
Rayyan Arkan Dikha (F: riau.go.id)
Oleh Murparsaulian
Di zaman ketika perhatian manusia direbut oleh algoritma dan tren digital yang silih berganti, ada satu tarikan napas segar datang dari sebuah peristiwa budaya lokal di tepian Batang Kuantan, Riau. Seorang bocah bernama Rayyan Arkan Dikha, berdiri di ujung perahu, menari mengikuti irama dayung yang menderu. Gerak tubuhnya lentur, polos, namun menyalakan sebuah aura semangat yang membara.
Dunia menoleh. Dalam sekejap, video tarian Rayyan viral di TikTok, menggema ke Instagram, dan direspons oleh klub-klub sepak bola raksasa seperti PSG (Paris Saiant-Germain) dan AC Milan. Mereka menirukan gerakan tarian Rayyan sebagai selebrasi. Warganet menyebutnya Aura Farming, menjadi tren global. Rayyan membuat publik terkesima.
Rayyan bukan penari profesional. Ia bukan selebgram, bukan aktor cilik yang dikonstruksi oleh industri. Ia hanyalah anak kampung desa Pintu Gobang Kari yang tulus menari, berdiri sebagai ‘’Togak Luan’’, posisi paling depan dari perahu Pacu Jalur. Ia tak pernah membayangkan aksinya akan ditonton jutaan orang lintas negara. Justru dari ketidaksengajaan inilah letak kekuatan humanisnya. Ia tampil apa adanya, menari dengan sepenuh rasa, membiarkan tubuh kecilnya menjadi jembatan antara tradisi dan kekinian.
Ada sesuatu yang jujur dan otentik dalam gerakannya. Ketika Rayyan menengadah, melambaikan tangan, dan tersenyum, itu bukanlah ekspresi panggung, melainkan seruan naluriah dari seorang anak yang larut dalam sukacita. Dunia merespons bukan karena tarian itu sempurna, tetapi karena ia jujur dan tulus. Sebuah hal langka di tengah era digital yang penuh polesan dan konstruksi.
Ia berdiri menantang arus, membakar semangat para pendayung, dan menjadi lambang harapan serta doa. Menari dari naluri, dari denyut budaya yang tertanam sejak kecil. Geraknya bukan sekadar tubuh, tapi juga nyawa dan jiwa kolektifitas Melayu Kuantan akan kekuatan ‘’roh’’ jalur yang mampu memanggil perantau untuk kembali. Sejauh manapun anak watan Kuantan pergi, akan terpanggil jiwanya kembali. Merambah benua, teluk dan selat. Ketika canang pacu jalur itu ditabuh, akan menggema ke seluruh penjuru, memanggil ‘’Pulang’’.
Rayyan adalah simbol ‘’jalan pulang’’ kepada akar dan tradisi. Respons dunia terhadap Rayyan menyiratkan sebuah kegelisahan global: bahwa manusia modern mendambakan kembali keterhubungan dengan akar dan makna. Ketika dunia begitu jenuh dengan konten artifisial dan “yang dibuat-buat”, Rayyan hadir sebagai gambaran kemurnian anak kampung yang tak tahu kamera sedang menyorot, hanya menari karena itu bagian dari budaya yang menghidupkannya.
Kisah Rayyan memperlihatkan bahwa dari sebuah kampung, budaya bisa bergema sejauh Paris dan Milan, jika ditampilkan secara otentik dan dengan narasi yang menyentuh kemanusiaan. Bahwa dunia bisa tersentuh oleh sesuatu yang sangat lokal, sangat sederhana, dan sangat manusiawi. Aura Farming bukan sekadar tren viral; ia adalah bukti bahwa muatan lokal bisa hidup kembali jika diberi ruang, direkam dengan kasih, dan dibagikan dengan niat baik.
Tentu kita berharap fenomena ini tidak sekadar menjadi komoditas sesaat, melainkan menghidupkan kembali tradisi, mendokumentasikan kearifan lokal, dan membiarkan anak-anak seperti Rayyan tetap menjadi dirinya sendiri, bukan boneka dari industri viral, tetapi simbol dari kebudayaan yang hidup, lentur, dan berharga.
Fenomena ini mengingatkan kita ketika Shiggy, seorang penari jalanan dari Amerika Serikat, viral lewat tarian untuk lagu In My Feelings milik Drake; atau saat Prabhu Deva di India menjadi simbol global karena tarian jalanan dalam film Tamil. Namun bedanya, Rayyan hadir dari tradisi, bukan industri. Ia menari bukan demi konten, melainkan karena keterlibatan emosional yang tulus dalam sebuah peristiwa budaya.
Kita juga mungkin teringat pada peristiwa-peristiwa serupa: tarian Harlem Shake dari Amerika, Gangnam Style dari Korea Selatan, atau flash mob Bollywood. Tapi apakah mereka lahir dari akar budaya lokal seteguh Pacu Jalur? Fenomena Rayyan lebih dalam. Ia bukan sekadar joget viral. Ia adalah suara tradisi yang tak bisa dibungkam zaman.
Rayyan mengajarkan kita bahwa dari pinggir sungai yang sunyi, seorang anak bisa menggetarkan dunia.
Bahwa budaya yang tulus, yang hidup dalam tubuh-tubuh kecil dan senyum-senyum jujur, bisa menembus batas-batas negara dan bahasa. Namun di balik sorotan dan pujian yang mengalir deras, kita perlu waspada: jangan sampai Rayyan menjadi korban dari viralitas yang tidak berpihak pada kepentingan terbaiknya sebagai seorang anak.
Di era digital, seseorang bisa dengan mudah dijadikan simbol, ikon, bahkan komoditas, disebar, diparodikan, dan dijadikan konten tanpa batas. Kita perlu memastikan bahwa Rayyan tidak kehilangan hak dasarnya sebagai anak: hak untuk tumbuh secara wajar, bermain, belajar, dan mencintai budayanya dengan cara yang natural. Jangan biarkan tubuh kecilnya dibebani ekspektasi publik yang besar; jangan jadikan ia sekadar “bintang dadakan” yang cepat bersinar lalu ditinggalkan. Ia adalah warisan hidup yang lahir dari tradisi, bukan boneka panggung milik dunia maya.
Semoga cahaya yang lahir dari Togak Luan ini tak padam, tapi juga tak menyilaukan jalan hidup Rayyan sendiri. Tugas kita bukan hanya merayakan viralitasnya, tapi melindungi ruang aman di mana ia bisa terus menari dengan bebas, tumbuh dalam pelukan budaya, dan resa kemanusiaan. Karena yang sejati dari budaya bukanlah popularitas, melainkan keberlanjutan yang menghargai manusia di dalamnya. ~
Murparsaulian___Penulis, penyair, cerpenis, dan penggiat media kreatif. Alumnus Universidad Autonomous de Barcelona, Spanyol.