
Dato’ Sri Lela Budaya Dr. Rida K Liamsi. (F: Peppy Chandra)
Sejarah Melayu: Sebuah Pusaran Kreativitas
Oleh Dato’ Dr. Rida K Liamsi
Makalah ini disampaikan dalam DIALOG SELAT TEBRAU: “Pemartabatan Persuratan Melayu Dalam Zon Ekonomi”, bertempat di Dewan RISDA Negeri Johor, Johor Bahru, Malaysia pada tanggal 24 Mei 2025.
Di tanah Melayu yang membentang, jejak kemaharajaan bagaikan riak gelombang yang tak pernah berhenti. Dari Bentan yang purba (abad XII) hingga Siak yang megah (abad XX), terukir sejarah panjang dalam setiap pasang surutnya. Bukan hanya politik dan budaya yang menjadi saksi, tetapi juga denyut nadi sosial dan ekonomi yang mengalir dalam setiap peristiwa. Sejarah, layaknya sungai yang mengalir, membawa serta romantisme, drama, dan tragedi—sebuah khazanah yang mengundang untuk dieksplorasi dalam karya-karya kreatif, terutama sastra.
Sastra sejarah, dalam keindahan fiksi, membuka jendela menuju masa lalu. Ia mengajak kita merenungkan jejak dan perjalanan sejarah, menggali makna tersembunyi, dan memetik pelajaran berharga. Para bijak bestari telah lama berpesan, sejarah adalah guru yang paling arif, tempat kita belajar tentang kehidupan dalam segala warnanya. Dan sastra, dengan pesonanya, mampu menyentuh relung hati, bahkan di kesunyian ranjang malam.
Sejak dahulu kala, sastra telah menjadi jembatan yang menghubungkan peristiwa sejarah dengan kehidupan. Hikayat, syair, pantun, dan berbagai bentuk karya kreatif lainnya menjadi saksi bisu, karya fiksi yang berakar dalam sejarah. “Sejarah Melayu (Salalatus Salatin),” sebuah kitab yang ditulis Tun Seri Lanang pada tahun 1612, adalah salah satu contoh agung. Karya ini menjadi sumber inspirasi bagi para penulis untuk menggali catatan dan cerita masa lalu, menciptakan karya-karya baru yang memperkaya khazanah sastra Melayu.
Dengan bijaksana, para penulis menyandingkan dan membandingkan “Sejarah Melayu” dengan berbagai catatan lain tentang kemaharajaan Melayu. Melaka (1403-1528), dengan segala kegemilangannya, menjadi pusat peradaban, diikuti oleh kerajaan-kerajaan penerusnya seperti Johor, Riau, Pahang, Terengganu, dan Siak. Meskipun “Sejarah Melayu” tidak mencakup seluruh perjalanan kemaharajaan ini, karyanya tetap menjadi warisan berharga.
Kisah yang terungkap dalam “Sejarah Melayu” berakhir pada masa pemerintahan Sultan Abdullah Muayatsyah, di penghujung pengabdian Tun Seri Lanang. Sang Bendahara Seri Maharaja Johor itu mengakhiri hayatnya dalam pengasingan di Simalanga, Aceh, sebagai tawanan. Namun, takdir berkata lain, ia sempat menduduki jabatan penting di kerajaan Aceh.
“Sejarah Melayu” menjelma menjadi induk dari segala kisah tentang kemaharajaan Melayu, bermula dari Bukit Siguntang hingga ke era Johor. Kitab ini membuka tabir sebagian besar perjalanan sejarah bangsa Melayu, sebuah bangsa yang berhasil membangun peradaban besar yang jejaknya terukir di berbagai penjuru dunia. Dunia Melayu, dalam harmoni dengan Dunia Islam, menciptakan simfoni peradaban yang mempesona.
