
Oleh Agoes S. Alam
[Kandidat Ketua Dewan Kesenian Daerah Kota Dumai]
- Prolog
Seni adalah napas peradaban, denyut nadi kebudayaan, dan cermin kolektif masyarakat. Dewan Kesenian, sebagai representasi ekosistem kebudayaan, idealnya menjadi rumah bersama bagi seluruh masyarakat seni—bukan sekadar klub elite yang terisolasi dari realitas sosial. Ketika institusi yang seharusnya menjadi penjaga gawang kebudayaan justru terjebak dalam menara gading eksklusivitas, maka seni akan kehilangan rohnya.
Kini kita berada di persimpangan antara tradisi dan disrupsi teknologi. Di tengah gempuran revolusi industri 4.0, di mana artificial intelligence [AI] mulai mampu mencipta puisi dan seloka, algoritma platform digital menentukan tren kesenian populer, dan realitas virtual mengubah cara kita mengalami pertunjukan. Dewan Kesenian tidak boleh lagi berfungsi sebagai menara gading elite yang terisolasi dari perubahan zaman. Institusi ini justru harus menjadi mercusuar yang membimbing masyarakat seni Kota Dumai—sebuah kota pelabuhan migas multikultural—untuk merangkul kemajuan teknologi tanpa kehilangan jati diri Melayunya.
Filsuf Jürgen Habermas [1989] dalam The Structural Transformation of the Public Sphere mengingatkan bahaya ketika ruang publik dikontrol oleh segelintir elite. Di era algoritma digital, ancaman ini berlipat ganda: platform teknologi raksasa kini menjadi “tuan baru” yang menentukan nilai seni melalui engagement rate dan virality. Sementara itu, di Dumai—kota yang denyut ekonominya digerakkan oleh industri migas berteknologi tinggi—seniman tradisional seperti penggubah syair Melayu atau penari zapin justru kerap terpinggirkan dalam narasi kemajuan.
Fenomena ini memantik pertanyaan kritis: Bagaimana seni dapat tetap menjadi medium autentik ekspresi manusia di tengah dominasi AI dan logika pasar digital? Yuval Noah Harari [2018] dalam 21 Lessons for the 21st Century memperingatkan bahwa di era algoritma, seni yang sejati justru harus mampu mempertahankan “keberanian untuk tidak disukai” oleh mesin.
Untuk Dumai, ini berarti Dewan Kesenian Daerah harus menjalankan peran ganda:
- Sebagai jembatan teknologi– Memastikan seniman akar rumput tidak gagap menghadapi transformasi digital, misalnya dengan pelatihan pemanfaatan AI untuk dokumentasi seni tradisional.
- Sebagai penjaga identitas– Melindungi nilai-nilai kemanusiaan dalam seni di tengah banjir konten algoritmik, seperti falsafah adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah dalam budaya Melayu Riau.
Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Kesenian yang besar adalah kesenian yang menyapa persoalan manusia.” Di Dumai abad ke-21, persoalan itu kini meliputi:
- Ancaman cultural homogenization akibat globalisasi digital
- Potensi AI sebagai alat sekaligus rival kreativitas seniman
- Ketimpangan akses teknologi antara seniman urban dan pedesaan
Makalah ini tidak hanya membahas reposisi kelembagaan, tetapi juga menjawab tantangan eksistensial: bagaimana seni Dumai dapat tetap relevan di tengah pusaran masyarakat 4.0 tanpa tercerabut dari akar bumi bertuah Melayunya.
- Peran Dewan Kesenian: Antara Cita dan Fakta
Secara ideal, Dewan Kesenian memiliki tiga fungsi utama:
- Fasilitator– Membuka akses sumber daya bagi seniman.
- Mediator– Menjembatani dialog antara seniman, pemerintah, dan masyarakat.
- Kurator– Menjaga kualitas dan relevansi seni dengan konteks sosial.
Namun, dalam praktiknya, fungsi ini sering terdistorsi. Seniman dan budayawan seperti Hersri Setiawan [2003] mengkritik kecenderungan dewan kesenian menjadi “proyek politis” yang mengabdi pada kepentingan segelintir orang. Di Dumai, program kerja acap kali disusun secara tertutup, tanpa konsultasi publik, sehingga tidak menyentuh masalah mendasar seperti minimnya ruang ekspresi, pendanaan yang timpang, atau pelestarian tradisi lokal.
Akibatnya, tidak menyentuh masalah mendasar seperti:
- Seniman tradisional Melayu yang kian tergusur oleh industri.
- Minimnya ruang ekspresi bagi seniman muda di kawasan urban Dumai.
