June 13, 2025
hh

Oleh Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M. Phil

Dua sosok petahana patah lenggang di tengah jalan: Syamsuar [Gubernur] dan Alfedri [Bupati Siak]. Dua orang yang patah lenggang ini pernah diasuh oleh “seorang inang” bernama Arwin AS. Awam seakan bergemuruh memperkatakan patah lenggang ini: Panggung kah yang miring? Penarinya kah pincang kaki? Tulah kepada sang inang? Alias kualat? Entahlah. Arkian, Syamsuar dan Alfedri adalah pejabat karier dan dibesar oleh Arwin sejak jabatan paling landai hingga jabatan pucuk di Siak. Syamsuar Gubernur, berkat tangan Arwin. Alfedri jadi Bupati tak lepas dari peran tangguh Arwin turun ke kampung-kampung.  

Kenapa Arwin berlaku begitu? Jawabannya singkat: “Demi kaderisasi kepemimpinan”. Wah kreen kata orang. Lantas, apakah mereka sadar sedang menjalani “tugas suci kaderisasi”? Entahlah. Yang jelas Arwin telah melakonkan “tugas kesejarahan” dalam tradisi kepemimpinan anak Melayu di Riau. Di sini, Arwin mencemplungkan dirinya dalam kolam “Arwin Sejarah”, bukan “Sejarah Arwin”.

Suara orang pesisir tidak lagi ke Syamsuar untuk Gubernur. Pasar suara pesisir diikat Arwin, bersambung dengan tokoh-tokoh pesisir yang lain, digeser ke Wahid-SFH, bertandan-tandan. Survey meniadakan pengaruh Arwin dalam konteks suara pesisir? He he jangan terlalu PEDE. Dia, bagi orang pesisir adalah figur iconic, menawan dan sang penggoda dalam ihwal “legacy”;  warisan fisik; jalan mulus dan aspal beton menusuk ke kampung-kampung Siak dengan agregat granit nomor satu dunia, jembatan raksasa membelah dan menggelung batang air nan panjang [sungai Siak].

Arwin meninggalkan  “tapak ingatan” area pemerintahan yang gigantis dan hijau lembut di Tanjung Agung. Mencipta kota mungil, kota pusaka dalam kemasan “kota dalam taman dan taman dalam kota” yang rimbun teduh, riverside yang ranum harum, tertata rapi, berbunga, indeks ekologis 60:40 berlaku pada Arwin. Jika pepatah “Semua di dunia ini dibuat oleh Tuhan, cuma Negeri Belanda diciptakan oleh Nederland”, mungkin berlaku pada kancah amsal Siak dan Arwin. “….., terkecuali Siak. Siak diciptakan oleh Arwin”. Domain inilah yang diingat dengan rasa bangga bagi orang dan anak-anak pesisir.

Tibalah di era ini. Era digital dan milenial yang cergas, marak dengan dunia content dan serba gegas. Syamsuar dan Alfedri harus ikhlas “bersalin tikar” dengan generasi gegas dan progresif: Ini memang era generasi X dan Xennials: Wahid Gen-X dan Afni Gen-Xennials. Dunia yang bergelombang lewat gempuran perkakas videografi singkat padat, centil dan menggoda pemilih [demam kapialu media sosial]. Per detik tersambung, menikam, menerjang ke ruang-ruang tersuruk di ujung dunia sekalipun.

Abad jenial teknologi informasi era digital. Dunia dibolak-balik dalam kaidah post truth. Sekilas kita seakan tengah menjalani sejumlah belokan dan interupsi. Ini pula yang disangkutkan dengan era disrupsi. Mewah dalam ihwal gunung dan lembah informasi yang dikemas dalam pola bolak-balik. “Arwin Sejarah” tegak bak “tiang agung” dalam gempita sorak-sapaan generasi X dan Xennials itu. Kenapa? Dia sosok yang membuka fikiran [open minded] dan tau diri. “Kita yang tua-tua ini harus mampu beradaptasi dan mengikuti alun gelombang kecerdasan kaum muda yang menggelinjang”. Kok bisa? Ya, Arwin sejatinya adalah seorang seniman. Dunia ini dihidunya dalam nuansa serba kreatif dan imaji.