“Sejarah Melayu,” meski berwujud karya sastra, kini diakui oleh banyak sejarawan sebagai sumber sekunder yang berharga. Karya-karya sastra yang lahir dari eksplorasi ide dan inspirasi “Sejarah Melayu” menjadi jalan untuk merekonstruksi peristiwa sejarah. Dengan penelitian silang dari berbagai dokumen sejarah, karya-karya ini mendekati kebenaran sejarah, meski terbalut dalam indahnya fiksi.
Karya-karya ini menjadi alat untuk memurnikan fakta dari campuran mitos, legenda, dan cerita rakyat yang mungkin ada dalam karya-karya klasik. Mereka menghadirkan fakta yang lebih mutakhir, yang dapat dirujuk sebagai jejak sejarah yang mendekati kebenaran.
Novel-novel sejarah modern, sebagai contoh, seringkali mencantumkan daftar pustaka, silsilah, dokumen kesejarahan, dan bahkan foto-foto. Hal ini membuktikan bahwa novel sejarah bukan sekadar reka cerita pengarang, tetapi sebuah upaya untuk menghidupkan kembali masa lalu.
“Narrative History” atau cerita sejarah menjadi wahana untuk menerangi peristiwa dan catatan sejarah yang selama ini tersembunyi dalam kegelapan. Ia menjalin benang merah dengan buku-buku sejarah nonfiksi yang telah beredar, menciptakan pemahaman yang lebih utuh dan logis.
Karya sastra klasik seperti “Sejarah Melayu” dan “Tuhfat Al Nafis,” yang tarikhnya seringkali bersandar pada tahun Hijriah dan ungkapan “konon kabar,” dapat direka dan direkonstruksi ulang. Dengan bantuan teknologi informasi dan digitalisasi, fakta-fakta baru terungkap, menjadi pijakan bagi karya sastra yang lahir kemudian. Novel sejarah, dalam hal ini, seolah menjelma menjadi karya sejarah, sebuah perpaduan indah antara fiksi dan nonfiksi.
“Sejarah Melayu,” sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering, menyimpan berbagai peristiwa menarik yang menunggu untuk diangkat ke dalam karya fiksi sejarah. Seperti yang diungkapkan oleh sastrawan Hasan Junus (alm), ini adalah “bermain dengan bahan.” Cebisan informasi, potongan peristiwa, dapat direkonstruksi ulang menjadi cerita sejarah yang baru, yang bersumber dari karya klasik ini. Kisah Mahmud Syah Melaka, sultan terakhir Melaka, dengan segala romantisme dan tragedi cintanya, telah menginspirasi banyak pengarang untuk menghidupkannya dalam cerita dan novel.
Faisal Tehrani, novelis Malaysia, menulis “1512,” sementara Reza Fahlefi mengisahkan “Batin Hitam.” Bahkan, kisah Hang Tuah, sang Laksamana Melaka, telah diabadikan dalam “Hikayat Hang Tuah,” sebuah karya anonim yang lahir jauh setelah “Sejarah Melayu.”
Dengan latar belakang politik dan cinta, “Sejarah Melayu” menawarkan sumber yang kaya untuk diangkat menjadi novel atau genre sastra lainnya. Selain kisah Mahmud dan Hang Tuah, masih banyak sisi dramatis dan tragis yang menanti untuk dieksplorasi. Misalnya, kisah cinta Sultan Johor Muzaffarsyah dengan putri Sri Nara Diraja, yang mengisahkan konflik politik dan perubahan tradisi pemerintahan di kerajaan Johor.
Konflik politik dengan Raja Fatimah, adik Sultan Johor, yang menikah dengan Raja Umar dari Pahang, menyebabkan dinasti Mahmud Syah terguling dari tahta kerajaan Johor selama puluhan tahun. Tragedi pembunuhan politik terhadap Mahmudsyah II di Kota Tinggi, Johor, menambah kelamnya sejarah.
