya. Halal dan haram, tak kalian hiraukan karena bagimu, itu hanya penghambat kemajuan.

Perompak! Kau merampok segala yang kumiliki, musti hal itu tak seharusnya kau lakukan. Aku istrimu yang sah dan segala sesuatu adalah milik kita. Tapi dasar kau egois, ingin mendapatkan lebih banyak, maka kau lupa diri. Kau sedot sebanyak-banyaknya semua cairan dalam tubuhku hingga kerontang, nyaris tak bersisa. Kau setubuhi aku dengan cara-cara tak beradab. Kau perlakukan aku sesukamu dengan syahwat duniawi yang tak memerlukan aturan serta etika.

Kau tak lagi mencumbu tubuhku seperti seorang istri yang sah dalam aturan kaum beradab seperti bangsa kami. Tak ada lagi ciuman dan belaian. Kau kian kerasukan. Mengganti ciuman dengan gigitan dan mengubah belaian dengan cakar-cakar yang mengoyak kulitku. Sadis!!!

Kau kurung aku di sangkar kemurkaan. Kau cumbu aku hanya karna nafsumu lebih besar dari pikiran sehatmu. Kau nikmati setiap jengkal badanku seperti tikus sedang menggaruk-garuk pintu untuk tujuan masuk lebih dalam. Kau jilati semuanya untuk menebar virus bak Langau. Kotor! Jorok! Najis!!!

Kapan dan dimanapun kau mau, maka aku harus menuruti. Jika membangkang, kau akan memperlihatkan “surat kontak” biadab itu di depan batang hidungku. Hingga aku dan kaumku tak kuasa bertindak, apalagi melawanmu. Kau akan berteriak-teriak bagai nafsu yang diuji rasa lapar saat ditanya siapa Tuhan. Kami hanya terdiam dan tak mampu berbuat apapun.

Meski sesekali kau bermuka manis dan bertingkah santun, membelikan kami berbagai buah tangan. Kau hanya coba menghibur dirimu, bukan aku Cal. Kau hanya mencoba untuk membalikkan keadaan saat pertama kali kau nikmati layanan kami yang takkan kau dapatkan, bahkan dari ibumu sendiri. Tak ada yang sebanding, apapun itu. Meski kau bawa seluruh kekayaan dari benua kaum perompakmu itu Cal.

Kau dan bangsamu hanya anak kemarin sore yang dibesarkan para penjahat. Kalian seperti anak pungut yang mendurhaka pada orang tua angkatnya. Karena tabiatmu yang buruk itu, sudah diwariskan berabad-abad lamanya. Kau merasa paling beradab, mulia dan merasa hebat berdiri di kaki sendiri. Kau tak hirau, orang di sekitarmu merana, menderita, bahkan mati oleh tanganmu yang bersimbah darah itu.

Hmmm…. Bangsa hebat konon! Bangsa yang bangkit dari perjuangan panjang untuk merdeka di atas liang-liang kubur orang pribumi, Suku Indian yang kalian buru bagai babi di rimba raya. Tak puas ditanah jajahan pertama, lalu kalian merambah tanah-tanah, bangsa-bangsa berbudaya dan beradab sejak semula jadi dengan muka seperti rasa pemanis buatan.
Setelah mengantongi kepercayaan negeri yang hendak kalian jajah, kalian memperlihatkan tabiat asli seperti Iblis yang tercampak dari puncak langit.

Kau takkan pernah merasa bahwa buah tangan dan kebaikanmu, bagi kami seperti sebungkus permen di gunung sampah. Kau dan sebagian anak kita yang kerasukan jembalang, merasa berjasa dengan mempersolek tubuhku sekali-sekala. Tidak Cal. Tidak!!!

Anak gampang, tetaplah anak gampang. Anak-anak malang yang dibesarkan aura busuk kefanaan yang lupa pada diri sejati. Cal, anak-anak kita yang bersubahat denganmu ikut-ikutan menyedot segala seri dalam tubuhku. Kejam!!!!

Cal, pergimu tak kusesali lagi. Pergi dan terbanglah sesukamu. Nikmati kebebasanmu sebagai penjahat cinta ala bangsamu. Bujuk rayulah semua betina bertubuh sintal dan penuh seri di dunia lain. Tikam dan tanamlah selang-selang seperti kau lakukan padaku. Semak-samun selang penyedot yang mengikat tubuhku, kini telah keropos Cal. Aku sekarat, menunggu ajal di tangan anakku sendiri yang juga sama sepertimu, bersimbah darah!!!* ~