December 11, 2024
Afni

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil

Bertapak dan bermastautin dalam nada gagah, menjulang langit keagungan tersambung dengan kehendak serba mancung. Tak sekedar doa yang diarah bak visi ke masa depan, tapi juga kemampuan menjeling dan meneroka lewat mata batin. Begitulah wira carita yang terjahit di awal pembentukan kerajaan dan pemahkotaan diraja Kerajaan Siak Sri Indrapura dalam kilas serba anggun-menawan.

Wira carita ini mengelopak, berhibernasi dan menyembul bak nirmala: Siak nan nian menjadi mustika Melayu di aliran sungai meliuk menohok ke ujung-ujung lembah di kaki bukit barisan. “Pandangan batin”, “Visi Anagogis” jadi pertimbangan Raja Kecil kala menuruni “negeri atas awan” di Pagaruyung sana demi mengambil kembali tahta Kerajaan Johor yang menjadi hak kesejarahan. Jalur yang ditempuh: aliran sungai ini [Siak]. Menjatuhkan pilihan ke “tanah berani” menjadi syarat mutlak selama pelayaran demi menebus hutang “gemurah” [leluhur] ke Ujung Tanah [Kota Tinggi Johor]. Pemimpin sejati itu, DNA-nya keberanian mengeksekusi [menjatuhkan pilihan dalam gurauan keputusan yang bersilang-silang].

Menjatuhkan tapak mukim, tetak-tetau kampung dan pembangunan astana sebagai simbol kekuasaan, teraju pumpunan jala, tak dinukil lewat majelis persidangan dan rapat eseloni. Tapi,  lebih mengutamakan kejernihan “mata batin”, “pandangan batin” yang secara awam orang mengalamatkan kepada para bomoh dan pawang. Bukan semata dua “wilayat” ini yang disemburkan “pandangan batin” itu. Terkisah bahwa Raja Kecil yang berlayar dan menyusuri “batang air” ini menjatuhkan pilihan untuk menentukan “tanah berani” sebagai syarat pembangunan istana, jatuh di Buantan [sisian kanan jika menghulu dari muara sungai].

Kala belayar, dalam kesadaran kosmografi sungai, Raja Kecil menyauk keperkasaan “badan air” memanjang ini dalam sapaan “Sungai Jantan”. Maka dia harus “beradu” dengan julangan “Tanah Berani”. Inilah model persuaan dua keriangan: keriangan benua dan keriangan maritim. Dari tapak inilah “tendangan” demi menebus “hutang sejarah” itu ditunaikan.

Perjalanan panjang berganti-pindah “pusat/bandar diraja” dari Buantan, ke Mempura, Senapelan, kemudian ke “Kota Tinggi” sejatinya masuk dalam “agenda kesadaran spatial” kekuasaan demi pelayanan rakyat jelata. Sepanjang itulah dia disemangati dalam kaidah “mufti langit”, bukan semata percandaan ‘drama kosmis’, namun sekaligus ingin melekatkan arti penting dari label “Sungai Jantan” yang dipersanding dengan “Tanah Berani” dalam satu peterakna sejarah Melayu.

Tikam-jejak sejarah kerajaan ini kala bertapak di Bandar Diraja Mempura oleh Sultan Ismail sekalian menabalkan penamaan “timang-timangan langit“ dengan sapaan Siak Sri Indapura Daarussalaamul Qiyam. Pun, menggelinjang sambungan tali gemintang secara vertical ke arasy langit [Tuhan} dalam persangkaan organisasi kerajaan dalam kaidah Melayu relung aquatika [perairan] benua Sumatra.

Afni, sebuah nama pendek. Tapi menabrak segala ihwal nan panjang dan pejal. Sebuah nama yang membongkar banalitas, sekaligus menggali akan kedalaman sumur kesejarahan. Pun, menggelung kesadaran akan ketersambungan dua jenis keriangan yang terhampar di ruang aquatic “sungai Jantan” dan “Tanah Berani”: keriangan benua dan keriangan maritim. Muara sungai ini, saban detik bercanda dengan limpahan gerak kapal-kapal inter-kontinenal Selat Melaka. Pun, di atas dada dataran rendah di Kabupaten ini menjulur ruang hodologis bertampang garis Tol Trans Sumatra dan Jalur Lintas Timur selaku pemacu ekonomi benua. Walhasil, persuaan dan percandaan ruang ekonomi makro skala dunia dan nasional [sekaligus mikro] berlangsung merbak dan gemeretap di Kabupaten nan kaya ini. Maka, merecuplah kota-kota berstatus agro-politan di sepanjang garis ruang hodologis itu [Kandis, Perawang] dan seterusnya…