Lebih jauh ke masa lalu, kisah cinta Sultan Mansyur Syah dengan Puteri Betara Majahapit mengungkapkan strategi Melaka untuk menaklukkan Majapahit, atau sebaliknya, melalui pernikahan. Kisah ini melahirkan pantun Melayu terkenal: “Kalau roboh kota Melaka, Papan di Jawa kami tegakkan,” yang menyimpan nilai historis yang mendalam.
Dari pernikahan itu, lahir seorang putra yang menjadi calon pengganti Mansyur Syah. Putra sulung Mansyur Syah, Raja Muhammad, telah dihukum dan dibuang ke Pahang karena membunuh putra Bendahara Tun Perak. Namun, takdir kembali bermain, putra berdarah Majapahit ini, yang bergelar Raja Klang, mati dibunuh oleh “orang gila.” Pembunuhan politik ini, diduga, bertujuan untuk menghilangkan jejak Majapahit di Melaka.
Perjalanan sejarah awal Melaka juga menyimpan kisah menarik tentang seorang putra mahkota berdarah Rokan (Sumatera) yang berhasil menduduki tahta Melaka, meski kemudian disingkirkan.
Kisah seorang bangsawan Keling, Muni Purindam, yang menjadi Bendahara Melaka setelah menikahi putri Sultan Melaka, juga menjadi bagian penting dari sejarah. Keturunan Keling ini kemudian membangun dinasti Bendahara di tanah Melayu, dan bahkan menduduki tahta kerajaan Melayu, seperti yang terjadi di kerajaan Johor dengan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah.
Ranjang pengantin dalam “Sejarah Melayu” adalah sumber inspirasi yang tak pernah habis, bahkan hingga ke era kerajaan Bentan. Kisah Laksamana Bentan, yang dieksplorasi dengan indah oleh Hasan Junus (alm) dalam novel “Burung Tiung Seri Gading,” menjadi bukti bagaimana karya klasik dan manuskrip lama dapat menjadi sumber karya sastra kreatif yang berharga. Kisah Nara Singa, pahlawan Inderagiri, juga memberikan warna tersendiri dalam sejarah tanah Melayu.
“Sejarah Melayu,” dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya merujuk pada karya Tun Seri Lanang, terjemahan dari Salalatus Salatin, tetapi juga mencakup semua peristiwa sejarah di dunia Melayu yang telah tercatat dalam berbagai karya, baik buku sejarah maupun sastra. Banyak karya-karya ini kemudian menjadi sumber atau rujukan bagi karya-karya baru. “Hikayat Hang Tuah,” “Tuhfat Al Nafis” (baik versi Penyengat maupun Terengganu), “Hikayat Siak,” “Hikayat Abdullah,” “Syair Sultan Mahmud,” dan karya-karya lainnya menjadi bagian dari warisan ini.
Jika semua karya sastra ini disatukan, disandingkan, dan dibandingkan, akan terungkap mata rantai sejarah kemaharajaan Melayu yang panjang. Karya-karya ini dapat dikumpulkan dalam sebuah karya sejarah atau sastra modern, seperti yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan Phd dalam “Sejarah Melayu,” yang mencoba mengungkap dunia Melayu secara lebih luas dengan berbagai ragam peristiwa politik, ekonomi, dan sosial.
Buku “Pusat Kerajaan Ganda” karya sejarawan Timothy P Bernad, yang digali dari “Hikayat Siak” dan karya lainnya, juga menjadi contoh bagaimana sejarah Melayu terus dihidupkan. Saya sendiri telah menulis sejumlah buku dengan latar sejarah Melayu, baik novel maupun buku semi-sejarah, seperti “Megat,” “Bulang Cahaya,” “Hamidah,” “Prasasti Bukit Siguntang,” “Badai Politik di Kemaharajaan Melayu,” “Mahmud Sang Pembangkang,” “Selak Bidsi dan Lepak Subang Tun Irang,” dan “Luka Sejarah Husin Syah.” Buku-buku ini menjadi sumber rujukan yang mutakhir, setidaknya di Indonesia.