Para pemilih muda menjadi satu variable yang diperhitungkan selama musim pilkada serentak 2024. Pun, tak bisa dilepas pula memori generasi Baby Boomers  yang sarat dengan pola pikir ‘mewaris’. Dua gelombang gelegak suara generasi ini terpaut hebat dalam padang tarung suara 27 November lalu. Generasi Baby Boomers, di sini Arwin berdiri dalam sejumlah penanda dan jejaring memori: rekan-rekan sepuh di kawasan pesisir digarap Arwin dalam bahasa zamannya,  para petani, kaum puan, emak-emak, di kampung-kampung pesisir menyetel ulang ingatan mereka tentang Siak yang molek dan sanggam. Segala ihwal molek dan sanggam itu  terlahir dari rahim “Arwin Sejarah”, bukan “Sejarah Arwin”.

Lantas, apa lagi? Kepemimpinan yang tanpa empati dalam dunia perkawanan dan mudah melupa, ialah cikal bakal tirani kepada kaum lemah dan jelata. Jangankan rakyat jelata, rekan setenda saja dilupakan dalam kemewahan kuasa berjenang. Ini juga modal dan elan vital bagi Arwin untuk melawan terhadap “bekas anak asuhnya” yang tengah lari telanjang di siang tegak. Mengutip Jose Rizal, seorang pahlawan masa revolusi Filipina; “Tirani sebagian orang hanya mungkin terjadi karena kepengecutan sebagian orang lainnya”.  Apakah Riau dan Siak boleh dibiarkan secara sepihak dalam gaya kepemimpinan masa bodoh dan serba ignorance? Lalu kita meresponnya dalam gaya terpinga-pinga.

Beliau menelpon saya sebagai sahabat setia, suatu petang. “Bergabung ke Wahid”. Saya jawab OK dan tepat. Kian genap pada bulan-bulan ke depan Wahid berpasangan dengan SF Haryanto yang ber-DNA “quick respons” [respon lekas] dalam isu kelumpuhan dan kekopakan infrastruktur di Riau. Keduanya figur muda penuh harapan, tak semata doa. Ha ha ha…  Arwin ditabal selaku Ketua Tim Pemenang. Lalu saya telepon balik? “Apakah sudah ada komunikasi dengan RZ?”. “Ohhh, itu sudah khatam”, jawab dia singkat.

Bukan amsal, dia memang bertangan dingin; apa-apa yang dia tanam tumbuh recup. Sayuran, buah-buahan ‘menjadi’ semuanya. Tangan seorang petani. Orang yang taat,  tabik berdialog dan terhubung dengan segala makhluk semesta, memiliki energi positif dan kaya dengan elektrolit negatif [anion], maka dia seakan berhati sang Budha yang bijak bestari. Terkoneksi dengan duet pemimpin muda [pendekar dan srikandi] Amril Mukminin dan Kasmarni, dia menginjab rakit suara besar di wilayah Bengkalis [tanah kelahiran]. Tandem pikiran dengan kaum muda dan rakyat jelata, menisbahkan Arwin sosok yang berada di “tengah-tengah” dan senantiasa pilu mendengar kemiskinan dan kelaparan jelata.

Kami punya sebuah pepatah”, ujar seseorang  kepada juru bahasa. “Anjing menyaji daging pada keledai, keledai menghidang jerami kepada anjing, — dan kedua-duanya kelaparan”, ketus Leo Tolstoy. Seakan saling berbagi dan menyaji, padahal yang disaji bukan sesuatu yang mustahak bagi dua pihak. Inilah realitas yang terus berlangsung di negeri ini. Antara pemerintah berkuasa dan jelata dhaif. Kehidupan seakan berjalan sungsang. Larat dalam  kesunsangan otonom. Ini harus dilawan dan dikemas ulang.

Bagi Arwin, sisi terjal perjalanan politik imparsial yang diperankannya, tetap berisiko. Dia tetap teguh mendukung Wahid-SFH, walau digoda saban hari oleh kaum pesisir yang pernah melukainya. Begitu pula, Afni-Budi adalah pilihan jenial Arwin. Walau dengan modal cekak, Afni melambung dalam model jingkang lunak dan lembut, namun menusuk sukma Siak. Di sini dia bersandar pada gurauan pucuk dari G.C. Lichtenberg; “Hampir mustahil mengusung obor kebenaran  di tengah kerumunan tanpa membakar janggut seseorang”.

Kita harus bermimpi untuk senantiasa menjadi lebih molek. Syarat dari semua itu, pancunglah rasa takut mu! “Kemungkinan terwujudnya mimpilah yang membuat hidup jadi menarik… Hanya ada satu hal yang membuat mimpi mustahil tercapai: ketakutan akan kegagalan” sindir Paolo Coelho, seorang novelis.

Lewat mimpi yang menggelegak Arwin mematahkan langkah petahana di Riau dan Siak. Maka, rawatlah mimpi!

Kala tak bermimpi lagi, kita mati!