Afni melabrak kepikunan politik para tuan-tuan renta yang masih merasa muda dalam kayuhan masa [periode pengabdian]. Afni dan Budi menekan pedal gas secara dalam dan lincah untuk mengembalikan hak entitas selaku pemangku Melayu di kamar permaisuri yang tak boleh dicerobohi oleh para “pendekar” yang mendaku-daku sang pembela tanah. “Kamar Permaisuri” itu ialah ruang suci, mesti didatangi dengan kekudusan jiwa dan qalbu, diindahkan dalam majelis ritual yang selari dengan garis  kesejarahan yang tak gamang. Wah, Kerajaan ini pernah menobatkan kaum Puan selaku peneraju utama berstatus Sultanah [Tengku Agung Sultanah Latifah]. Ini satu penanda “tak gamang” itu dilihat dari cahaya kualitas feminin [susur gender].

Dan, Afni menunai ke-tidak-gamang-an sejarah di era “masyarakat jejaring” [networking people]. Ya, di era serba digital. Dia tak melayani fenomena “pedal happy” [kebahagian menginjak pedal gas] dalam kelajuan retas kenderaan politik yang tak menimbang-nimbang kenyataan sekitar. Malah, Afni-Budi sibuk menyapa dalam kaidah lembut, hanif, sasmita, dalam kilas semesta cahaya [nuri fa qaunuri] ke atas  segala ruang, dan tersambung dalam mode merengkuh “human interest” lewat kemampuan jenial era digital. Di sini Afni memanfaatkan segala aplikasi dan fitur media sosial dalam sentuhan ranum. Mengedepankan keutamaan “air tangan” seorang perempuan, sosok ibu yang merawat, sapaan dengan emosi dan renjana yang autentik, original dan natural. Datangilah TikTok, Afni: dia mampu mencupakkan deraian air mata bagi viewer. Narasi pendek di media sosial dengan kekuatan videografi dalam durasi 3 [tiga] menit, datang dalam denting nada belahan jiwa [soulmate]. Menghentak rasa dan menggesa jiwa demi masuk dalam “penyelesaian-penyelesaian naratif” yang berakar pada kenestapaan rakyat dan jelata yang terpelanting oleh mesin waktu dan kebisuan pemerintah selama ini.

Dia mampu melahir dan memanjangkan imaji tentang keceriaan yang terbongkar dari kepompong murung kehidupan para jelata. Kemurungan, kemasygulan di satu sisi mampu menceritakan tentang autentisitas, nestapa sekaligus kejelitaan realitas. Wilayah inilah yang digarap oleh tim Afni yang cerdas dan sanggam itu. Kemampuan komunikasi podium yang tak merasa serba “paling”, dinukil dengan jelita oleh Afni di ruang-ruang publik, di rumah-rumah ibadah segala jalan iman, di bilik-bilik komunitas yang ragam. Walhasil, pola komunikasi lunak, tak menyerang, tapi menjahit dan menyulam yang ditampilkan Afni, dia keluar selaku pemenang: Tak saja pemenang kontestasi politik, sekaligus dialah sang pemenang tangkupan hati para jelata ragam kaum dan puak. Dia bak mustika Melayu yang menghunus kelembutan demi membungkam kesombongan, keserakahan kuasa. Dia menjahit model “menyapa” dalam lelaku semesta, walau sesekali menghentak-bergempita.

Berseloroh dalam langgam Melayu: “Afni ini hadir dan datang menyapa ruang semesta Siak dalam gaya Arwin AS versi perempuan”. Siapa pun yang masuk dalam arena tarung, jangan berlagak pikun demi melompat pagar kuasa. “Walau huruf habislah sudah, Alif Ba Ta ku, belum sebatas Allah”, khatam kata puisi WALAU dari Sutardji Calzoum Bachri.  ~