- Potensi seni-budaya sebagai penyeimbang narasi “kota minyak” yang kerap dianggap keras dan maskulin.
Ahli kebudayaan Raymond Williams [1977] menegaskan bahwa “kebudayaan adalah seluruh cara hidup suatu masyarakat.” Artinya, kebijakan kesenian harus lahir dari interaksi organik dengan masyarakatnya, bukan dari ruang rapat yang steril.
- Ambiguitas Fungsi Dewan Kesenian
Pertama, ambiguitas antara elitisme vs. kerakyatan. Dewan Kesenian kerap diisi oleh figur yang secara sosial dianggap “mumpuni”, tetapi justru jauh dari denyut nadi kesenian lokal. Seperti dikritik Antonio Gramsci [1930], hegemoni budaya elite akan meminggirkan suara subaltern—dalam hal ini, seniman tradisional Melayu, komunitas independen, kelompok marjinal, hingga buruh pelabuhan yang juga mungkin punya tradisi kesenian.
Kedua, ketimpangan representasi. Dumai adalah mozaik etnis, tetapi program kesenian lebih banyak menyasar seni “high culture” ketimbang membangun dialog antarkomunitas. Padahal, Clifford Geertz [1973] dalam The Interpretation of Cultures menekankan bahwa seni adalah medium memahami “yang lain”.
Ketiga, absensi pendokumentasian. Banyak program bersifat seremonial tanpa evaluasi dampak jangka panjang, seperti dicatat James C. Scott [1998] dalam Seeing Like a State. Contoh: festival budaya kerap digelar, tetapi tidak ada pendataan seniman lokal atau arsip karya.
- Reformasi Tata Kelola Dewan Kesenian
Berdasarkan tantangan yang diuraikan dalam prolog, reformasi tata kelola Dewan Kesenian Daerah Kota Dumai juga harus menyinergikan ketanggapan digital dengan penjagaan identitas kultural. Maka diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:
- Desentralisasi Pengambilan Keputusan
- Membentuk forum konsultasi bulanan dengan perwakilan seniman, akademisi, dan komunitas.
- Mengadopsi model participatory budgetingala Paulo Freire, di mana anggaran dibahas secara terbuka.
- Transparansi Program
- Membuka data perencanaan dan evaluasi program melalui platform digital.
- Menyusun indikator keberhasilan berbasis dampak sosial, bukan sekadar jumlah kegiatan.
- Pendidikan Politik Kebudayaan
- Melakukan literasi hak-hak seniman sebagaimana diamanatkan UNESCO [2005] tentang Cultural Diversity.
- Memperkuat jaringan dengan desa budaya dan sekolah seni.
- Revitalisasi Peran Seniman Lokal
- Mengangkat kurator dari kalangan pesohor budaya Dumai, seperti maestro musik melayu atau perupa tradisional.
- Literasi Digital untuk Seniman
- Pelatihan Penguasaan Platform Digital:Membekali seniman tradisional dan kontemporer dengan keterampilan memanfaatkan media sosial [Instagram, TikTok, YouTube] untuk promosi karya, mengikuti tren digital content creation, serta pemasaran daring.
- Digitalisasi Kesenian Tradisional:Membangun arsip digital seni Melayu Dumai [al., rekaman pertunjukan zapin, dokumentasi syair, koleksi motif tenun] agar tetap lestari dan mudah diakses generasi muda.
- Kelas Kreatif Ekonomi Digital:Menggandeng praktisi industri kreatif untuk pelatihan e-commerce, crowdfunding, dan monetisasi karya seni berbasis teknologi.
- Virtualisasi Event Seni:Mengembangkan hybrid event [luring-daring] agar karya seniman Dumai menjangkau pasar global, terutama memanfaatkan posisi strategis Dumai sebagai kota pelabuhan internasional.
Sebagai tambahan, berikut strategi konkret yang selaras dengan visi menghadapi masyarakat industri 4.0:
1. Pusat Inovasi Seni Digital
- AI untuk Pelestarian Budaya: Mengembangkan kolaborasi dengan perguruan tinggi atau lembaga yang relevan untuk digitalisasi naskah syair Melayu menggunakan machine learning serta pembuatan arsip virtual seni tradisional [360° video pertunjukan zapin, koleksi tenun].
- Laboratorium Kreatif 4.0: Menyediakan ruang eksperimen bagi seniman untuk bereksplorasi dengan: Generative AI[misalnya melatih model AI berbasis pantun Melayu] dan Augmented Reality untuk instalasi seni bertema budaya pesisir.
