
Oleh Muhammad Natsir Tahar
Kumpulan puisi “Sejengkal Tanah Kopak” karya Agoes S. Alam adalah sebuah artefak sastra yang menjadi rekaman seismografik untuk menangkap getaran perlawanan dari jiwa-jiwa yang terpinggirkan. Untuk membedahnya secara utuh, analisis ini akan diperdalam dengan tinjauan gaya puitik, dimensi psikologis kolektif, serta diperkuat oleh resonansi pemikiran para filsuf dan ilmuwan sosial.
Gaya kepenulisan Agoes S. Alam dalam kumpulan ini dapat diidentifikasi sebagai “puisi pamflet” atau “puisi realis-sosial”. Gaya ini memiliki ciri khas yang sangat jelas dan fungsional seperti tidak ada kata yang terbuang sia-sia. Setiap diksi dipilih bukan untuk keindahan estetik semata, melainkan untuk kekuatan dampaknya.
Adanya kelugasan brutal, puisi-puisi ini menanggalkan basa-basi puitik dan berbicara secara langsung, terkadang dengan nada yang marah dan menuduh. Ia berfungsi layaknya pamflet yang disebar untuk menyadarkan publik.
Sementara imaji yang dibangun berakar kuat pada realitas kaum tertindas: tanah gersang, perut lapar, tangan terkepal, dan tatapan mata yang menantang. Terakhir adanya orientasi komunal, ketika subjek dalam puisi seringkali bukan “aku” yang personal, melainkan “kami” yang komunal, memberikan suara bagi kolektivitas yang tak bersuara.
Gaya ini adalah pilihan sadar untuk menjadikan puisi sebagai alat perjuangan, bukan sekadar ruang kontemplasi pasif.
Aspek Psikologis: Dari Trauma Kolektif Menuju Agensi
Sajak-sajak ini adalah sebuah psikogram—peta psikologis—dari sebuah komunitas yang hidup di bawah tekanan.
Tema kemiskinan dan ketidakadilan secara psikologis menciptakan trauma kolektif. Tanah yang “kopak” bukan hanya simbol kemiskinan material, tetapi juga keterasingan (alienasi) dari identitas dan harga diri. Ada nuansa “learned helplessness” (ketidakberdayaan yang dipelajari) yang coba didobrak.
Kondisi yang digambarkan adalah inkubator sempurna bagi hipotesis frustrasi-agresi. Penindasan yang terus-menerus melahirkan frustrasi mendalam, yang kemudian bermetamorfosis menjadi agresi—bukan dalam bentuk kekerasan buta, melainkan perlawanan yang sadar dan bermartabat.
Puncak dari perjalanan psikologis dalam puisi ini adalah lahirnya agensi. Perlawanan yang disuarakan adalah penanda psikologis bahwa subjek telah berhenti melihat dirinya sebagai korban pasif. Mereka mulai merebut kembali narasi hidupnya. Ini adalah wujud resiliensi (daya lenting) yang luar biasa, mengubah penderitaan menjadi kekuatan.
Landasan Filosofis dan Ilmiah dalam Perlawanan
Tema-tema dalam “Sejengkal Tanah Kopak” beresonansi kuat dengan pemikiran besar mengenai penindasan dan pembebasan.
Kondisi yang digambarkan sejalan dengan analisis Paulo Freire, seorang pendidik dari Brasil. Freire berpendapat bahwa penindasan tidak hanya merampas hak, tetapi juga kemanusiaan itu sendiri.
“Untuk kaum penindas, nilai terletak pada ‘memiliki lebih banyak’, seringkali dengan mengorbankan kaum tertindas yang ‘memiliki lebih sedikit’. Bagi mereka, ‘menjadi’ adalah ‘memiliki’, kata Paulo Freire, dalam Pendidikan Kaum Tertindas. Puisi Agoes S. Alam adalah gugatan terhadap logika “memiliki” yang meniadakan hak “menjadi” kaum papa.
Perlawanan dalam sajak-sajak ini bukanlah sekadar amuk massa, melainkan sebuah penegasan nilai, seperti yang diungkapkan oleh filsuf eksistensialis Albert Camus.
“Aku memberontak, maka kami ada.” (I rebel, therefore we exist), tegas Albert Camus pula dalam Sang Pemberontak. Kutipan ini menangkap esensi perlawanan dalam puisi: sebuah tindakan yang menegaskan keberadaan (“kami ada”) dan martabat bersama di tengah upaya peniadaan oleh sistem yang tidak adil.
Dialektika antara tanah yang kopak (keputusasaan) dan semangat perlawanan (harapan) mencerminkan pemikiran filsuf Italia, Antonio Gramsci.
“Aku seorang pesimis karena intelek, tetapi seorang optimis karena kehendak.” demikian Antonio Gramsci. Secara intelektual, realitas yang digambarkan memang pesimistis. Namun, tindakan perlawanan itu sendiri adalah wujud optimisme kehendak—sebuah keyakinan bahwa perubahan mungkin terjadi meskipun segala bukti menunjukkan sebaliknya.
“Sejengkal Tanah Kopak” lebih dari sekadar kumpulan puisi. Ia adalah sebuah studi kasus yang kaya tentang kondisi manusia. Secara sastrawi, ia adalah contoh utama kekuatan puisi pamflet. Secara psikologis, ia memetakan perjalanan jiwa dari trauma menuju agensi. Dan secara filosofis, ia berdialog dengan pemikir-pemikir besar tentang esensi keadilan, martabat, dan perlawanan. Karya Agoes S. Alam ini menjadi bukti abadi bahwa dari sejengkal tanah yang paling gersang sekalipun, benih perlawanan untuk kemanusiaan dapat tumbuh dan menggema. ~