Di Malaysia, berbagai upaya dilakukan untuk memperkaya khazanah kesusastraan dan kesejarahan dengan menemukan catatan dan dokumen kesejarahan baru. Kerja transliterasi (alih aksara) manuskrip yang masih tersimpan menjadi sumber pengetahuan yang lebih luas tentang dunia Melayu dan peradabannya. Dorongan kuat diperlukan agar bahan-bahan dan catatan yang masih ada segera dialihaksarakan dari huruf Arab Melayu ke huruf Latin, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber kepustakaan.
Banyak kerja penerjemahan dan alih aksara yang patut diapresiasi, karena telah membawa dunia Melayu ke dunia internasional. Penerjemahan “Hikayat Hang Tuah” ke bahasa Inggris oleh Prof. Mohd Haji Salleh (Malaysia) dan para ahli lainnya adalah salah satu contohnya. Yayasan Karyawan Malaysia juga patut diacungi jempol karena telah mencetak ulang “Sejarah Melayu,” “Tuhfat Al Nafis,” “Hikayat Hang Tuah,” “Bustanul Khatibin,” dan karya-karya lain yang telah dialihaksarakan, dengan kualitas cetak dan kertas yang sangat baik. Selain itu, digitalisasi naskah dan manuskrip yang ada juga merupakan langkah penting.
Wajah Melayu, jejak peradabannya, masih banyak tersimpan dalam manuskrip-manuskrip lama yang berserakan atau disimpan oleh berbagai pihak, termasuk keturunan dan ahli waris penguasa kerajaan-kerajaan Melayu dahulu. Di Lingga, misalnya, masih terdapat ratusan manuskrip yang belum tersentuh.
Belum lagi manuskrip-manuskrip di Penyengat, Bintan, Natuna, Anambas, Siak, Pelalawan, Bengkalis, dan tempat-tempat lain, selain yang tersimpan di perpustakaan nasional Jakarta, Malaysia, Belanda (Leiden), dan Inggris. Semua ini menunjukkan betapa besar dan bertamadunnya bangsa Melayu, yang mewariskan sumber ilmu pengetahuan yang kaya dan beragam. Hanya bangsa yang besar dan kaya yang mampu mewariskan peradaban yang besar, dan bangsa Melayu adalah salah satunya.
Proses Latinisasi naskah Arab Melayu dan bahasa Melayu memang sempat membuat bangsa Melayu seakan tercerabut dari akar budayanya. Namun, di sisi lain, proses Latinisasi yang dilakukan oleh Belanda dan Inggris juga membuka peluang bagi bangsa Melayu untuk lebih cepat dikenal dan menjadi bagian dari dunia literasi.
Warisan Melayu dapat dibaca, dipelajari, dan ditelusuri, sehingga dunia mengetahui bahwa bangsa Melayu adalah bangsa besar yang turut menentukan perjalanan budaya dunia, seperti dengan Kanun Melaka dalam bidang kemaritiman. Kisah Awang alias Ernrico, seorang Melayu yang ternyata lebih awal mengelilingi dunia dibandingkan penjelajah Eropa lainnya, juga menjadi bukti kehebatan Melayu.
Cogan kata “Takkan Melayu Hilang di Dunia” kini menjadi perdebatan. Apakah itu benar-benar kata-kata sakti dari Hang Tuah, sang Laksamana Melaka, atau dari orang lain? Wallahu a’lam bissawab. Namun, dengan cogan kata itu, bangsa Melayu telah mengibarkan bendera kebesarannya di seluruh dunia, membuktikan keberadaannya dan memberikan sumbangsih bagi dunia.
Bahasa, budaya, dan etika hidup Melayu adalah warisan yang berharga. Hang Tuah sendiri telah berlayar hingga ke Jepang, Persia, dan Turki, pusat-pusat budaya dunia, dan meninggalkan jejak sejarah serta bahasa Melayu, meski hanya sepatah dua patah kata. Sejarah Melayu adalah sejarah yang besar dan agung. ~