2. Demokratisasi Akses Teknologi
- Program “Seniman Go Digital”: Pelatihan konten kreatif [editing video, optimasi algoritma platform] khusus untuk komunitas seni tradisional. Selanjutnya berupa pendampingan e-commerce karya seni [pemasaran tenun atau kerajinan melalui marketplace].
- Infrastruktur Inklusif: Menyediakan mobile digital studio yang menjangkau daerah terpencil di Dumai, dilengkapi perangkat dasar dan akses internet.
3. Algoritma untuk Keadilan Budaya
- Platform Lokal “Dumai Art Hub”: Mengembangkan aplikasi khusus yang menggunakan algoritma berbasis local wisdom [bukan sekadar popularitas] dan memprioritaskan konten seniman lokal dalam rekomendasi.
- Gerakan #AntiViralCulture: Membangun kesadaran kritis bahwa “nilai seni bukan diukur dari like”melalui workshop literasi digital tentang bias algoritma serta kurasi konten alternatif di luar platform mainstream.
4. Hybridisasi Ruang Ekspresi
- Revitalisasi Ruang Publik: Menciptakan smart cultural spacedi kawasan pelabuhan/industri yang memadukan pertunjukan fisik [tari zapin, musik gambus] dan elemen digital [proyeksi mapping bertema sejarah Melayu Dumai].
5. Pendidikan Seni Era Disrupsi
- Kurikulum “Budaya-Teknologi”: Bekerja sama dengan Dinas Pendidikan untuk modul pembelajaran seni tradisional dengan pendekatan STEM serta membuka kelas kolaborasi antara seniman Melayu dan praktisi AI.
- Sekolah Seni Digital Dumai: Program intensif bagi generasi muda dengan focus padaetika penggunaan AI dalam berkarya.
Integrasi dengan Konteks Dumai:
- Pelabuhan dan AI:Memanfaatkan jaringan logistik pelabuhan untuk distribusi karya seni digital.
- Migas dan Seni:Mengajak perusahaan migas berinvestasi pada teknologi preservasi budaya sebagai bagian dari CSR.
- Multikultural vs. Algoritma:Memastikan representasi adil bagi semua etnis dalam sistem rekomendasi digital.
Note:
Reformasi ini bukan tentang mengejar tren, tapi tentang menciptakan ekosistem di mana teknologi memperkuat—bukan menggerus—ruh kebudayaan Melayu Dumai.
- Kesimpulan
Dewan Kesenian bukanlah menara gading, melainkan rumah aspirasi yang harus meneduhkan setiap suara. Reposisi perannya memerlukan komitmen pada inklusivitas, transparansi, dan keberpihakan pada seniman akar rumput. Seperti kata Goenawan Mohamad, “Kesenian adalah ruang di mana kita belajar menjadi manusia.”
- Epilog
Jika dulu W.S. Rendra menyebut kebudayaan sebagai perlawanan, maka di era algoritma ini, kebudayaan adalah strategi bertahan. Dewan Kesenian Dumai harus menjadi nahkoda yang paham menggunakan kompas teknologi tanpa menghilangkan peta identitas kultural. Sebab, seperti kata Marshall McLuhan [1964], “Kita membentuk alat, lalu alat membentuk kita.”
Tantangannya kini adalah memastikan bahwa AI dan algoritma tidak mendikte seni, melainkan menjadi alat untuk memperkuat suara-suara yang selama ini terpinggirkan—dari pelantun syair di pesisir Dumai hingga seniman jalanan di kawasan industri. ~
“Seni adalah nafas kolektif yang tak boleh dikurung dalam sangkar elitisme.”__Agoes S. Alam
Daftar Referensi
- Habermas, J. [1989]. The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press.
- Gramsci, A. [1930]. Prison Notebooks. International Publishers.
- Rancière, J. [2004]. The Politics of Aesthetics. Continuum.
- [2005]. Convention on the Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions.
- Williams, R. [1977]. Marxism and Literature. Oxford University Press.
- Budayawan Hersri Setiawan [2003]. Kesenian dan Kekuasaan.
- Geertz, C. [1973]. The Interpretation of Cultures. Basic Books.
- Data demografi Kota Dumai [BPS, 2023].
- McLuhan, M. [1964]. Understanding Media;
- Harari, Y.N. [2018]. 21 Lessons for the 21st Century;
- Laporan Kemdikbud RI [2023] tentang Seni di Era Digital
- Schwab, K. [2016]. The Fourth Industrial Revolution[tentang integrasi teknologi-budaya]
- Riset MIT Media Lab [2023] tentang decentralized cultural platforms
- Laporan UNESCO [2022] AI and the Protection of Intangible Cultural Heritage