July 7, 2025
3

Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi, saat menyampaikan kuliah umum bersama Writerpreneur Muhammad Natsir Tahar dan Dr. Afrizal, M.Si, Kaprodi Ilmu Pemerintahan Pascasarjana (S2) FISIP Umrah, Senin (16/06/2025). F: dok. Fisip Umrah.

TANJUNGPINANG Oiketai – Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) menjadi tuan rumah studium generale yang menghadirkan Prof. Dr. Yusmar Yusuf, M.Psi, Guru Besar FISIP Universitas Riau. Kuliah umum bertajuk “Jejaring Delusional: Negara dalam Endapan Intersubyektif” ini menyajikan perspektif akademis dan filosofis yang mendalam mengenai konsep negara, kayat (hikayat), dan realitas. Acara yang berlangsung pada Senin (16/06/2025) ini dihadiri oleh mahasiswa FISIP serta sejumlah dosen muda, menunjukkan antusiasme yang tinggi terhadap wacana keilmuan yang disuguhkan.

Dalam paparannya, Prof. Yusmar Yusuf mengelaborasi konsep “Kayat dan Pengkisahan” sebagai fondasi pembentukan bangsa dan negara. Ia menyoroti kayat sebagai ikatan kesalahan-kesalahan tragis yang, secara paradoks, memikat sekaligus berbahaya. Prof. Yusmar juga membahas konstruksi kayat dan penceritaan sebagai “counter attack” atas relasi kuasa, menempatkannya di tengah pertarungan antara “tirai besi” yang memecah dan “tirai silikon” (AI) yang berpotensi memporak-porandakan.

Pembahasan kemudian menyentuh gagasan “Res Publica/Politeia” dari Plato, khususnya mengenai “Bayangan Konstitusi Negara” yang terkait dengan kisah fiktif kajian terasul “social order”. Prof. Yusmar menyinggung gagasan warga negara yang lahir dari bumi, dan kewajiban manusia untuk berbakti kepada pertiwi demi merawat kehadiran “sepupu pertiwi” dalam siklus drama kosmis. Lebih lanjut, ia menguraikan kayat tentang fetus dalam kandungan, di mana peran dewa-dewi mengolah dan mencampur beragam logam [emas, perak, perunggu, dan besi] — yang kemudian dinisbatkan dalam moda justifikasi hierarki natural: penguasa emas dan pelayan perunggu. Utopia Plato ini, meskipun tidak pernah terwujud, namun “dusta berkah” [gennaion pseudos] ini sering diucapkan oleh para penguasa dari zaman ke zaman dalam berbagai variasi untuk mengepung “imaji jelata” dan menaklukkan.

Prof. Yusmar kemudian mengarahkan diskusi ke “Untung dan Kebuntungan Kayat (Hikayat): Geletak Sebuah Kebenaran?”. Ia membedakan antara ruang fisik-biosferik sebagai realitas objektif (negara fisik/ “di luar sana”) dan endapan “rasa dan resa” sebagai realitas subjektif [diri “di dalam sini”], termasuk dimensi psiko-sosial-antropologi [dunia kesadaran kolektif] dalam takungan “satu akal budi” [le Coeur/die Gemuet]. Penceritaan dan kayat, menurutnya, berpotensi membentuk realitas tingkat tiga atau realitas intersubjektif, yang mencakup hukum, konvensi, peraturan, tata tertib, dewa, daya langit, mata uang, struktur dalam negara, dan korporasi. Realitas tingkat tiga ini ada ketika diucapkan, dituturkan, dan dipertukarkan oleh banyak orang, namun akan hilang ketika tidak diucapkan dan diperkatakan. Dari sini, “wajah” serba “validasi” dan “notifikasi” mendapatkan tempat dan menggelinjang.

Dr. Afrizal, M.Si, Kaprodi Ilmu Pemerintahan Pascasarjana (S2) FISIP UMRAH, menyampaikan apresiasinya terhadap kuliah umum ini. Ia menekankan manfaatnya dalam membantu mahasiswa memahami bahwa negara tidak hanya tentang realitas fisik dan struktur pemerintahan semata, tetapi juga merupakan konstruksi intersubjektif yang dibangun melalui narasi, keyakinan kolektif, dan pertukaran pemahaman antarindividu. Hal ini, sejalan dengan materi yang disampaikan Prof. Yusmar, memperluas wawasan mahasiswa mengenai kompleksitas pembentukan dan keberlanjutan sebuah entitas negara.

Pada sesi diskusi yang interaktif, Muhammad Natsir Tahar, seorang penulis dan digitalpreneur dari Batam, memberikan respons yang mengimbangi uraian Prof. Yusmar. Natsir menjelaskan posisi strategis Kepulauan Riau yang berada di jalur sibuk dunia dan percaturan global. Ia menegaskan pentingnya bagi warga Kepulauan Riau untuk memiliki sikap inklusif, berpikiran terbuka [open-minded], dan memiliki visi futuristik dalam menghadapi ancaman serta potensi penguasaan kecerdasan buatan (AI), tanpa melupakan pentingnya mempertahankan identitas lokal sebagai penanda eksistensi sebuah bangsa berdaulat. Natsir juga menyentuh peran mitologi dan glorifikasi dalam proses pembentukan sebuah negara dan sistem pemerintahan, serta perlunya landasan filosofis dan tujuan bersama secara multidimensi bagi warga negara. Penjelasannya ini menambah kedalaman diskusi dan memantik pemikiran lebih lanjut di kalangan audiens. RO/r